Selasa, Maret 24, 2009

The New Thought of Islamic Philosophy

WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Indonesia, 2004
(tebal 360 hal + xxxvii)
Penulis: A Khudori Soleh

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam kancah pemikiran Islam lewat terjemahan, diakui oleh banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti dipahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.

Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), misalnya, walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks di mana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan –-kadang kala—- dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam. Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2) Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, presentasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor kultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati. Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, filsafat Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari Yunani.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani lewat terjemahan. Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap secara pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku.
Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. Dalam proyek ini, hampir semua buku pasca-Socrates (470-399 M) yang berlaku di sekolah-sekolah helenisme diterjemahkan, khususnya karya-karya Aristoteles kecuali Politics, dan karya-karya Neo-Platonis, seperti Plotinus (205-270 M) dan Porphyry (232-304 M). Namun demikian, para filosof Islam rupanya lebih tertarik pada ide-ide neo-platonisme dibanding Aristoteles, setidaknya ajaran neo-platonisme lebih popular dan berkembang dalam pemikiran Islam dibanding gagasan Aristoteles yang tampaknya hanya dikaji aspek logika formalnya. Ini tampak jelas pada ajaran emanasi (faidl) al-Farabi, meski dia dijuluki sebagai tokoh paripatetik, dan juga emanasi Ibn Sina atau ajaran-ajaran sufisme sesudahnya. Menurut Nurchalis Madjid, kenyataan itu terjadi mungkin karena konsep ketuhanan neo-platonisme terkesan tauhid. Misalnya, tentang penegasan transendensi asal pertama (al-Ashl al-Awwal) atau Tuhan.
Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, ajaran-ajaran neo-platonisme ini ternyata mendapat tantangan hebat. Al-Ghazali (1058-1111 M) yang digelari ‘argumentasi Islam’ (Hujjah al-Islâm) menyerangnya secara telak. Dalam kitabnya yang terkenal, Tahâfut al-Falâsifah, ia mengkaji secara terinci dan menyatakan bahwa metafisika dari Yunani seperti yang disampaikan al-Farabi dan Ibn Sina tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bisa menyebabkan penganutnya menjadi kufur. Serangan tersebut diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati. Pertama, bahwa ia, sesungguhnya, hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya metafisika al-Farabi dan Ibn Sina yang neo-platonisme, tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. Sebab, dibagian lain, al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistemologi (bagian dari filsafat) dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfâ fi `ulûm al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani, untuk melandingkan doktrin dan gagasannya.
Kedua, bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap doktrin al-Farabi dan Ibn Sina adalah tidak tepat. Dalam tulisannya, al-Ghazali menilai bahwa ajaran al-Farabi dan Ibn Sina, juga para filosof lain yang senada, telah jatuh dalam kekufuran, karena mengajarkan tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juz’iyat). Padahal, kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadîm bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Disini telah terjadi salah paham atau perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan antara al-Ghazali dengan para filosof.
Ketiga, tentang penilaian al-Ghazali pada al-Farabi dan Ibn Sina dalam kaitannya dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali membagi filsafat Yunani dalam bagian; materialisme (dahriyûn), naturalisme (thabî’iyyûn) dan theisme (ilâhiyyûn). Kelompok materialisme adalah mereka yang mengingkari Sang Pencipta (Tuhan) seraya menyatakan bahwa semesta wujud dengan sendirinya. Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini mungkin ditujukan pada para filosof Yunani purba, seperti Thales (625-545 SM), Anaximandros (610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM) dan Heraklitos (540-480 SM), yang pada prinsipnya menyatakan bahwa semesta ini tersusun atas unsur alam sendiri, yakni air, udara, api dan tanah, bukan oleh Sang Pencipta. Golongan naturalisme adalah mereka yang menyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah mati tidak akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan pembalasan. Ini kiranya ditujukan pada tokoh seperti Demokritos (460-360 SM) dan para filosof Ionia yang hanya menyakini eksistensi material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih modern yang menyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato (427-347 SM), Aristoteles dan –-menurut al-Ghazali—- al-Farabi serta Ibn Sina sebagai pengikutnya.
Penilaian atau pengklasifikasian al-Ghazali tersebut tidak sepenuhnya benar. Betul bahwa al-Farabi adalah pengikut Aristoteles sehingga dianggap sebagai tokoh paripatetik muslim, tetapi ia agaknya hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani. Gagasan metafisikanya yang kemudian dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh al-Ghazali adalah dikembangkan dari ajaran neo-platonisme, bukan dari Aristoteles. Itulah sebabnya, dikemudian hari, Ibn Rusyd (1126-1198 M) juga mengkritik bahwa al-Farabi telah menyimpang dari ajaran Aristoteles.
Akibat serangan al-Ghazali tersebut, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim terhadap filsafat menjadi berkurang. Ibn Rusyd (1126-1198 M) mencoba membendung serangan al-Ghazali tersebut dan mencoba mengembalikan posisi filsafat lewat karyanya yang terkenal, Tahâfut al-Tahâfut. Akan tetapi, upaya Ibn Rusyd tidak memenuhi hasil, karena pembelaannya bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali ditujukan pada pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina yang neo-platonisme. Artinya, disini ada ketidaksambungan antara Ibn Rusyd dengan al-Ghazali, seperti antara al-Ghazali dengan al-Farabi dan Ibn Sina.
Meski demikian, kajian dan pemikiran filsafat, sesungguhnya, tidak benar-benar hilang oleh serangan al-Ghazali. Bahkan, ketika Ibn Rusyd juga tidak berhasil menghadang pengaruh al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi dikalangan sunni, khususnya Asy`ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi. Kenyataan ini bisa dilihat dengan lahirnya gagasan-gagasan filosofis dan orisional yang disampaikan tokoh-tokoh seperti Suhrawardi (1153-1191 M) dengan ajaran isyrâqi (illuminasi), Ibn Arabi (1165-1240 M) dengan doktrin wahdat al-wujûd-nya, dan Mulla Sadra (1570-1640 M) dengan konsepnya tentang hikmah al-muta`aliyah. Ide-ide para tokoh ini bahkan melebihi prestasi filosof-filosof sebelumnya. Perbedaannya, pada masa pasca Ibn Rusyd ini pemikiran filsafat berkembang dengan cara bersatu dengan pengalaman mistik atau sufisme, sementara pada masa pra-Ghazali lebih mendasarkan diri pada kekuatan rasionalitas murni. Kenyataan inilah yang tidak diperhatikan oleh banyak sarjana dan peneliti, sehingga sebagian besar menganggap bahwa filsafat Islam telah terhenti setelah Ibn Rusyd.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada bidang teknologi, dimana kebanyakan ahli menilai bahwa teknologi Islam telah mati sejak abad ke-12. Al-Hasan dan Donald Hill, lewat penelitiannya yang mendalam tentang ini menolak penilaian tersebut. Menurutnya, teknologi Islam tidak mati setelah setelah abad ke-11 M, bahkan juga tidak mengalami penurunan sedikitpun. Sebab, manuskrip-manuskrip teknologi justru lebih banyak dihasilkan dalam periode ini dibanding sebelumnya. Al-Hasan membagi evolosi sains dan teknologi Islam dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah periode transisi dan asimilasi yang membawa pada kelahiran sains Islam. Tahap kedua dicirikan oleh banyaknya inovasi dibidang sains, dan tahap ketiga ditandai oleh inovasi dibidang teknologi dan sains sekaligus. Tahap terakhir ini bermula pada abad ke-12 dan berakhir pada sekitar pertengahan abad ke-17 M.
Masalahnya sekarang, bagaimana membangun kreatifitas berpikir dikalangan umat sehingga mampu menelorkan gagasan-gagasan alternatif yang segar seperti yang pernah terjadi dimasa lalu? Bagaimana pula model atau sistem yang mesti dipakai guna tercapainya tujuan tersebut? Seperti dikatakan Ali Syariati, keyakinan yang benar tidak bisa tumbuh kecuali dari pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang benar tidak bisa lahir kecuali dari cara berpikir yang benar, sementara cara berpikir yang benar hanya bisa terjadi dari metode berpikir yang benar. Artinya, metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Siapa yang tidak menguasai metodologi berarti tidak akan mendapatkan sesuatu secara benar dan tidak akan bisa mengembangkan apa yang dimiliki.
Karena itu, upaya penumbuhan kreatifitas berpikir tersebut harus dilalui dengan pengintensifan kajian logika, metodologi atau epistemologi dari ilmu-ilmu yang berkembang. Selama ini, pendidikan Islam baik yang formal seperti IAIN atau pesantren, kurang memberikan perhatian yang cukup pada aspek-aspek ini dan lebih memperhatikan aspek sejarah atau memberikan kuliah secara instan. Dalam kajian tafsir, misalnya, mereka lebih sering bicara sejarah tafsirnya atau penafsiran para tokoh. Begitu pula dalam kajian hadis, fiqh, filsafat atau yang lain. Untuk menumbuhkan kreatifitas berpikir umat, kita harus mengurangi kajian-kajian seperti itu dan lebih menekankan aspek metodologinya. Harus lebih mengkaji ilmu tafsir daripada tafsirnya, ushûl al-fiqh daripada fiqhnya, ilmu hadis daripada hadisnya, epistimologi daripada metafisikanya, dan seterusnya. Keberhasilan para tokoh terdahulu adalah karena mereka menguasai ilmu-ilmu alat (metodologi) ini.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empirik atau fisikal tetapi mencakup juga dunia ruh. Diri manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas jasat tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan ruh yang merupakan ‘bagian’ dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan eksperimen-eksperimen lahiriyah atau hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan rasuo tetapi harus dengan kesucian hati. Apapun metode yang digunakan harus didukung oleh kebersihan jiwa. Setidaknya ada dua manfaat yang bisa diperoleh dengan model penggabungan rasio dan hati ini. Pertama, agar kita tidak ikut jatuh dalam problem spiritualitas seperti manusia modern (Barat). Sebagaimana diuraikan al-Attas dan al-Faruqi dalam proyek Islamisasi ilmunya, juga para pemikir muslim lainnya, masyarakat Barat tengah dihadapkan pada krisis identitas kemanusiaan dan moral akibat hanya berpegang pada kekuatan rasio tanpa spiritual dan agama. Kedua, diharapkan akan diperoleh ide-ide lebih tinggi dari ‘alam atas’ sehingga bisa menghasilkan lompatan-lompatan besar bagi kemanusiaan. Seperti dikatakan Nasr, bagaimana metode Ibn Sina dan Ibn Arabi sampai pada teorinya yang menggemparkan, atau Suhrawardi sampai pada teorinya bahwa objek-objek materiil merupakan tingkat-tingkat cahaya, atau al-Thusi (w. 1274 M) sampai pada model planetnya yang baru, atau Ibn Haitsam (965-1039 M) pada konsep momentum yang menjadi salah satu konsep dasar fisika modern? Semua itu karena adanya keterlibatan ide-ide dari ‘alam atas’ yang diterima lewat kesucian hati atau intuisi.
Buku yang diberi "Kata Pengantar" oleh Prof. Dr. HM. Amin Abdullah, Guru Besar Filsafat Islam dan Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta ini terdiri atas V Bab besar.
I. Perspektif Kultural Historis, terdiri atas
a. Sejarah Pertemuan Filsafat Yunani dan Islam
b. Ketegangan Teologi dan Filsafat
c. Rekonstruksi Teologi Islam (Hasan Hanafi)
II. Metafisika, terdiri atas
a. Pemikiran al-Farabi
b. Pemikiran al-Ghazali
c. Pemikiran Ibn Rusyd
d. Pemikiran Suhrawardi
e. Pemikiran Ib Arabi
f. Pemikiran Mulla Sadra
III. Epsitemologi, terdiri atas
a. Bayani
b. Burhani
c. Irfani
IV. Etika, terdiri atas
a. Sejarah Islamisasi Ilmu
b. Islamisasi Bahasa Naquib al-Attas
c. Islamisasi Ilmu Sosial al-Faruqi
V. Etika, terdiri atas
a. Pemikiran M. Iqbal
b. Pemikiran Husein Nasr

Ringkasan buku ini tersimpan dalam shvoong. Untuk mengaksesnya klik disini.

2 komentar:

Kevin Hendranata - Exionce Selasa, Maret 24, 2009  

saya bingung ama blognya.. :) visit blog saya juga ya.. http://exionce.com/ thanks.. :D

Fauzi A Muda Selasa, Maret 31, 2009  

salam menyambung silaturrahmi. saya salut kepada Pak Khudori yang masih menyempatkan diri berpayah-payah menulis blog. tidak tanggung-tanggung, blog bapak cukup lengkap dan luar biasa. postingannya juga memuat karya berisi.
Hanya, saya ingin bertanya, kenapa tulisannya tidak disetting READ MORE? karena postingnya panjang2 sehingga kurang menarik. saya tunggu kunjungan balik ke blog belum seadanya saya.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP