Shahrur's Polygamy Exegesis
Tafsir Poligami Syahrur
Oleh: A Khudori Soleh
Syahrur adalah salah satu dari sekian pemikir muslim kontemporer yang sangat kontroversial. Keberaniannya dalam menawarkan ide-ide baru dalam kajian al-Qur`an khususnya telah menghebohkan dunia Arab. Karyanya yang terkenal, al-Kitab wa al-Qur`an Qira`ah Mu`ashirah (1990), menimbulkan polemik dan kontroversi dikalangan sarjana muslim Timur Tengah. Mereka yang tidak setuju atas pemikirannya yang dekonstruktif sekaligus rekonstruktif menilainya sebagai musuh Islam (an enemy of Islam), serta sebagai agen Barat dan Zionis (a western and Zionist agent). Di Kuwait, karya Syahrur di atas dianggap lebih berbahaya dibanding buku Satanic Verses karya Salman Rushdie. Atas dasar itu, di beberapa negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar dan Uni Emirat Arab, melarang peredaran buku Syahrur ini.
Sebaliknya, mereka yang setuju atas pemikirannya, atau paling tidak salut atas semangat reformasinya, memberikan penilaian yang sangat positif. Di Oman, misalnya, Sultan Qaboos membagikan buku tersebut kepada para menterinya dan memerintahkan untuk membacanya. Para sarjana non-muslim, seperti Wael B. Hallaq dan DF. Eickelman juga mengangumi kreativitas pemikiran Syahrur.
Perjalanan akademik Syahrur sendiri juga cukup “mengesankan”. Tokoh yang sejak tahun 1972 menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus ini, lahir di Damaskus, Syiria, tahun 1938. Pendidikan strata satu (S-1) di selesaikan di Maskow, Rusia, dalam bidang engineering. Tahun 1968 masuk University College di Dublin, Irlandia, untuk menempuh program Master dalam bidang perminyakan (soil mechanics) dan kemudian Doktor dalam bidang teknik bangunan (foundation engineering). Dengan bekal dan kacamata ilmu eksakta ini ia berusaha menganalisa dan menafsirkan teks-teks al-Qur`an, terutama dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial, politik dan gender.
Teori Hudud.
Salah satu temuan yang terkenal dari Syahrur, yang digunakannya untuk menganalisa teks-teks al-Qur`an adalah apa yang disebut “teori hudud” atau “teori batas”. Teori yang diinspirasi dari teori ilmu alam ini mengatakan bahwa sebagian besar ayat-ayat muhkamat bukan merupakan hakekat hukum (al-syari`ah al-`ainiyah) itu sendiri melainkan hanya merupakan “batasan-batasan” dalam penetapan hukum. Hakekat hukum sendiri diciptakan manusia sesuai dengan perkembangan pemikiran dan tuntutan-tuntutan zaman, selama keputuan-keputusan hukum yang dibuat tidak keluar dari, atau tetap berada dalam koridor ‘batas-batas’ yang telah ditetapkan Tuhan dalam kitab suci-Nya. Batas-batas yang dimaksud adalah al-hadd al-a’la (batas atas/ batas maksimal) dan al-hadd al-adna (batas bawah/ batas minimal). Artinya, dalam ayat-ayat tersebut Tuhan tidak benar-benar menetapkan hukumnya seperti yang terbaca dalam teks, melainkan hanya merupakan batasan maksimal dan minimal. Manusia dipersilahkan untuk ijtihad sendiri dalam menetapkan hukumnya, diantara dua batas tersebut, sesuai dengan kondisi dan tuntutan yang ada.
Sebagai contoh adalah soal hukuman atas tindak kejahatan. Di sana ada beberapa macam hukuman; (1) hukuman mati bagi seorang pembunuh (QS. 4; 93), bagi perampok yang melakukan tindakannya disertai kekejaman (QS. 5; 33), dan bagi pelaku zina muhshan; (2) hukuman potong tangan bagi pencuri (QS. 5; 38); (3) hukuman cambuk 100 kali bagi zina ghairu muhshan (QS. 24; 2); (4) hukuman denda tertentu bagi pelaku pembunuhan yang dimaafkan keluarga korban dan bagi pelaku penganiayaan; (5) hukuman penjara bagi pelaku zina dan bagi pencuri yang mencuri barang kurang dari batas minimal yang menyebabkan jatuhnya hukuman potong tangan.
Bagi Syahrur, ketetapan tersebut tidak secara otomatis menuntut bahwa setiap kejahatan harus dihukum sesuai bunyi teks, melainkan semua hanya merupakan ‘batas maksimal’ dan ‘batas minimal’. Yakni bahwa ‘batas maksimal’ hukuman atas tindak kejahatan adalah hukuman mati, sementara ‘batas minimal’ adalah kurungan penjara. Dalam ‘batas-batas’ ini, para ahli hukum bisa menetapkan sendiri bentuk hukuman yang sesuai dengan tingkat kualitas dan kuantitas tindak kejahatan yang dilakukan. Dengan model ‘teori hudud’ ini, menurut Syahrur, al-Qur`an akan selalu salih li kulli zaman wa makan (sesuai untuk setiap waktu dan tempat).
Kritik Atas Ahli Tafsir Klasik.
Dalam pandangan Syahrur, para mufassir terdahulu paling tidak telah melakukan tiga kekeliruan/ miskonsepsi baik dari segi metodologis maupun substansi eksegetik dalam menyikapi ayat-ayat gender. Pertama, mereka tidak membedakan antara ayat-ayat hudud dan ayat-ayat ta’limat di antara kategori ayat-ayat gender. Bagi Syahrur, sebagaimana yang di cetuskan dalam ‘teori hudud’, ayat-ayat hudud dalam arti ayat yang mengandung ketetapan hukum, tidak boleh difahami secara literal atau taken for granted, tetapi harus di pandang sebagai ayat yang hanya mengisyaratkan ‘batas-batas minimal’ dan ‘batas maksimal’ dalam penetapan hukum. Mufasir boleh melakukan ijtihad pada sesuatu yang berada dalam batas-batas tersebut sesuai dengan weltanschaung yang berkembang pada masa mereka. Sementara itu, ayat-ayat ta’limat tidak dimaksudkan untuk memberikan ketetapan hukum melainkan hanya sebagai informasi tentang ajaran yang pernah diaplikasikan oleh Rasul. Tidak berkaitan dengan halal dan haram.
Kedua, ahli tafsir klasik melakukan kekeliruan metodologis dalam menafsirkan kata al-nisa’ dalam QS, 3;12 dan QS, 2; 223. Kata al-nisa diartikan sebagai “wanita-wanita”. Menurut Syahrur, pemberian arti seperti itu merupakan kekeliruan yang menyebabkan orang berpandangan bahwa wanita sebagai mata` al-hayah al-dunya (harta kehidupan dunia), disamakan dengan benda-benda duniawi lainnya yang bisa dinikmati, dikuasai dan di manfaatkan oleh pemiliknya, seperti yang terjadi sebelum dan selama berabad-abad di dunia Islam.
Ketiga, kekeliruan asumsi dalam hal kesempurnaan tindakan Rasul. Ahli tafsir klasik berasumsi bahwa pembebasan kaum wanita oleh Islam dan Rasul, dari perlakukan-perlakukan yang tidak adil, telah sempurna saat wafat beliau. Sedemikian, sehingga jika tidak ada wanita yang tampil sebagai penguasa politik seperti sebagai kepala negara, atau pemegang hukum seperti menjadi hakim dan jaksa agung, misalnya, maka itu berarti bahwa wanita dalam Islam memang tidak dikehendaki menduduki jabatan-jabatan tersebut. Bagi Syahrur, asumsi tersebut tidak tepat. Menurutnya, upaya pembebasan kaum wanita, sebagaimana soal perbudakan, belum selesai diaplikasikan secara sempurna oleh Rasul. Rasul hanya melakukan upaya-upaya pembebasan dengan cara-cara dimana gejolak sosial dapat dihindari (Syahrur, 1990; 593-595). Bahkan, dalam pandangan Syahrur, pratek penerapan hukum Rasul secara keseluruhan (al-sunnah) sendiri hanya merupakan model awal penafsiran dan bersifat temporal, sama sekali bukan satu-satunya bentuk aplikasi hukum al-Qur`an yang berlaku sepanjang zaman sehingga harus diikuti.
Ayat Poligami.
Berdasarkan adanya kekeliruan metodologis dari para ahli tafsir klasik di atas, Syahrur melakukan rekonstruksi penafsiran atas ayat-ayat gender. Salah satunya adalah persoalan yang berkaitan dengan masalah poligami (QS. al-Nisa’, 3). Menurutnya, ayat ini termasuk kategori ayat hududiyah, yakni bahwa ayat tersebut mengandung ‘batas-batas penetapan hukum’, baik kuantitatif maupun kualitatif. Dengan demikian, ayat ini hanya memberikan isyarat tentang prinsip-prinsip hukum berpoligami, yang di istilahkan dengan al-hadd al-a’la (batas maksimal) dan al-hadd al-adna (batas minimal), baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Keduanya, aspek kuantitas dan kualitas, harus diperhatikan secara bersamaan dalam praktek poligami.
Dari aspek kuantitas (hudud al-kamm), ‘batas minimal’ ayat ini menetapkan bahwa laki-laki menikah dengan satu wanita, sementara ‘batas maksimal’ membolehkan laki-laki menikahi maksimal empat orang wanita. Persoalan poligami yang terjadi sampai saat ini adalah karena para ahli tafsir, yang setuju maupun menolak poligami, hanya berhenti pada ‘batas-batas kuantitas’ belaka. Mereka yang keberatan poligami hanya berhenti pada al-hadd al-adna, dan dengan dasar penggalan ayat wa in khiftum alla ta`dilu fawahidah (jika khawatir tidak bisa berbuat adil diantara istri kalian, nikahlah dengan satu orang istri saja), mereka menyatakan bahwa prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami hanya diperbolehkan dalam situasi sangat darurat. Padahal, menurut Syahrur, secara prinsip tidak ditemukan satu ayatpun yang melarang poligami, sehingga pandangan ini tidak memuaskan. Sebaliknya, mereka yang memperbolehkan praktek poligami sama sekali kurang mempertimbangkan aspek ‘batas-batas kualitas’ dari praktek poligami tersebut, sehingga tampak bahwa poligami adalah salah satu bentuk hegemoni kaum laki-laki atas wanita.
Batas-batas kualitas (al-hudud al-kayf) adalah kualitas istri kedua dan seterusnya apakah perawan, janda ditinggal mati suaminya atau janda diceraikan. Persoalan ini, bagi Syahrur, sangat penting dalam menentukan boleh tidaknya poligami, agar tidak keluar dari ‘spirit’ teks al-Qur`an. Dengan memperhatikan struktur linguistik ayat ini dan membahas dua kata kunci yang ada di dalamnya, qasata dan `adala, Syahrur sampai pada kesimpulan bahwa ungkapan ayat wa in khuftum alla tuqsithu fi al-yatama fankikhu...(QS. 4; 3), harus difahami dengan “jika khawatir tidak bisa berbuat baik (atau tidak bisa memperhatikan) pada anak-anak yatimnya, maka nikahilah ibu-ibu mereka (al-nisa’) yang kamu sukai, dua, tiga atau empat”.
Dengan demikian, dalam ‘batas kualitas’ ini, Syahrur mengkaitkan praktek poligami dengan persyaratan bahwa istri kedua dan seterusnya harus wanita janda (karena ditinggal mati suaminya) dan mempunyai anak-anak yatim. Dengan syarat ini, maka poligami tidak hanya berarti menjadikan ibu-ibu anak yatim tersebut sebagai istri kedua dan seterusnya, tetapi sekaligus menjadikan anak-anak yatimnya sebagai anak-anaknya sendiri yang akan mendapatkan hak-hak pendidikan dan ekonomi, seperti yang diisyaratkan pada QS. 4; 6. Ketika seorang laki-laki berpoligami dengan dua, tiga atau empat janda dan menghimpun anak-anaknya dengan anak-anaknya sendiri dari istri pertamanya, maka tanggung jawab ekonomi dan pendidikannya semakin berat. Karena itulah, Tuhan kemudian buru-buru menambahkan, fa in khiftum allla ta`dilu fa wahidah, yang oleh Syahrur diterjemahkan dengan “jika khawatir tidak bisa berbuat adil di antara anak-anakmu dari istri pertama dan anak-anak yatim dari istri kedua dan seterusnya, maka nikahlah dengan satu orang wanita janda saja” (Ibid, 1990; 599).
Persyaratan kualitas dari Syahrur ini, harus janda dan mempunyai anak yatim, juga didasarkan atas data kontekstual berkaitan dengan ayat poligami (asbab al-nuzul). Menurut ahli tafsir, ayat ini diturunkan tidak lama setelah perang Uhud yang memakan cukup banyak korban dari kalangan Islam. Tidak kurang dari 70 orang tentara muslim terbunuh dalam kejadian ini, dan notabene mereka memiliki istri dan anak-anak. Dengan terbunuhnya mereka, istri dan anak-anaknya jelas menghadapi problem serius, dan itu harus segera diatasi. Dalam konteks sosial waktu itu, poligami adalah sarana yang cukup signifikan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Dengan demikian, dalam pandangan Syahrur, dasar spirit al-Qur`an tentang poligami tidak terletak pada bentuknya tetapi tujuannya. Tidak pada bentuknya sebagai salah satu sistem pernikahan melainkan pada bagaimana mengatasi problem kemanusiaan, yang dalam hal ini berupa anak-anak yatim yang perlu penanganan. Jika praktek poligami tidak berfungsi untuk memecahkan problem-problem kemanusiaan, tetapi justru menimbulkan masalah baru dalam kehidupan sosial, maka pratek tersebut berarti telah keluar dari ‘spirit’ al-Qur`an. Dalam kaidah ushul fiqh, syareat poligami berarti berazaskan pada jalb al-mashalih (menciptakan kemaslahatan). Pandangan Syahrur ini tidak berbeda dengan pendapat Ashgar Ali Engineer dan Parvez, bahwa tujuan poligami adalah untuk menolong para janda dan anak-anak yatim, bukan sekedar untuk menuruti nafsu laki-laki. Tujuan umumnya adalah untuk menciptakan keadilan sosial (Engineer, 1996; 104).
Dengan uraian seperti itu, menurut Wael B. Hallaq, pandangan Syahrur tentang poligami bisa mentranformasikan imej tentang poligami Islam yang terbelakang menjadi praktek yang terhormat (from a backward to a noble practice).
Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk melihatnya klik disini
6 komentar:
Gagasan Syahrur ini menurut saya akan dapat menumbuhkan sikap gentle pada laki-laki, bahwa poligami adalah demi kebaikan dan kemashalatan. Ketentuan bahwa istri kedua dan seterusnya harus janda yang ditinggal mati suaminya dan punya anak, secara jelas mengarahkan ke sana, sehingga laki-laki tidak dengan seenaknya kawin lagi setelah merasa ekonominya mapan, seperti yang tampak pada kasus di masyarakat kita.
Poligamy, in any models, refers to hegemony of men over women. sharur's interpretation on polygamy indicates some improvements of muslim thoughts; from classical thoughts to modern thoughts by using modern knowledge and methods to interpreting qur'an. In Indonesian context, however,men who want to take another wife other than their first wife must obtain written permission from the first wife and permission from islamic court. these conditions must be obtained to realize the goal of marriage; sakinah, mawaddah, and rahmah family.
Saya berpendapat, bahwa "teori batas" tentang poligami hari ini juga ditimbang dari kemajuan kompleksitas masalah yang muncul pada akhir-akhir ini, yakni tentang kekerasan dalam rumah tangga. Di antara beberapa "klien" dan beberapa yang saya tahu langsung, inisiatif poligami berjalan beriring dengan permasalahan yang harus ditanggung oleh perempuan, dan kebetulan yang saya kenal adalah perempuan istri pertama tidak saja menanggung akibat, tetapi telah mengalami "titik balik kebahagiaan"..
Artinya, konteks turunnya ayat poligami sudah sangat berbeda dengan permasalahan hari ini, dan jika dibandingkan dengan kondisi KDRT dan konteks turunnya ayat poligami, saya berpandangan tidak ada unsur kesamaannya.
Saya melihat belum sampai pada konteks boleh tidaknya poligami, perbedaan kasus pada masa kini seperti yang saya sampaikan di atas, itu berarti mencoba mengaitkan "pembolehan poligami" dibawah bayang-bayang menguatnya kasus-kasus kekerasan yang disebabkan oleh poligami, saya kira terlalu berlebihan untuk merujuk pada ayat tersebut, apalagi menyamakan konteks terhadap turunnya ayat dimaksud.
Jadi, membincang poligami dengan ayat tersebut hanya bagian dari "pembayangan laki-laki atas hasrat untuk menikah lebih dari satu" sebagai bagian dari perayaan patriarkhal.
Pada akhirnya, agama emang urusan yang sangat pribadi...Tapi sistem sosial tetep perlu diatur.Bukan dengan KUHP aja, tapi dengan sistem budaya ekonomi dan hukum yang lebih adil. ?
Pak Soleh, saya jarang ketemu dosen UIN yang berpemahaman seperti bapak. Kebanyakan mereka menentang poligami dan sangat jarang mengutip ayat-ayat al-quran Oke, selamat buat ente Pak.
Best regards,
Irfan Melodic Nugroho
Melodramatic Mind
Facts on the Recent News
Artikel yg bagus dan sangat informatif.. thx dah posting artikel ini..
saya tunggu artikel2 yg lainnya..
Posting Komentar