Jumat, Agustus 07, 2009

Fast Be Not Simply to Hungry

Menyambut Ramadlan:
Puasa Bukan Sekedar Untuk Berlapar-Lapar

Oleh: A Khudori Soleh
SETIAP perbuatan, pada dasarnya, mengandung dua dimensi, dan masing-masing memiliki penilaian tersendiri. Bisa jadi suatu perbuatan dianggap baik menurut dimensi yang satu, tetapi buruk menurut dimensi yang lain. Sebaliknya, bisa juga dinilai baik menurut keduanya, atau jelek menurut keduanya. Yang pertama berhubungan dengan dampaknya dalam kehidupan masyarakat. Yang kedua berhubungan dengan faktor psikologis dan spiritual yang menggerakkan si pelaku kearah timbulnya perbuatan tersebut.
Pada dimensi pertama, kita harus melihat sampai sejauh mana perbuatan itu berguna dalam masyarakat. Bila seseorang membangun lembaga pendidikan, lembaga perekonomian, tempat-tempat ibadah atau turun ke bawah membantu rakyat kecil misalnya, maka tidak pelak bahwa hal itu -dari perspektif sosial - merupakan perbuatan baik. Maksudnya, perbuatan-perbuatan tersebut bermanfaat bagi masyarakat banyak. Akan tetapi, apakah hal itu juga dianggap baik menurut dimensi kedua?
Pada dimensi kedua, apa yang disebut perbuatan baik tidak cukup hanya karena bermanfaat saja, tetapi harus juga dilihat niat dan tujuannya. Juga dilihat dari segi apa sebenarnya yang dikehendaki dari perbuatan itu. Apabila ia melakukan perbuatan tersebut dengan tujuan yang baik dan niat yang bersih, serta atas dorongan-dorongan suci, maka itu baru bisa dikatakan perbuatan baik. Artinya, di sana perlu ditambah kebaikan niat si pelaku, sehingga ia bisa menjadi amal yang memberikan kebaikan pada dimensi-dimensinya; dimensi sosial dan dimensi spiritual.
Sebaliknya, bila ia melakukannya atas dasar keuntungan materi duniawi, mencari penghargaan, atau riya', maka ia hanya berhasil (baik) dari segi sosial, tetapi gagal dari segi spiritual. Amalnya tidak naik ke atas, tidak terekam dalam alam malakut. Ia memang telah memberikan pengabdian kepada masyarakat, tetapi belum mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, bahkan bisa jadi malah mengkhianati-Nya. Alih-alih rohnya bisa naik, dengan perbuatannya yang tidak didasari niat yang baik itu, ia justru meluncur ke tempat yang paling rendah.
Dengan demikian, persoalannya tidaklah sederhana. Perbuatan baik tidak hanya diukur dari segi lahirnya saja. Niat dan pemikiran juga mempunyai peranan yang - bahkan - amat penting. Bagaimanapun besar perbuatan itu, bila tidak disertai niat dan tujuan yang baik, tidak akan mempunyai makna. Namun, hal itu bukan berarti kita harus lebih mengutamakan aspek spiritual tanpa mempedulikan kebaikannya dalam masyarakat. Tidak! Sama sekali tidak. Keduanya harus berjalan seiring. Bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dalam Islam, suatu perbuatan itu bagai bentuk manusia; terdiri atas jasad dan roh. Raga atau jasad perbuatan adalah perbuatan itu sendiri yang tampak secara lahir. Sedang rohnya adalah niat dan tujuan yang mendasarinya. Agar suatu perbuatan (amal) bisa hidup, bisa terekam dalam alam malakut dan mampu naik menembus hijab untuk hadir di Hadirat Ilahi, maka ia harus didasari niat dan tujuan karena Allah. Harus diarahkan kepada Yang Tertinggi dan Yang Suci. Atau harus ikhlash menurut istilah pesantren. Perbuatan baik yang tidak lillah (tidak karena dan menuju kepada Allah): hanya untuk tujuan duniawi, maka amalnya juga tidak bisa naik kepada Allah. Amalnya mati seperti jasad yang tanpa roh. Ia hanya baik (berguna) menurut pandangan manusia, tapi hampa menurut Allah. Tidak punya makna.
Itulah yang dimaksud amal sholeh menurut istilah Al Quran. Yaitu amal yang berkualitas, amal yang punya ruh, sehingga bisa naik ke Hadirat Ilahi. Dan amal seperti inilah yang akan diperhitungkan (diakui) Allah di hari pembalasan kelak sebagaimana diisyaratkan. Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapa yang lebih baik amalnya... (QS. 67:2). Dalam ayat tersebut, tuntutannya bukan aktsarul amal (yang terbanyak amalnya) tetapi ahsanul amal (yang terbaik amalnya). Yaitu, amal yang di samping punya nilai-nilai sosial, juga mengandung realitas maknawi sehingga menjadi amal yang hidup.
Karena itulah, mengapa - khususnya - dalam perintah puasa ramadhan, Allah memulainya dengan kata 'iman'. Hai orang-orang yang 'beriman', diwajibkan atas kamu berpuasa... (QS. 2;183). Iman adalah kunci tersampaikannya amal kepada Allah. Dengan landasan iman, seseorang berarti telah menghubungkan segala perbuatannya kepada Yang Tertinggi. Puasa yang dilaksanakan atas dasar iman berarti puasa yang hidup, yang akan mampu naik ke atas untuk hadir di Hadirat Ilahi. Sedemikian, sehingga dosa-dosa orang yang mengerjakan puasa diampuni oleh Allah. Dan hanya Allah yang tahu akan persentase kebaikannya. Siapa yang melakukan puasa Ramadlon atas dasar iman, akan diampuni dosanya yang telah lalu, kata Rasul. Sedang puasa yang tidak dilandasi iman hanya berputar di atmosfir bumi. Tidak bisa melesat ke ketinggian derajat rohani, karena memang tidak ada hubungan ke sana.

Bukan untuk berlapar-lapar
Tujuan diperintahkannya puasa ramadhan adalah agar terbentuk pribadi taqwa pada diri pelakunya. ...diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (QS. 2;183).
Imam Qusyairi, dengan menguraikan masing-masing huruf hijaiyah pembentuk kata 'taqwa', memberikan ciri-ciri orang yang bertaqwa sebagai berikut. Pertama, tawadlu. Maksudnya, sopan santun, tidak sombong, tidak berbuat sewenang-wenang. Orang yang bertakwa menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Apa yang ada pada dirinya; pangkat, kedudukan, jabatan atau kekayaan, hanyalah barang titipan, yang pada saatnya nanti akan diambil oleh Allah-lah pemiliknya yang hakiki. Karena itu, sungguh tidak pantas menyombongkan diri dengan modal barang titipan.
Kedua, qonaah. Maksudnya, bersikap sederhana. Ia kelanjutan dari sifat yang pertama. Bila seseorang telah mampu menyadari siapa dirinya dan mampu menekan egonya yang tidak baik, maka ia tidak akan bersikap neko-neko. Tidak ambisius untuk mencapai sesuatu dengan jalan yang tidak benar. Bahkan Rasul mengajarkan agar kita tidak memberikan sesuatu atau jabatan kepada orang yang berambisi untuk meraihnya. Dan ternyata itu benar. Kita bisa melihat, bagaimana model orang yang mencapai jenjang jabatan dengan cara yang tidak bersih, tidak jujur; memakai sogok atau yang lain. Yang menjadi program pertamanya, begitu ia menduduki jabatan, adalah bagaimana "modalnya" bisa kembali. Tentang kesejahteraan rakyat, nomor akhir menjelang pensiun.
Dalam alam demokrasi, jabatan atau kedudukan tentu bukan barang warisan, apalagi perdagangan. Kekuasaan adalah amanat dan kepercayaan rakyat, dan semua itu akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Kalau di dunia, di hadapan sidang majelis yang - mungkin - sama-sama bolo kurowo, bisa dikompromi, tetapi bagaimana nanti di hadapan Tuhan. Apa yang kamu berikan kepada rakyat selama kamu memegang kekuasaan? Apakah mereka justru semakin sengsara? Semakin tergusur?
Selanjutnya, ciri yang ketiga, wara; menjaga diri dari semua perbuatan dan makanan yang tidak halal. Orang yang bertakwa tidak akan melakukan penyelewengan, tidak akan korup dan tidak akan melakukan perbuatan yang tidak benar. Bagai tingkah laku lebah, mereka selalu selektif dalam mengambil makanan dan melakukan perbuatan. Tidak akan jatuh kepada hal-hal yang tidak benar.
Ciri terakhir, keempat, adalah yakin. Karena ibadah dan imannya yang kuat, orang yang bertakwa amat dekat dengan Kholiqnya. Ia punya sandaran vertikal yang kukuh. Sedemikian, sehingga bagaimanapun berat dan sulitnya perjuangan yang harus dihadapi, ia tidak akan putus asa. Yakin, Allah pasti tidak akan membiarkan hamba-Nya yang beriman.
Untuk mencapai puasa yang punya hasil dan pengaruh yang demikian besar, tentu tidak dilakukan dengan asal saja. Perlu riyadloh dan mujahadah yang sungguh-sungguh. Al-Ghozali menyatakan, orang yang berpuasa harus mengawasi seluruh aktivitas anggota badannya. Ia harus memelihara pandangannya, ucapan, kedua tangan, kaki, perut dan kemaluan agar tidak terjatuh dalam dosa. Sebab, semua itu akan bisa menghancurkan kegunaan puasanya. Rasul pernah bersabda, "Banyak orang yang puasa tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga, karena tidak mampu mengontrol perbuatannya".
Demikianlah, puasa sesungguhnya adalah ibadah yang istimewa. Ia memiliki dimensi-dimensi yang dalam dan tujuan-tujuan yang luhur. Puasa bukan sekadar untuk berlapar-lapar.

Pernah dimuat dalam Harian KOMPAS, Jakarta, Sabtu, 18 Januari 1997 dan saat ini arsipnya juga tersimpan dalam Perpustakaan Ohiou University, USA. Untuk tulisan-tulisan lainnya, klik disini.

3 komentar:

Anonim,  Minggu, Agustus 09, 2009  

Hola que tal mi nombres es Steffy, y veo que su blog
es original con mucho contenido realmente interesante.

Le cuento que tengo un directorio llamado "Mundo Inicio" me gustaría saber si usted
está interesado en formar parte de el, a cambio le pediría si podría enlazar uno
de mis 2 blogs que tengo, una es de "apuestas deportivas" y la otra habla sobre la
"ruleta y casinos en general". Porfa si estas interesado o quieres saber más al respecto no
dudes en contactarme: sist.deruelta@hotmail.com
Un fuerte abrazo. Saludos
Atte: Steffy

Technology and Computers Senin, Agustus 10, 2009  

Website/blog yang bagus.. dan cara yg baik dalam meyiarkan islam...Lanjutkan...

Carlos Jumat, Agustus 14, 2009  

Thank you for the visit.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP