Minggu, Februari 28, 2010

Epistemology of Irfani

Epsitemologi Irfani
Oleh: A Khudori Soleh
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks.

Read more...

Selasa, Desember 29, 2009

Islamic Philosophy not only History of Thought

Filsafat Islam Bukan Sekedar Sejarah Pemikiran
Pengantar Utk Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Karya A Khudori Soleh
Oleh: Prof. Dr. HM. Amin Abdullah

Salah satu kritik yang sering saya sampaikan terhadap kajian-kajian filsafat Islam adalah bahwa ia masih lebih sering dilihat dari aspek sejarahnya disamping sedikit persoalan metafisika. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di kalangan pesantren yang memang masih banyak diselimuti trauma-filsafat, melainkan juga di perguruan tinggi seperti IAIN dan PTAIS, bahkan di tingkat pasca-sajananya sekalipun, kecuali mungkin di IAIN Yogyakarta dan Jakarta. Akibatnya, kajian filsafat Islam tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal, apa yang ada dalam cakupan filsafat, sesungguhnya, tidak hanya aspek sejarah melainkan juga substansinya, dan bagian inilah yang sebenarnya harus mendapat perhatian lebih. Bagian substansi ini meliputi bahasan metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi.

Read more...

Minggu, Desember 20, 2009

Ketegangan Filsafat dan Teologi

Ketegangan Filsafat dan Teologi
Oleh: A Khudori Soleh
Para pemikir muslim sepakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalam kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti ditempatkan di bawah wahyu, sebaliknya sebagian lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu diperlukan hanya sebagai justifikasi penemuan akal. Tulisan ini pertama membahas akar-akar rasionalisme dalam Islam kemudian ketegangan yang terjadi antara teologi Islam (ilm al-kalâm) dengan filsafat, dua aliran pemikiran dalam Islam yang sama-sama menggunakan kekuatan rasio.

[1] Lihat Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. HM Amin Abdullah, (Jakarta, Rajawali Press, 1989), 8; Louis Gardet, Falsafat al-Fikr al-Dîni, II, terj. Subhi Saleh dan Farid Jabr, (Bairut, Dar al-Ulum, 1978), 77; al-Jabiri, Takwîn al-Aql l-Arabi, (Markaz al-¢aqafi al-Arabi, 1991), 57.

[2] Lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafat al-Fikr al-Dîni, I, 64 dan seterusnya. Lihat pula pada Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah pengantar pada mata kuliah studi ilmu teologi, pada semester I program pascasarjana IAIN Yogya, 1997, tidak diterbitkan.

[3] Gardet dan Anawati, Falsafat al-Fikr al-Dîni, I, 70. Ahmad Amin, Dhuhâ al-Islâm, II, ((Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, 1936), 298.

[4] Ibid, 305; Lihat pula Gardet, Falsafat al-Fikr, 71.

[5] Gardet, Ibid, 74, Lihat pula Mustafa Abd al-Raziq, Tamhîd li Târîkh al-Falsafat al-Islâmiyah, (Kairo, Lajnah al-Taklif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1959), 203-213.

[6] Gardet dan Anawati, Falsafat al-Fikr, 71.

[7] Menurut al-Jabiri, ini adalah tonggak sejarah pertemuan antara pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan arab. Lihat, al-Jabiri, Takwîn al-`Aql al-`Arabi, 195. Bahkan, menurut Hasymi, saat ini sampai dibentuk sebuah tiem yang bertugas melawat ke negari-negeri sekitar untuk mencari buku-buku pengetahuan apa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), 227.

[8] Gardet dan Anawati, Falsafat al-Fikr, 76. .

[9] Lihat Muhsin Mahdi, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, dalam jurnal Al-Hikmah, edisi 4, (Bandung, Febr. 1992), 56-57.

[10] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 12-13.

[11] Osman Bakar, Hirarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 145-8. Yang harus digarisbawahi disini, yang berhubungan dengan situasi dimana sang tokoh berada adalah bahwa pada masa al-Farabi, teologi Muktazilah yang sebelumnya berjaya tengah berada dalam jurang kehancuran sedang pemikiran filsafat sendiri berada dalam kondisi yang sangat kondusif untuk berkembang. al-Farabi sendiri berada dalam lingkungan istana di Aleppo dan Damaskus yang sangat mendukung bagi perkembangan dan pemikiran filsafat. Sementara itu, al-Ghazali berada dalam kondisi yang sangat mendukung pemikiran teologi Sunni dan saat pemikiran filsafat banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sedemikian, sehingga ada dugaan kuat bahwa ketegangan dan naik turunnya teologi-filsafat tidak lepas dari tuntutan zaman dan campur tangan kekuasaan. Sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun yang kemudian dipopulerkan Machael Foucoult dengan teori “relasi kekuasaan” bahwa kemajuan ekonomi dan kebudayaan, termasuk disini filsafat dan teologi, tidak lepas dari campur tangan kekuasaan.

[12] Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Yuliani L, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), 149. Pernyataan bahwa teologi tidak bisa memberikan pengetahuan yang menyakinkan, pada gilirannya juga diakui oleh al-Ghazali, meski keputusan akhir yang diambil kedua tokoh ini berbeda. Ketidakpuasan al-Ghazali pada teologi dilarikan pada tasawuf sementara ketidakpuasan al-Farabi diobati dengan filsafat. Lihat al-Ghazali, al-Munqid, 36.

[13] Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thaha, (Jakarta, Firdaus, 1986), 543-546. Keterangan lain tentang posisi teologi dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu yang lain, lihat Lauis Gardet dan Anawati, Falsafat al-Fikr, I, 185-215.

[14] Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, edit dan catatan kaki oleh Sulaiman Dunya, (Mesir, Dar al-Maarif, 1966). Kitab ini diselesaikan pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Dalam kitab ini diuraikan 20 persoalan filsafat yang dianggap merupakan bid’ah, yang tiga diantaranya bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya.

Tentang al-Munqid, lihat al-Ghazali, Al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Al-Maktabah al-Sab’iyah, tt) yang diedit dan diberi catatan kaki oleh Mustafa Abu al-Ula. Kitab ini ditulis sekitar lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi --bukan krisis keyakinan-- dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi Al-Maimunah al-Nizhamiyah di Naisabur, Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, 51.

[15] Al-Ghazali, Al-Munqid, 49.

[16] Lihat catatan kaki Ach. Khudori Soleh dalam Kegelisahan Al-Ghazali Otobiografi Intelektual, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998), 28.

[17] Dalam tulisannya, al-Ghazali memasukkan al-Farabi dan Ibn Sina dalam daftar orang-orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang dianggapnya sebagai kekufuran; tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (jiz’iyat), padahal kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis sebagaimana yang didituduhkan al-Ghazali. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud bahwa alam qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai “waktu” atau “zaman” muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadim bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Lebih jelas tentang tiga masalah ini, juga 17 masalah lain yang dianggap bid’ah oleh al-Ghazali, lihat cacatan kaki yang diberikan Sulaiman Dunya dalam Tahafutnya al-Ghazali diatas. Lihat pula, Abbad Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, (Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105.

Dengan demikian, apa yang dituduhkan al-Ghazali sebenarnya kurang tepat, tapi lebih karena adanya perbedaan pengertian atau kesalahfahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan kaum filosof. Lihat catatan kaki yang diberikan Ach. Khudori Soleh dalam Kegelisahan Al-Ghazali Sebuah Otobiografi Intelektual, 32-c.

[18] Amin Abdullah, “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya” dalam Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogya, Tiara Wacana, 1998), 265.

[19] Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu, 105-6; Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.

[20] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 107. Atas dasar ini pulalah al-Farabi kemudian menempatkan teologi dan yurisprodensi (fiqh) dalam urutan akhir, setelah kelompok ilmu-ilmu filsafat, dalam hierarki ilmu yang disusunnya, karena teologi dan fiqh dianggap tidak memberikan pengetahuan yang menyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan karena tidak adanya pengujian secara rasional dan logis dalam metodologinya.

[21] Al-Ghazali, Tahâfut, 307 dan seterusnya. Lihat pula al-Munqid, 42-46.,

[22] Amin Abdullah, “Teologi dan Filsafat...”, 270-1.

[23] Ini sesuai dengan definisi dan tujuan ilmu teologi itu sendiri, bahwa teologi adalah ilmu yang membahas tentang ketuhanan dan bertujuan untuk mempertahankan keyakinan dari serangan kaum bid’ah. Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, 589. Lihat pula al-Iji, al-Mawâqif fi ilm al-Kalâm, (Bairut, Alam al-Kutub, tt), 8.

[24] Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat, 271.

[25] Al-Hamadani, Apologi Sufi Martir, terj. dari bahasa Inggris oleh Jabar Ayoeb dan dari bahasa Persia ke Inggris oleh Arberry, (Bandung, Mizan, 1987), 48. al-Hamadani adalah salah satu tokoh pemikir falsafat-mistik yang menjadi korban ketegangan dan polemik antara mistik dan ahli fiqh karena adanya kesalahfahaman atas istilah-istilah yang digunakan diantara keduanya. Buku ini ditulis sebagai esepsi pembelaannya didepan pengadilan yang kemudian menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada 7 Mei 1131 M.

[26] Lihat al-Ghazalii, Al-Munqid, 88. Tentang kondisi pada masa al-Farabi, Lihat Osman Bakar, Hierarki ilmu, 26-47.

[27] Al-Ghazalii, Al-Munqid, 57. Hal yang senada juga pernah dilakukan oleh Ibn Sina ketika menulis Danisynama-yi alaihi, untuk memenuhi permintaan Sultan Al-Daulah. Dalam sejarah, banyak buku-buku baik teologi, fiqh, hadits atau yang lain yang ditulis untuk memenuhi permintaan golongan tertentu atau permintaan penguasa.

[28] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 42.

[29] Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat..., 270.

Artikel ini dan beberapa yang lain tersimpan dalam document scribd. Untuk mengakses document tersebut, klik disini

Read more...

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP