Minggu, Februari 28, 2010

Epistemology of Irfani

Epsitemologi Irfani
Oleh: A Khudori Soleh
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks.

A. Sumber Asal Irfani.
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan. Pertama, menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Disamping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w. 877 M).
Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lery. Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam. (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan mengasingkan diri (khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 782 M), Syaqiq al-Balkh (w. 810 M) dan Yahya ibn Muadz (w. 871 M). (3) Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam. (4) Konsep dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya neo-platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, ‘Theologi Aristoteles’ yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains hellenistik. Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS. Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqâmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri (w. 1077 M).
Persoalannya, benarkah irfan berasal dari sumber luar Islam? Benarkah Islam sendiri tidak mempunyai ajaran soal irfan? Menurut Nicholson, irfan atau sufisme adalah sesuatu yang rumit dan komplek, sehingga tidak bisa dikemukakan jawaban sederhana atau berdasarkan satu aspek tentang asal-usulnya. Berdasarkan landasan ini kita mencoba melihat asal dan sumber irfan.
Pendapat pertama, bahwa irfan berasal dari sumber Persia dan Majusi, jelas tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh. (1) Perkembangan irfan dan sufisme tidak sekedar upaya Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami. Banyak tokoh Sufis Arab yang hidup di Mesir, Syiria dan Baghdad, seperti Dzun al-Nun al-Misri (w. 861 M), Abd al-Qadir Jilani (w. 1165 M), ibn Arabi (w. 1240 M), Umar ibn Faridl (w. 1234 M), dan Ibn Athaillah al-Ikandari (w. 1309 M). Mereka bahkan tokoh yang memberi pengaruh besar bagi perkembangan irfan dikemudian hari. (2) Kemunculan Ma`ruf al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w. 877 M) adalah setelah zaman Rasul, para sahabat dan angkatan pertama kaum sufisme. Ini berarti mengabaikan sama sekali pengaruh kehidupan Rasul, para sahabat dan tokoh pertama angkatan sufisme, seperti Hasan al-Basri (w. 728 M), Malik ibn Dinar (w. 748 M), Rabiah al-Adawiyah (w. 752 M) dan Ibrahim ibn Adham (782 M).

Untuk membaca lebih lanjut tentang artikel ini, klik di sini.

0 komentar:

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP