Selasa, Desember 29, 2009

Islamic Philosophy not only History of Thought

Filsafat Islam Bukan Sekedar Sejarah Pemikiran
Pengantar Utk Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Karya A Khudori Soleh
Oleh: Prof. Dr. HM. Amin Abdullah

Salah satu kritik yang sering saya sampaikan terhadap kajian-kajian filsafat Islam adalah bahwa ia masih lebih sering dilihat dari aspek sejarahnya disamping sedikit persoalan metafisika. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di kalangan pesantren yang memang masih banyak diselimuti trauma-filsafat, melainkan juga di perguruan tinggi seperti IAIN dan PTAIS, bahkan di tingkat pasca-sajananya sekalipun, kecuali mungkin di IAIN Yogyakarta dan Jakarta. Akibatnya, kajian filsafat Islam tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal, apa yang ada dalam cakupan filsafat, sesungguhnya, tidak hanya aspek sejarah melainkan juga substansinya, dan bagian inilah yang sebenarnya harus mendapat perhatian lebih. Bagian substansi ini meliputi bahasan metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi.
Dengan demikian, apa yang dimaksud filsafat, dalam hal ini filsafat Islam, sesungguhnya, bukan sekedar bahasan tentang isme-isme atau aliran-aliran pemikiran apalagi sekedar uraian tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya, tetapi lebih merupakan bahasan tentang proses berpikir. Filsafat adalah “metodologi berpikir”, yaitu berpikir kritis-analisis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan “proses” berpikir dan bukan sekedar “produk” pemikiran. Karena itu, Fazlur Rahman secara tegas menyatakan,
“Philosophy is, however, a parennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for its own sake and for the sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates new ideas that became important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives itself of philosophy necessarily exposes itself to starvation in term of fresh ideas –in fact it commits intellectual suicide”.
Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: “Bagaimanapun juga, filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal itu dapat difahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersikap kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian, ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi. Karena itu, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan kelesuan darah –dalam arti kekurangan ide-ide segar— dan lebih dari itu, ia berarti telah melakukan bunuh diri intelektual”.
Kelesuan berpikir dan berijtihad di kalangan umat Islam sampai saat ini, salah satu faktor utamanya, adalah disebabkan mereka tidak mau melihat dan memperhatikan filsafat. Sebaliknya, seperti ditulis al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan. Karena itu, untuk pengembangan dan kajian keilmuan Islam kontemporer, kita tidak bisa lagi berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global. Namun, sekali lagi, apa yang dimaksud filsafat disini bukan sekedar uraian sejarah dan metafisikanya yang nota bene merupakan “produk” pemikiran melainkan lebih pada sebuah metodologi atau epistemologi.
Dalam khazanah filsafat Islam, seperti diuraikan dalam buku ini, dikenal ada tiga buah metode pemikiran, yakni bayani, irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metode berpikir yang didasarkan atas teks. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan penentu arti kebenaran, sedang rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi teramankannya otoritas teks tersebut. Irfani adalah model metode berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Karena itu, berbeda dengan sasaran bidik bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoteris atau bagian batin teks, dan karena itu, rasio digunakan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut. Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Ketiga model metode berpikir dan sekaligus ketiga epistemologi tersebut, dalam sejarahnya, telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh (hukum) dan teologi (kalam), ifrani telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme disamping kelebihannya dalam wilayah praktis kehidupan untuk dapat memahami eksistensi orang lain, dan burhani telah menyampaikan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya. Namun, hal itu bukan berarti tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks “suci” yang berbeda milik komunitas, bangsa atau masyarakat lain. Karena otoritas ada pada teks sedang rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks tertentu belum tentu diterima oleh golongan pemiliki teks yang lain, maka pada saat berhadapan tersebut, nalar bayani biasanya lantas mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif dan apologetik, dengan semboyan yang kurang lebih semakna dengan “right or wrong my country”. Nalar bayani menjadi tertutup sehingga sulit diharapkan munculnya dialog yang sehat demi tercapainya sikap saling memahami seperti yang dituntut dalam kehidupan modern. Kelemahan irfani adalah adanya kenyataan bahwa term-term intelektualnya, seperti ilham, kasyf, dlamir dan psikognosis telah terlanjur ter”baku”kan dan terinstitusionalisasikan dalam organisasi atau perkumpulan tarekat-tarekat yang “mandiri” dengan wirid-wirid tertentu yang menyertainya. Tidak mudah dan butuh kemampuan serta keberanian lebih untuk mengembalikan citra positif epistemologi irfani dalam gugus epistemologi Islam yang komprehensif-integratif-ilmiah. Sementera itu, kelemahan burhani terletak pada kenyataan bahwa meski ia rasional tetapi masih lebih didasarkan atas model pemikiran induktif-deduktif. Kedua metode tersebut sangat tidak memadai dalam perkembangan pemikiran kontemporer.
Dengan segala kekurangan yang ada seperti itu, masing-masing model epistemologi berarti tidak dapat digunakan secara mandiri untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk mencapai hal tersebut, ketiganya harus disatukan dalam sebuah jalinan yang disebut sebagai “hubungan sirkuler”. Maksudnya, ketiga model epistemologi tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerja sama untuk saling mendukung, mengisi mengkritik dan memperbaiki kekurangan yang melekat pada masing-masing. Meski demikian, kerja sama ketiga model epistemologi ini belaka belum juga memadai dalam memecahkan persoalan-persoalan keagamaan kontemporer yang sangat komplek. Karena itu, ia masih harus didukung oleh disiplin ilmu-ilmu sosial modern, seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah, sehingga produk yang dihasilkannya menjadi lebih aktual, utuh dan sempurna setelah mendapat masukan dan kritik dari berbagai macam pendekatan dan metodologi. Karena itu pula, jalinan epistemologi tersebut tidak boleh bersifat final, eksklusif dan hegemonik, melainkan harus senantiasa terbuka dan inklusif. Sebab, finalitas dan ekskluvitas hanya akan mengantarkan pada jalan buntu (dead lock) dan tidak memberikan kesempatan bagi munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang –mungkin— lebih baik dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan dan keislaman kontemporer. Disamping itu, finalitas dan eksklusivitas berarti menepikan kenyataan bahwa keberagamaan bukanlah suatu peristiwa yang “sekali jadi” melainkan sebuah proses panjang (on going proses) menuju kematangan.
Tentang tata kerja hubungan diantara ketiga model epistemologi yang disebutkan diatas, ia menggunakan cara kerja metode hermeneutika. Secara lebih jelas, model hubungan sirkuler tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Itulah kiranya upaya keilmuan yang harus dilakukan demi tercapai Islam yang shâlih li kull zamân wa makân, Islam yang senantiasa aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Yakni, bahwa kita memang harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya, dan bagian inilah yang harus lebih ditekankan dalam kajian-kajian filsafat Islam kontemporer, khususnya di perguruan tinggi Islam. Ditambah dengan dukungan disiplin dan teori-teori humaniora dan ilmu-ilmu sosial modern, ia akan mampu memberikan sumbangan sangat signifikan bagi percepatan perkembangan keilmuan Islam dimasa mendatang.
Buku yang ditulis berdasarkan silabi mata kuliah Filsafat Islam yang saya berikan pada program magister jurusan Filsafat Islam, PPs IAIN Yogyakarta, tahun 1999 ini tidak hanya berisi uraian tentang sejarah dan persoalan metafisika Islam, melainkan juga masalah etika, estetika dan terutama epistemologi. Inilah kiranya perbedaan dan mungkin sesuatu yang dapat dianggap baru dalam buku ini dibanding buku-buku filsafat yang sejenis. Semoga bermanfaat.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP