Selasa, Juli 01, 2008

Learn from Success of Prophet Muhammad

Belajar dari Kesuksesan Nabi Muhammad
Oleh: A Khudori Soleh
RASUL saw. melakukan dakwah di Madinah hanya sekitar 10 tahun. Namun, dalam waktu yang sangat singkat tersebut, beliau telah mampu membangun sebuah tata kehidupan masyarakat Madinah (Islam) yang kukuh, kuat dan berperadaban yang saat ini sering di impikan sebagai masyarakat madani.
Apa kunci dari keberhasilan Rasul tersebut? Dari mana beliau memulai membangun masyarakatnya? Inilah sebenarnya yang patut direnungkan ketika kita memperingati hari milat rasul seperti saat ini.

Kualitas Spiritual
Jika kita amati tindakan dan anjuran-anjuran yang diberikan, paling tidak ada empat hal penting yang dilakukan Rasul dalam melakukan perubahan masyarakat. Pertama, pembangunan spiritual. Ini dibuktikan dari kenyataan bahwa yang pertama dilakukan nabi begitu sampai di Madinah adalah pembangunan masjid. Masjid adalah simbol kegiatan spiritual dan perbaikan moral. Kenyataan ini tambah dengan banyaknya anjuran beliau pada umatnya untuk melakukan shalat malam (qiyâm al-lail). Shalat malam tentu bukan sekedar bangun malam untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat, apalagi hanya sekedar shalat Isya’ yang ketinggalan. Qiyam al-lalil hanya “sarana” yang tujuannya intinya adalah tercapainya kualitas spiritual. Inilah yang terpenting, yaitu penghayatan dan perubahan moral serta penambahan kualitas spiritual. Karena itulah, Allah SWT dalam al-Qur’an menyatakan, “Pada sebagian malam, shalat tahajudlah sebagai tambahan bagi kamu; semoga Allah mengangkat derajatmu ke tempat yang terpuji” (QS. al-Isra, 79). Tujuannya adalah agar derajat kita semakin naik di sisi Tuhan.
Dalam hal ini, paling tidak ada dua manfaat dari kegiatan shalat malam. Pertama, akan menjadikan seseorang begitu dekat dengan Allah, sehingga apa yang ada dalam hati, pikiran dan perilakunya hanyalah Tuhan dan untuk Tuhan. Jika ini yang terjadi, maka moralnya menjadi sangat baik dan segala perilakunya terkontrol. Ia menjadi sangat sadar bahwa Tuhan ada di dekatnya dan Dia selalu mengawasinya, sehingga tanpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun, ia tidak mungkin melakukan korupsi, menipulasi maupun tindakan lain yang tidak benar.
Sejak beberapa tahun terakhir, kita sebenarnya sangat bangga dengan semakin banyaknya orang Islam yang menunaikan ibadah haji. Kajian-kajian keagamaan juga semakin semarak, apalagi saat bulan Ramadlan. Hampir tidak ada instansi yang tidak melakukan kajian keagamaan. Media massa-pun seolah berlomba untuk menjejali kita dengan pengajian. Persoalannya, apakah kesemarakan dan peningkatan nilai-nilai kuantitas tersebut telah juga dibarengi dengan peningkatan nilai-nilai kualitas? Inilah yang harus kita renungkan. Sebab, penyimpangan-penyimpangan masih terus saja terjadi dan ironisnya justru dilakukan oleh mereka yang notabene beragama Islam dan dulunya sangat konsen terhadap pemberantasan korupsi. Dalam pembangunan masyarakat, Rasul tidak mengajarkan umat Islam mengejar kuantitas dan formalitas ibadah, tetapi kualitas dan substansial atau penghayatan dari ibadah-ibadah yang dilakukan. Sebab, penghayatan dan kualitas inilah yang akan mampu mendorong si pelaku kearah perubahan-perubahan positif dan lebih baik.
Kedua, akan membuat hati seseorang menjadi jernih. Dalam epistemologi irfani, suatu bentuk epistemologi dalam Islam yang mengedepankan intuisi, hati adalah sarana utama dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Dalam perspektif ini, berhasilnya tidaknya suatu usaha pencapaian keilmuan sangat tergantung pada sejauh mana hati mampu menangkap pancaran ilmu (faidl) yang diberikan Tuhan. Jika seseorang mampu mencapai tingkat ini, hasilnya menjadi sangat luar biasa, melebihi apa yang dicapai nalar biasa. Beberapa pengamat sains baik dari Barat maupun Islam sendiri mengakui hal itu. Menurutnya, apa yang dicapai oleh filsafat dan sains Islam abad pertengahan tidak mungkin dari hasil olah nalar biasanya, karena di sana terjadi lompatan-lompatan pemikiran yang besar. Semua itu pasti terjadi karena campur tangan Tuhan lewat intuisi, dan kenyataannya, hampir semua para filosof dan saintis muslim saat itu adalah sekaligus seorang sufis yang sangat mengedepankan kejernihan hati.

Solidaritas
Hal kedua yang dilakukan nabi dalam membangun masyarakat adalah menanamkan rasa solidaritas di antara umat. Hal ini tampak pada program muakha’ yang dilakukan Nabi di Madinah. Seperti yang diketahui, setelah sampai di Madinah, Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka disuruh untuk bersumpah untuk saling mengangkat saudara dan saling melindungi, sehingga terjalin hubungan yang erat di antara mereka. Tidak hanya itu, Nabi juga berusaha menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok lain di luar Islam, seperti kaum Yahudi dan lainnya. Masalah ini terlihat jelas pada Piagam Madinah (Dustur Madinah), perjanjian yang dibuat Nabi dengan orang-orang Yahudi pada awal kedatangan beliau di Madinah. Artinya, solidaritas yang dibangun Nabi tidak hanya dalam lingkup masyarakat Islam tetapi juga mencakup seluruh manusia, solidaritas kemanusiaan, tanpa memandang perbedaan agama, warna kulit, ras, suku dan bahasa.
Dalam hadis-hadis, Nabi juga sering memerintahkan umatnya untuk memperbanyak shilatur-rahim. Dalam konteks yang sederhana, kita telah memenuhi perintah ini dengan sering mengunjungi keluarga, handai taulan, teman sejawat dan seterusnya. Pada saat idul fitri, kita mudik ke kampung, silatur rahmi kepada tetangga, famili dan lain-lain. Akan tetapi, dalam konteks yang lebih luas dan kekinian, silatur-rahmi jelas bukan berkunjung tetapi terciptanya jalinan hubungan kemanusiaan secara lebih baik dan dekat, sehingga dapat dirasakan bahwa kita adalah umat yang satu di mana jika sebagian ada yang sakit yang lain ikut merasakannya. Yang harus menjadi renungan, apakah shilatur-rahmi yang kita lakukan telah menumbuhkan rasa solidaritas seperti itu?

Pembangunan Ekonomi
Banyak hadis yang menyuruh kita untuk bersedekah, memberi makan kepada fakir miskin, memelihara anak yatim dan seterusnya. Secara tekstual, hadis itu berarti menuntut kita memberikan makan, minum ataupun bantuan kepada kaum miskin, dan ini telah banyak dilakukan. Pada hari-hari tertentu, organisasi-organisasi keagamaan dan sosial mengumpulkan dana untuk kemudian memberikannya kepada panti-panti asuhan, anak-anak gelandangan, kaum fakir dan sebangsanya.
Akan tetapi, dalam konteks yang lebih luas, perintah Rasul tersebut tentu tidak sekedar itu. Pemberian makan dan minum seperti yang sering kita dilakukan tidak banyak membawa perubahan. Apalagi kenyataannya, pemberian tersebut lebih banyak diberikan dalam jumlah ala kadarnya dan tidak kontinyu. Hanya pada hari dan bulan tertentu. Padahal, mereka butuh makan setiap hari. Karena itu, penyataan Rasul saw pada dasarnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu perintah untuk mengatasi masalah kemiskinan. Paling tidak, membantu kaum fakir dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidupnya.
Al-Qur’an sendiri banyak berbicara tentang masalah ini. Salah satunya adalah bahwa diperintahkannya zakat, sedekah dan infaq adalah agar harta kekayaan tidak terpusat pada satu golongan kaya, sehingga tidak terjadi konglomerasi dan kekayaan dapat terdistribusikan secara merata dan adil. Ini prinsip ekonomis yang sangat modern. Dalam kajian sosiologis, kehidupan masyarakat akan berjalan baik jika perputaran ekonomi lancar, dan ekonomi akan berputar stabil jika ia tidak dipegang oleh kelompok-kelompok tertentu yang sedikit tetapi terdistribusikan secara merata. Artinya, apa yang diajarkan al-Qur’an tentang zakat, sedekah dan infaq, dan apa yang diperintahkan Nabi dengan memberi makan kepada orang miskin (ith`am al-miskin) sebenarnya bukan sekedar memberi hadiah atau makanan pada anak yatim dan orang miskin pada bulan-bulan tertentu, bulan Rajab misalnya, tetapi perintah tentang pembangunan ekonomi secara mapan, sehingga tata kehidupan masyarakat dapat tersangga secara baik dan harmonis.

Memberi Kedamaian
Bahwa Islam adalah agama rahmat telah sering disampaikan para dai. Tidaklah Aku utus engkau ke dunia kecuali untuk membawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya, 107). Akan tetapi, apakah benar bahwa Islam dan kita sebagai umatnya telah memberi kedamaian kepada semua orang? Inilah yang harus direnungkan. Sebab, tidak jarang Islam justru tampil dengan wajah garang dan menakutkan, karena sebagian umatnya sering berbuat onar, yang dengan senjata di tangan mendatangi tempat-tempat tertentu untuk memaksakan teologinya.
Rasul sendiri sering memerintahkan kita untuk menyebarkan kedamaian (afsy al-salam). Afsy al-salam, secera sederhana, berarti tuntutan pada kita untuk senantiasa menyebarkan atau membiasakan diri mengucapkan salam bila bertemu dengan sahabat sesama muslim. Ini tidak salah. Salam adalah teguran sekaligus doa yang khas orang Islam terhadap sesamanya. Dengan membiasakan salam, Islam akan makin marak dan terlihat panji-panji kebesarannya. Juga, dengan salam, akan semakin dekat dan mesra hubungan antar sesama muslim.
Akan tetapi, dalam konteks luas, perintah itu jelas bukan sekedar mengucapkan salam tetapi perintah untuk memberikan kedamaian, memberikan ketenangan, ketentraman dan persahabatan. Tidak hanya kepada sesama muslim, tetapi juga terhadap sesama manusia yang berlainan agama, kulit, bangsa dan bahasa. Bahkan, juga memberikan kedamaian kepada binatang dan alam. Ini adalah PR kita. Dapatkah kita membuktikan bahwa Islam adalah agama yang damai, sejuk, santun dan teduh?

Penutup
Nabi mulai membangun masyarakatnya dengan empat pilar utama tersebut; kualitas spiritual, rasa solidaritas, ekonomi dan kedamaian. Sedemikian, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, hanya sekitar 10 tahun tahun, beliau telah berhasil membentuk tatanan masyarakat yang kuat, kukuh dan berperadaban. Empat hal ini secara eksplisit juga disampaikan lewat sebuah hadis beberapa saat setelah tiba di Madinah, dengan istilah qiyam al-lail, shilatur-rahmi, ith`am al-miskin dan afsy al-salam.
Itulah salah satu yang harus kita teladani dalam peringatan milad Nabi seperti saat ini. Kenapa beliau dapat begitu cepat dalam pembangunan masyarakatnya, sedang kita yang sudah merdeka dan membangun bangsa lebih dari setengah abad ternyata tidak kunjung membaik?

Pernah di muat dalam Buletin Jum’at al-Huda, PP Gading Pesantren, Malang, 6 Mei 2005

0 komentar:

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP