Muwafat Doctrine of Etan Kohlberg
Doktrin MUwafat Etan Kohlberg Kehendak dan sikap Tuhan Perubahan Sikap dari Iman ---> Kafir Perubahan Sikap dari Kafir ---> Iman Muwâfât I Kekal/ Tetap Tidak Tidak Muwâfât II Temporal/ Berubah Tidak Ya Muwâfât III Kekal/ Tetap Ya Ya
Oleh: A Khudori Soleh
Salah satu yang menjadi persoalan dalam teologi Islam adalah tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia. Yaitu, apakah tindakanya telah diatur Tuhan (merupakan takdir) atau atas usahanya sendiri. Muwâfât masuk dalam perdebatan ini, apakah baik buruknya akhir kehidupan seseorang, husn al-khâtimah (baik akhirnya) atau sû’ al-khâtimah (buruk akhirnya) yang dianggap sebagai penentu atas keseluruhan nilai amal perbuatannya telah ditentukan Tuhan atau bisa direncanakan manusia sendiri. Tulisan berikut mendiskusikan artikel yang ditulis Etan Kohlberg, tentang asal munculnya muwâfât dan pandangan para sarjana muslim klasik tentang masalah ini.
Tidak ada informasi yang memadai tentang penulis artikel ini, kecuali bahwa Etan Kohlberg adalah seorang Yahudi yang banyak menulis tentang masalah keislaman (Islamolog). Artikel ini sendiri diambil dari tulisan Kohlberg di jurnal Jerussalem Studies and Islamic Arabic (JSIA), edisi tahun 1983, dengan judul “Muwâfâât Doktrines in Muslim Theology”.
Tentang metode yang digunakan, tidak ada penjelasan secara eksplisit tentang hal tersebut. Namun, dengan melihat tulisannya, Kohlberg setidaknya menggunakan dua metode: historis dan diskriptif. Metode historis dipakai untuk melihat dan menjelaskan sejarah perkembangan doktrin muwâfât, sedang metode diskritif digunakan untuk memaparkan isi doktrin itu sendiri.
Sejarah Muwâfât.
Menurut al-Asy`arî (w.324/935), seperti yang dikutip Etan Kohlberg, persoalan muwâfât muncul dari konsep tentang kemurahan dan kebencian Tuhan. Dari situ kemudian memunculkan pertanyaan bagaimana akhir kehidupan kita nantinya, termasuk yang di cintai atau di benci Tuhan, mengingat bahwa detik-detik terakhir adalah sesuatu yang sangat penting berdasarkan hadis, “yang terpenting dari sebuah perbuatan adalah bagian yang terakhir” (innamâ al-a`mâl bi l-khawâtîm). Akan tetapi, menurut Kohlberg, pendapat al-Asy`ari ini tidak tepat, sebab --mengikuti pernyataan Yusuf ibn Ibrahim al-Warlani (570/1174), salah seorang pengikut kelompok Ibadiyah-- doktrin muwâfât sebenarnya telah dikenal masyarakat Islam sejak sebelum itu, tapi memang tidak dengan istilah muwâfât.
Menurut Kohlberg, doktrin muwâfât pertama kali disampaikan oleh Ibn Kullab `Abd Allah ibn Sa`id al-Qathan (240/854), pendiri kelompok Kullabiyya, subsekte Khawarij. Menurut Ibn Kullab, Tuhan senantiasa menghendaki kebaikan dan mencintai hamba-Nya yang berbuat baik. Pendapat ini didukung Sulaiman ibn Jarir, salah seorang pengikut Syi`ah Zaidiyah, kemudian di ambil al-Baqillani (403/1013), pengikut Asy`ari dengan lebih menekankan pada soal keabadian cinta dan benci Tuhan. Asy`ari sendiri mempunyai pendapat yang tidak berbeda dengan al-Baqillani ditambah penekanan pada bagian akhir kehidupan, berdasarkan hadis diatas. Para pengikut Asy`ari berpikir keras untuk menyelaraskan doktrin muwâfât yang menekankan keabadian cinta dan benci Tuhan dengan ‘bentuk’ akhir kehidupan yang berdasar atas realitas keimanan seseorang dengan menampilkan konsep pengecualian, “formula of exception” atau “isti£nâ’”. Yakni, jika saat ini seseorang telah beriman, hendaknya ia mengucapkan “jika Tuhan menghendaki” (Insya Allah) untuk melihat apakah detik-detik terakhirnya masih termasuk orang yang beriman.
Pada periode berikutnya, Ibn Taimiyah (w.728/1328), menolak keras konsep “isti£nâ’” dari al-Asy`ari diatas. Menurutnya, konsep tersebut tidak mencerminkan upaya untuk mensucikan Tuhan (tazkiya), tetapi justru menghancurkan kemaha sucian-Nya. Sebab, dengan adanya konsep seperti itu, seseorang akan cenderung untuk “menyalahkan” Tuhan jika terjadi kegagalan atau sû’ al-khâthimah.
Menurut Etan Kohlberg, ada tiga pendapat menyangkut persoalan muwâfât. Pertama, bahwa baik buruknya akhir kehidupan seseorang sepenuhnya telah ditentukan Tuhan. Kebaikan dan keburukan adalah manifestasi dari kecintaan dan kebencian Tuhan yang bersifat kekal dan tatap, tidak berubah. Jika dicintai-Nya, seseorang akan mati secara husn al-khâtimah meski semasa hidupnya bertindak kurang baik; sebaliknya, jika tidak dicintai-Nya (dibenci) ia akan mati sû’ al-khâtimah meski semasa hidupnya berbuat kebaikan. Pendapat ini didasarkan atas pemahaman ayat, “Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan” (QS. 6;98). Juga didasarkan atas sebuah hadis yang menyatakan bahwa jika Tuhan mencintai seseorang, Dia akan mendorong dan memberi jalan pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan baik sehingga tercapai husn al-khâtimah; sebaliknya, jika membencinya, Tuhan akan mendorong dan mengarahkan manusia pada hal-hal yang jahat sehingga terjadi sû’ al-khâtimah. Dengan demikian, dari sisi Tuhan, apa yang dikehendaki-Nya bersifat tetap dan abadi, sedang dari sisi manusia, mereka tidak mempunyai pilihan-pilihan, sehingga tidak dikenal adanya perubahan-perubahan, dari iman menjadi kafir atau sebaliknya.
Kedua, kualitas terakhir dari kehidupan seseorang sepenuhnya diatur dan sesuai dengan yang direncanakan manusia sendiri, Tuhan tidak ikut terlibat. Didasarkan atas ayat, “Orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman lalu kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya” (QS. 4:137). Adanya perubahan dari iman ke kafir dan sebaliknya menunjukkan bahwa soal iman dan tidak adalah urusan manusia sendiri dan sikap Tuhan terhadap masalah ini berubah sesuai dengan perubahan hati hamba-Nya. Pendapat ini juga di dasarkan atas kenyataan bahwa manusia senantiasa berusaha mencari ‘pegangan hidup’, mencari keyakinan dan kepercayaan untuk mengisi hatinya, sehingga manusia selalu mengarah kepada keimanan, tidak pada kekafiran --meski tidak selalu kepada Tuhan.
Dari dua alasan ini, kelompok kedua menyatakan bahwa sikap Tuhan tidak tetap (kontras dengan pendapat pertama yang menyatakan sikap Tuhan tetap, tidak berubah) melainkan berubah-ubah sesuai perubahan hati atau iman seseorang. Hanya saja, dalam hal ini, perubahan hati manusia hanya bisa kepada arah iman, dari kafir menjadi iman, tidak sebaliknya. Sebab, perubahan dari iman kepada kafir bertentangan dengan realitas dan kodrat kemanusiaan sendiri yang selalu berusaha mencari kebenaran dan keyakinan. Pemikiran kedua ini, menurut Kohlberg, pertama kali disampaikan oleh dua orang tokoh Syi`ah pada masa dinasti Buwaih; al-Syarif al-Murtadla (436/1044) dan Abu Ja`far al-Thûsi (460/1067).
Ketiga, merupakan sintesa dari dua pendapat diatas, bahwa baik buruknya akhir kehidupan seseorang merupakan hasil kerja sama manusia dan Tuhan, sesuai dengan posisi dan kedudukan masing-masing. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta bertindak memberikan fasilitas baik dan buruk dengan segala kemungkinan dan kekuatan yang mengarah kepada keduanya, dan manusia sebagai ‘pelaksana’ punya kemauan serta kebebasan untuk memilih dan menentukan mana yang diinginkan, baik atau buruk.
Pendapat terakhir ini, dengan demikian, apa yang berkaitan dengan sikap dan kehendak Tuhan bersifat tetap, tidak berubah. Dia senantiasa memberikan fasilitas dan kekuatan baik dan buruk meski manusia melakukan yang buruk, dan manusia dalam hal ini bebas menentukan pilihannya. Sedemikian, sehingga mereka tidak hanya berubah dari kafir menjadi mukmin tetapi juga bisa berubah dari mukmin menjadi kafir.
Menurut Kohlberg, pendapat ketiga ini pertama kali disampaikan oleh Abu Ishaq al-Isfara’ini (418/1027), salah seorang tokoh Asy`ariyah, kemudian diulangi oleh Abu Ya`la ibn al-Farra’ (458/1066), seorang hakim dari madzhab Hanbali. Pada waktu yang sama, pendapat ini juga disampaikan Ibn Hazm (456-1064), pengikut madhhab Dzahiri di Kordova, Spanyol.
Rekapitulasi Doktrin Muwâfât
Tanggapan.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu disampaikan menanggapi tulisan Kohlberg ini. Pertama, tulisan ini, dari bentuknya, kurang disusun secara sistematis, dimana diantara tiga pendapat diatas, statemen, tokoh-tokoh yang mempopulerkan, alasan dan dasar masing-masing dikelompokkan dalam satu bagian tersendiri, sehingga memudahkan pemahaman. Yang ada, statemen di tulis terpisah dari alasan masing-masing, sehingga harus dicari sebuah tokoh atau dasar ini untuk pendapat yang mana; atau mungkin, model tersebut adalah sebuah sistematika tersendiri. Ini mengingatkan tulisan al-Sya`rani dalam “al-Mizân al-Kubrâ” sebuah kitab fiqh tasawuf yang ditulis dengan cara seperti itu: yakni antara pendapat dan alasan-alasan yang mendasarinya ditulis secara terpisah, sehingga agak menyulitkan pelacakannya.
Kedua, metode historis yang digunakan tidak dilakukan secara tuntas, sehingga ia menjadi tidak kritis terhadap data-data sejarah yang ada. Ini terlihat jelas ketika Kohlberg menyatakan bahwa muwâfât I disampaikan oleh tokoh Kullabiya, subsekte Khawarij, muwâfât II oleh kalangan Syi`ah dan muwâfât III oleh kalangan Asy`ariyah dan Hanbaliyah. Benarkah demikian? Doktrin muwâfât I, sesungguhnya, tidak berbeda dengan teologi Jabbariyah, muwâfât II sama dengan Qadariyah dan Muktazilah dan muwâfât III persis dengan apa yang ada dalam konsep keadilan Syi`ah; pemahaman seperti itu telah berkembang jauh sebelum masa-masa tokoh yang disebutkan Kohlberg. Washil ibn Atha’ (131/749), dari Muktazilah, misalnya, telah menyampaikan persoalan kebebasan manusia, tiga abad sebelumnya. Begitu pula Ja`far al-Shadiq (140/757), iman keenam Syi`ah Imamiyah melontarkan gagasan keadilan Tuhan sebagaimana dalam doktrin muwâfât III, tiga abad sebelum Isfara’ini lahir. Bahkan faham Jabariyah telah ada sejak awal-awal masa kekuasaan Bani Umaiyah. Kohlberg mestinya --akan-- melihat fakta-fakta sejarah seperti itu, seandainya menggunakan metode historis secara tuntas dan kritis.
Ketiga, tidak ada penjelasan secara baik dari Kohlberg tentang latar belakang mengapa gagasan muwâfât yang sampai pada tiga aliran tersebut muncul. Tanpa ada penjelasan latar belakang yang menyertainya, sulit bagi kita untuk memahami makna konsep yang sebenarnya.
Meski demikian, harus diakui bahwa apa yang disampaikan Kohlberg adalah informasi baru yang menambah khazanah pemikiran kita yang berbeda dengan informasi umumnya, terutama referensi yang digunakan. Ini tantangan bagi kita untuk melacak lebih lanjut, bagaimana sebenarnya pergulatan pemikiran keislaman yang terjadi pada masa klasik.
0 komentar:
Posting Komentar