Sabtu, Agustus 09, 2008

Moral Philosophy of Aristotle

Filsafat Moral Aristoteles
Oleh: A Khudori Soleh
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid terkemuka Plato (427-348 SM), seorang tokoh pemikir idealis. Meski demikian, ia tidak sependapat dengan gurunya yang menyatakan bahwa manusia telah mengenal idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik bisa tercapai dengan kontemplasi dengan idea Yang Baik tersebut. Menurut Aristoteles, kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas inderawi kongkret inilah akal budi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan.
Berangkat dari pendekatan --yang serba-- empiris yang digunakan Aristoteles ini, kita akan mencoba membahas konsep-konsepnya tentang moral.

Teleologis.
Pembahasan etika biasanya dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibat tindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dusta adalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya.[1]
Sebaliknya, teleologis menyatakan bahwa tindakan bersifat netral; baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibat atau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik. Etika Aristoteles termasuk teleologis, karena ia mengkaitkan tindakan dengan dampak atau tujuan tertentu; kebahagiaan. Tindakan dinilai baik sejauh mengarah pada kebahagiaan dan salah jika mencegah kebahagiaan.[2]
Kebahagiaan siapa? Kebahagiaan si pelaku. Karena itu, etika Aristoteles tidak Universalistik, tetapi bisa dikata egoistik, karena lebih menekankan dampak bagi pelaku, bukan dampaknya pada orang umumnya.[3]

Eidomonia Sebagai Ukuran Baik Buruk.
Eidemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus penentu baik buruknya tindakan dalam etika Aristoteles.[4] Menurutnya, sesuatu dinilai baik jika tujuannya mengarah pada pencapaian kebahagiaan, dan dinilai buruk jika tidak diarahkan kepada kebahagiaan.[5] Persoalannya, apa yang dimaksud sebagai bahagia dalam pandangan Aristoteles? Apa unsur-unsurnya? Bagaimana cara mencapainya?
Sebelum mendiskusikan masalah kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles, ada baiknya kita lihat konsep kebahagiaan dalam perspektif tokoh-tokoh lain. Menurut Epicuras, kebahagiaan adalah kenikmatan. Seseorang akan bahagia jika merasa nikmat, dan apa yang dimaksud nikmat di sini adalah adanya ketentraman jiwa yang tidak dikejutkan dan tidak dibingungkan oleh sesuatu dengan cara menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Jelasnya, bahagia dalam pandangan Epicuras adalah bebas dari rasa sakit dan penderitaan.[6] Pengertian yang hampir senada juga diberikan John Stuart Mill. Menurut Mill, kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan.[7]
Sementara itu, menurut Agustinus, kebahagiaan adalah menyatunya rasa cinta kasih manusia dalam Tuhan. Dalam pandangan Agustinus, tujuan hidup manusia adalah persatuan diri dengan Tuhan.[8] Sedang dalam pandangan Stoa, kebahagiaan adalah kemampuan diri untuk menahan dorongan nafsu (self sufficiency) dengan cara menyatukan diri dan tunduk pada hukum alam. Jelasnya, kebahagian Stoa terletak pada kemampuan seseorang untuk --meminjam istilah Jawa-- “menerima ing pandum”. Menerima apa yang menjadi bagiannya.[9]
Bagaimana konsep kebahagiaan Aristoteles? Menurut Aristoteles, kebahagiaan manusia terdapat pada aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Apa aktivitas khusus pada manusia yang mengarah pada kesempurnaanya? Menurut Aristoteles, potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau makhluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, aktivitas dan aktualitas manusia yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk aktivitas yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena manusia hidup dalam alam dunia dan masyarakat, maka aktualisasi dari akal budi tersebut bukan semata-mata diarahkan pada Yang Maha Budi dan Idea, tetapi juga diarahkan pada kehidupan konkrit melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Tegasnya, kebahagiaan tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk memandang realitas ruhani di satu sisi, dan aktif dalam berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat disisi yang lain.[10] Ini sama yang dirumuskan Erich Fromm, bahwa kebahagiaan tidak terletak atas apa yang kita miliki (having) tapi lebih pada kemampuan aktualisasi diri (being). Yaitu, kemampuan menyatakan dan menjadikan potensi-potensi yang dimiliki atau “mimpi-mimpi” menjadi kenyataan.[11]
Dengan demikian, jika kebahagiaan Epicuras dan John S. Mill terletak pada kemampuan lari dari rasa sakit, kebahagiaan Agustinus terjadi dalam Tuhan dan Stoa dalam alam, kebahagiaan Aristoteles terletak pada diri manusia sendiri, pada aktivitasnya untuk mengembangkan potensi-potensi hakikinya untuk menjadi sempurna.
Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurut Aristoteles, aktivitas yang menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas “keutamaan”. Hanya aktivitas yang disertai keutamaan yang dapat membuat manusia bahagia. Di samping itu, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara stabil,[12] dalam jangka waktu yang panjang, bukan hanya sporadis. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah.

Aktualisasi Diri Sebagai Kebahagiaan.
Bagaimana aktualisasi diri bisa dinilai sebagai kebahagiaan? Dalam pandangan Aristoteles, aktualisasi diri yang dinilai sebagai kebahagiaan adalah aktualisasi yang mengakibatkan kesempurnaan pada yang bersangkutan. Kesempurnaan mata adalah melihat, kesempurnaan makhluk hidup adalah mengembangkan psikhisnya, dan kesempurnaan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia; akal budi dan ruhaninya. Dengan demikian, kebahagiaan manusia sama dengan menjalankan aktivitas yang spesifik baginya, yaitu mengembangkan pemikiran dan spiritualitas. Bagi manusia, kebahagiaan adalah memandang kebanaran.[13]
Akan tetapi, kebenaran yang harus dipandang tersebut tidak hanya yang ada pada alam Idea sebagaimana dikatakan Plato. Benar bahwa manusia mengandung dimensi-dimensi ruhani dari alam transendent, tetapi ia juga mengandung wadag yang inderawi; begitu pula, ia bukan pula wadag tetapi juga mengandung nilai ruhani. Manusia adalah paduan dimensi ruhani dan duniawi. Karena itu, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan cara bertindak (aktif) mengaktualisasikan potensi atau nilai-nilai luhur manusia yang berasal alam transendent dalam kehidupan nyata, riil.[14]
Mengapa harus aktif? Menurut Aristoteles, manusia menjadi bahagia bukan dengan cara pasif menikmati sesuatu, atau bahwa segala yang diinginkan tersedia, melainkan dengan cara aktif. Dengan bertindak ia menjadi nyata. Hanya dengan perbuatan manusia menyatakan diri, ia menjadi riel. Sesuatu yang hidup bermutu tidak tercapai melalui nikmat pasif, melainkan melalui hidup yang aktif. Manusia bahagia dalam merealisasikan atau mengembangkan potensi-potensi dirinya.
Selain itu, aktualisasi aktif dalam merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut harus dilakukan menurut aturan keutamaan.[15] Hanya aktivitas yang disertai keutamaan (aretĂȘ) yang membuat manusia menjadi bahagia. Dan yang penting, tindakan maksimal atas potensi-potensi diri tersebut tidak terjadi secara sporadis atau berkala, tetapi terjadi dalam jangka waktu yang lama. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah, langgeng.[16]
Dengan demikian jelas bahwa kebahagiaan yang dalam etika Aristoteles digunakan sebagai tolok ukur baik buruknya sebuah tindakan terletak pada kemampuan yang bersangkutan dalam mengaktualisasikan potensi-potensi khas dirinya. Semakin seseorang mampu mengaktualisasikan potensi khasnya, yang tentu disertai keutamaan, maka semakin dinilai baiklah tindakannya, karena itu berarti semakin mengarah kepada kebahagiaan.

Keutamaan.
Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem yang berlawanan.[17] Sebagai contoh, dalam belanja, pengeluaran terlalu banyak disebut boros, terlalu hemat disebut kikir. Diantara dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros juga tidak kikir yang disebut “murah hati”.
Yang perlu dicatat, bagi Aristoteles, keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan yang sungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap tetap dalam menempuh jalan tengah tersebut. Bukan sekedar terjadi dalam beberapa kasus. Juga bahwa jalan tengah tidak dapat ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Artinya, apa yang dimaksud jalan tengah ini sangat subjektif, bukan objektif.
Jika subjektif, bagaimana keutamaan bisa tentukan? Adakah norma-norma untuk itu? Menurut Aristoteles, rasio menetapkan pertengahan (keutamaan) tersebut dan harus menentukannya sebagaimana orang yang bijakasana dalam bidang praktis menentukan keutamaan. Aristoteles menganggap bahwa keutamaan bukan persoalan theori, tapi praktek. Seorang sarjana yang mengerti theori moral belum tentu bisa berlaku sesuai keutamaan moral, tapi orang yang mempunyai kebijaksanaan praktis (phronesis) mampu menentukan masalah ini, berdasarkan pertimbangan konkrit.[18]

Phronesis (Kebijaksanaan Praktis).
Aristoteles --sebagaimana yang disinggung-- memisahkan praxis dari theori, meski menggunakan keduanya dalam menggapai kebahagiaan. Menurut Aristoteles, theori diarahkan pada realitas yang tidak berubah (idea), sedang praxis bergerak dalam alam manusia yang berubah yang mana manusia sendiri mempunyai kebebasan untuk memilih mana yang diambil. Nah, kemampuan bertindak tepat berdasarkan pertimbangan baik dan buruk ketika menghadapi pilihan-pilihan inilah yang disebut “phronesis” (kebijaksanaan praktis).[19] Orang yang mempunyai phronesis mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat.
Menurut Aristoteles, phonesis tidak bisa diajarkan sebagaimana juga etika tidak bisa diajarkan, tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan.[20] Phronesis tumbuh dan berkembangan dari pengalaman dan kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis, semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yang tepat; sama dengan orang yang semakin melatih jiwanya akan semakian peka perasaannya.

Tanggapan.
Konsep etika Aristoteles ini, dimana aktualisasi potensi tidak hanya dilakukan di dunia Idea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong manusia untuk bertindak sosial. Manusia bisa dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalam kehidupan negara dan tidak lepas dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilah sumbangan utama etika Aristoteles.
Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itu sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik.[21] Persoalan baik dan buruk harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut “kehendak”,[22]
Selain itu, Aristoteles tidak menyediakan tolok ukur bagi nilai moral. Bagaimana kita bisa tahu bahwa itu tindakan etis dan tidak etis? Aristoteles memang menyatakan tentang adanya “phronesis” (kebijaksanaan atau pengertian yang tepat) dalam memilih tindakan. Akan tetapi, bagaimana kita tahu bahwa tindakan yang kita lakukan tersebut tepat atau tidak? Semua tergantung kebiasaan yang dilakukan. Relatif sekali.
Terakhir, dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusia sendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika Aristoteles, transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi terlupakan.
Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih,[23] meski sama-sama menyatakan kebahagiaan sebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai manakala manusia mampu mentranfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakan-tindakannya tidak dilakukan sembarangan yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justru tersoroti dan tercerminkan oleh nilai-nilai ketuhanan. Artinya lagi, persoalan transenden ikut memainkan peran, tatapi tidak sampai mnghancurkan apalagi menghilangkan kepribadian manusia sendiri sebagaimana dalam Stoa ataupun Aquinas.

Catatan Kaki
[1] Etika deontologis biasanya dinisbatkan pada Kant (1724-1804 M). Lebih jelas, lihat Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Kanisius, Yogya, 1997), 151 dan seterusnya.
[2] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Tintamas, Jakarta, 1986), 132-134.
[3] Namun, menurut Magnis, egoistik disini bukan berarti hanya memperhatikan diri sendiri, tapi justru demi merealisasikan hakekat sosialnya sebagai zoon politikon. Jadi tidak egoistik dalam makna yang sesunguhnya. Magnis, Ibid, 41.
[4] Tanggapan dan kritik-kritik yang cukup bagus terhadap doktren eudemonisme ini, lihat De Vos, Pengantar Etika, (Tiara Wacana, Yogya, 1987), 168-176.
[5] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Muhammad Hatta, Alam Filsafat Yunani, (Tinta Mas, Jakarta, 1986), 132-134.
[6] Franz Magnis Suseno, Ibid, 49.
[7] Ibid, 181.
[8] Ibid, 69
[9] Ibid,56-59. Lihat pula Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam teori dan Praktek, (Bandung, Remaja Karya, 1986), 48.
[10] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius, Yogya, 1997), 160-1.
[11] Magnis Suseno, Op Cit, 42.
[12] Bertens, Op Cit, 161
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan secara terus menerus meski sedikit, bukannya banyak tapi hanya sekali dua kali.
[17]Ibid; Magnis, 13 Tokoh Etika, 39. Ini mungkin sama dengan sebuah hadits yang menyatakan, sebaik-baik perkara adalah yang sedang-sedang, tengah-tengah.
[18] Bertens, Op Cit,164.
[19] Ibid, 165.
[20] Magnis Suseno, Op Cit, 38. Tentu saja, pada mulanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang pada umumnya dikenal tepa dan baik. Dari sana, lambat laun akan menjadi kebiasaan atau kemampuan yang kokoh untuk bertindak tepat.
[21] Ibid, 151
[22] Ibid, 156.
[23] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Ilyas Hasan, (Bandung, Mizan, 1994), 98-99.

Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk melihatnya, klik disini

0 komentar:

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP