Rabu, Agustus 27, 2008

Two Keywords of Fasting

Dua Kata Kunci Puasa
Oleh: A Khudori Soleh
Ada dua kata kunci dalam pelaksanaan puasa. Pertama, adalah iman. Dalam al-Qur’an, Allah secara tegas menyatakan, “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa… (QS. Al-Baqarah, 183). Mengapa harus beriman? Ini berkaitan dengan system penilaian. Dalam Islam, baik buruknya suatu perbuatan dinilai berdasarkan dua sisi sekaligus. Yang pertama dari aspek social. Yaitu, sejauh mana perbutan tersebut memberikan manfaat pada masyarakat. Jika seseorang membangun lembaga pendidikan, membantu lembaga perekonomian, tempat-tempat ibadah atau turun ke bawah membantu rakyat kecil, tidak pelak bahwa itu akan dinilai sebagai perbuatan baik. Yang kedua dinilai dari aspek niat dan tujuannya. Untuk apa dan untuk siapa ia melakukan itu? Jika seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan yang baik dan niat yang bersih, serta atas dorongan-dorongan suci, maka ia dinilai sebagai perbuatan baik.
Sebaliknya, bila ia melakukan amal atau perbuatan atas dasar keuntungan materi, keuntungan politis atau riya', maka ia tidak dianggap sebagai amal baik. Ia memang baik dari segi sosial, tetapi tidak dari segi spiritual. Karena itu, amalnya tidak naik ke atas, tidak terekam dalam alam malakut. Ia memang telah memberikan pengabdian kepada masyarakat dan kemanusian, tetapi belum mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, bahkan bisa jadi malah menghianati-Nya. Alih-alih ruhnya bisa naik, dengan perbuatannya yang tidak didasari niat yang baik dan tulus itu, ia justru meluncur ke tempat yang paling rendah.
Dengan demikian, persoalannya tidak sederhana. Perbuatan baik tidak hanya diukur dari segi lahirnya saja. Niat dan pemikiran juga mempunyai peranan yang --bahkan-- amat penting. Bagaimanapun besar perbuatan itu, bila tidak disertai niat dan tujuan yang baik, tidak akan mempunyai makna. Namun, hal itu bukan berarti kita harus lebih mengutamakan aspek spiritual tanpa memperdulikan kebaikannya dalam masyarakat. Keduanya harus berjalan seiring. Bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dalam Islam, suatu perbuatan itu bagai bentuk manusia; terdiri atas jasad dan ruh. Raga atau jasad perbuatan adalah perbuatan itu sendiri yang tampak secara lahir, sedang ruhnya adalah niat dan tujuan yang mendasarinya. Agar suatu perbuatan (amal) bisa "hidup", bisa terekam dalam alam malakut dan mampu naik menembus hijab untuk hadir di Hadlirat Ilahy, ia harus didasari niat dan tujuan karena Allah. Harus diarahkan kepada Yang Tertinggi dan Yang Suci. Atau harus "ikhlash" menurut istilah pesantren. Perbuatan baik yang tidak "lillah" (tidak karena dan menuju kepada Allah); hanya untuk tujuan duniawi, maka amalnya tidak bisa naik kepada Allah. Amalnya mati bagai jasad tanpa ruh. Ia hanya baik (berguna) menurut pandangan manusia, tapi hampa dalam pandangan Tuhan. Tidak bermakna.
Inilah yang dimaksud "amal shaleh". Yaitu amal yang berkualitas, amal yang punya ruh, sehingga bisa naik ke Hadlirat Ilahy, dan amal seperti inilah yang akan diperhitungkan (diakui) di hari pembalasan kelak sebagaimana diisyaratkan, "Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapa yang lebih baik amalnya..." (QS, 67;2). Dalam ayat tersebut, tuntutannya bukan "aktsarul amal" (yang terbanyak amalnya) tetapi "ahsanul amal" (yang terbaik amalnya). Yakni, amal yang disamping punya nilai-nilai sosial, juga mengandung realitas maknawi sehingga menjadi amal yang "hidup".
Itulah sebabnya, mengapa dalam perintah puasa ramadlon ini, Allah memulainya dengan kata 'iman'. "Hai orang-orang yang 'beriman', diwajibkan atas kamu berpuasa..." (QS. 2;183). Iman adalah kunci tersampaikannya amal kepada Allah. Dengan landasan iman, seseorang berarti telah menghubungkan segala perbuatannya kepada Yang Tertinggi. Puasa yang dilaksanakan atas dasar iman berarti puasa yang hidup, yang akan mampu naik ke atas untuk hadlir di Hadlirat Ilahy, sehingga dosa-dosa orang yang mengerjakan puasa diampuni oleh Allah. Dan hanya Allah yang tahu akan propsentase kebaikannya. "Siapa yang melakukan puasa Ramadlan atas dasar iman, akan diampuni dosanya yang telah lalu", kata Rasul. Sedang puasa yang tidak dilandasi iman hanya berputar di atmosfir bumi. Tidak bisa melesat ke ketinggian derajat ruhani, karena memang tidak ada hubungan ke sana.

Untuk Taqwa.
Kata kunci kedua adalah taqwa. Atas dasar iman dilakukan puasa untuk mencapai taqwa. Taqwa adalah tujuan yang dingin dicapai dari pelaksanaan puasa. "Hai orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa" (QS. Al-Baqarah, 83). Dengan demikian, puasa bukanlah tujuan dari adanya perintah tersebut. Ia adalah sarana untuk mencapai tujuan. Ayat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa iman tidak sama dengan taqwa. Taqwa adalah hasil atau buah dari ibadah yang dilakukan atas dasar iman.
Bagaimana peribadi yang bertaqwa? Ia sesungguhnya sama dengan ihsan. Yaitu, sosok pribadi yang sadar dengan kehadiran Tuhan dan berusaha mengejawentahkan sifat-sifat-Nya dalam tata perilaku kehidupannya. Secara praktis, sebagian ulama berdasarkan masing-masing huruf hijaiyah pembentuk kata 'taqwa' memberikan ciri-ciri orang yang bertaqwa sebagai berikut. Pertama, tawadlu. Maksudnya, rendah hati, tidak sombong, tidak sewenang-wenang. Orang yang bertaqwa menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Apa yang ada pada dirinya; pangkat, kedudukan, jabatan atau kekayaan, hanya barang titipan, yang pada saatnya nanti akan diambil oleh si empunya. Manusia hanya punya hak pakai, bukan hak kepemilikan mutlak. Allahlah pemiliknya yang hakiki. Karena itu, sungguh tidak pantas menyombongkan diri dengan modal barang titipan.
Kedua, qana'ah. Maksudnya, bersikap sederhana. Ini kelanjutan sifat pertama. Bila seseorang telah mampu menyadari siapa dirinya dan mampu menekan egonya yang tidak baik, ia tidak akan bersikap "neko-neko". Tidak ambisius untuk mencapai sesuatu dengan jalan yang tidak benar. Bahkan Rasul pernah mengajarkan agar kita tidak memberikan sesuatu atau jabatan kepada orang yang berambisi untuk meraihnya. Dan itu benar. Kita bisa melihat, bagaimana model orang yang mencapai jenjang jabatan dengan cara yang tidak bersih, tidak jujur; kolosi, memakai sogok atau yang lain. Yang menjadi program pertamanya, begitu ia menduduki jabatan, adalah bagaimana "modalnya" bisa kembali. Atau bagaimana jabatan tersebut tetap bisa dipegangnya, tidak peduli apakah kebijakannya merugikan rakyat banyak atau tidak.
Dalam alam reformasi, jabatan atau kedudukan tentu bukan barang warisan, apalagi perdagangan. Kekuasaan adalah amanat dan kepercayaan rakyat, dan semua akan dimintai pertanggung-jawaban. Tidak hanya di dunia, tetapi juga di akherat. Kalau di dunia, dihadapan sidang majlis mungkin bisa direkayasa, dikompromi, karena sama-sama "bolo kurowo", tetapi bagaimana dihadapan Tuhan kelak. Apakah rakyat semakin kesulitan sembako, kesulitan pupuk, semakin tersisih dan semakin menderita. Pejabat yang bertaqwa sangat memperhatikan persoalan ini.
Selanjutnya, ketiga, wara; menjaga diri dari semua perbuatan dan makanan yang tidak halal. Orang yang bertaqwa tidak akan melakukan penyelewengan, tidak akan korup dan tidak akan melakukan perbuatan yang tidak benar. Bagai tingkah laku lebah, mereka selalu selektif dalam mengambil makanan dan melakukan perbuatan. Tidak akan jatuh kepada hal-hal yang tidak benar.
Ciri terakhir, keempat, adalah yakin. Karena imannya yang kuat, orang yang bertaqwa amat dekat dengan Kholiqnya. Ia punya sandaran vertikal yang kokoh dengan kualitas ibadah yang baik. Sedemikian, sehingga bagaimanapun berat dan sulitnya perjuangan yang harus dihadapi, ia tidak berputus asa. Yakin, Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya selama kita mau berusaha keras dan sungguh-sungguh.
Untuk mencapai puasa yang punya hasil dan pengaruh yang demikian besar, tidak bisa dilakukan dengan asal saja. Perlu riyadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh. Para ulama menyatakan, orang yang berpuasa harus mengontrol seluruh aktivitas anggota badannya. Ia harus memelihara pikiran, ucapan dan tindakannya dari segala tipu daya, rekayasa-rekayasa jahat dan lainnya yang menyebabkan hancurnya ibadah puasa. Rasul pernah bersabda, "Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga, karena tidak mampu mengontrol perbuatannya".
Itulah dua kata kunci puasa. Berdasarkan iman untuk merubah diri menjadi lebih baik. Artinya, jika puasa tidak dilakukan atas dasar iman dan tidak mampu meningkatkan kualitas pribadi kita menjadi lebih baik, berarti kita telah gagal atau belum berhasil melakukan puasa. Wallahu a’lam.

Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk mengaksesnya, klik disini

3 komentar:

arifah Senin, September 01, 2008  

selamat menjalankan ibadah ramadhan juga untuk anada n makasih dah mampir ke blog saya...
wassalam...

Anonim,  Kamis, Desember 17, 2009  

mailbox Take a piece of me

Anonim,  Kamis, Desember 31, 2009  

Terima kasih untuk blog yang menarik

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP