Selasa, Februari 17, 2009

Contemporary of Islamic Thought

Pemikiran Islam Kontemporer
Ed. A Khudori Soleh
Penerbit,Jendela, Jogyakarta, 2003
(Tebal, 495 hal + xxvi)

Mencermati perkembangan pemikiran Islam kontemporer, setidaknya ada lima tren besar yang dominan. Pertama, fundamentalis, kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat dan manusia. Mereka ini dikenal sangat commited dengan aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Garapan utama mereka adalah menghidupkan Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan kembali kepada sumber asli (al-Qur`an dan al-sunnah) dan menyerukan untuk mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dipraktekkan Rasul dan khulafa al-râsyidîn. Sunnah-sunnah Rasul harus dihidupkan dalam kehidupan modern dan itulah inti dari kebangkitan Islam.
Para pemikir yang mempunyai kecenderungan tersebut, antara lain, Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, al-Maududi, Said Hawa, Anwar Jundi dan Ziauddin Sardar, juga tokoh seperti Abu Bakar Ba`asyir, Ja`far Umar Thalib, Habib Habsyi, di tanah air. Tokoh-tokoh Islam Gerakan (Islam haraki) masuk dalam kelompok ini, juga para pemikir keagamaan yang berafiliasi kepada massa muslim. Quthub bersaudara, misalnya, secara jelas menyatakan perang terhadap idiologi dan pandangan-pandangan asing. Seperti ditulis Luthfi Assyaukanie, hanya ada dua istilah yang dikenal dalam kamus intelektualnya, (1) Islam (jund Allah dan ashhâb al-rasûl), (2) jahiliyah (kuffar dan thaghut). Jahiliyah adalah “kondisi psikologis yang menolak petunjuk Tuhan”. Pada masa lampau, jahiliyah diwakili kaum musyrik Makkah dan Yahudi Madinah, sedang pada masa modern termanifestasikan pada jahiliyah modern, yakni Barat dan para pemimpin thaghut negeri-negeri muslim yang mengadopsi system Barat. Dengan prinsip seperti itu, yang tampak pada mereka akhirnya sikap keras dan radikal. Mengikuti Meuleman, kecenderungan pertama ini nyaris tidak mengakomodasi wilayah dan muatan pengalaman manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengatahuan, sehingga sulit dibedakan dari tradisi yang taqlidi-doqmatis.
Kedua, tradisionalis (salaf), kelompok pemikiran yang berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi kelompok ini, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu, sehingga tugas kita sekarang hanya menyatakan kembali apa yang pernah dikerjakan mereka, atau paling banter menganalogkan pada pendapat-pendapatnya. Namun demikian, berbeda dengan kaum fundamental yang sama sekali menolak modernitas dan membatasi tradisi hanya pada khulafa’ al-râsyidîn yang empat, kelompok tradisional justru melebarkan tradisi sampai pada seluruh salaf al-shâlih dan tidak menolak pencapaikan modernitas, karena apa yang dihasilkan oleh modernitas, sains dan teknologi, bagi mereka, tidak lebih dari apa yang pernah dicapai umat Islam pada masa kejayaan dahulu. Sedemikian, sehingga mereka masih mau “mengadopsi” peradaban luar, tapi dengan syarat bahwa semua itu harus diislamkan lebih dahulu. Karena itu, garapan mereka –khususnya dikalangan sarjananya— adalah islamisasi segala aspek kehidupan. Mulai dari masalah etika sampai ilmu pengetahuan dan landasan epistemologinya yang akan diserap harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan umat Islam adalah islami.
Kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikiran Husein Nasr, Muthahhari, Naquib al-Attas dan Ismael Faruqi. Husein Nasr, misalnya, selalu menekankan pentingnya menegok kembali warisan khazanah keilmuan Islam klasik seperti yang telah dibangun oleh al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi, Ibn Arabi dan lainnya. Dalam menghadapi krisis spiritual masyarakat modern, Nasr menyodorkan tradisi sufisme yang dinilainya akan mampu menyampaikan mereka pada penemuan kembali jadi diri kemanusiannya. Sikap “menghargai” warisan tradisi sendiri ditambah keharusan “adaptasi” dari tradisi luar yang masuk juga tampak pada pemikiran Attas dan Faruqi yang dikenal proyek islamisasi ilmunya. Bagi kedua, ilmu dan peradaban Barat harus diislamkan lebih dahulu sebelum digunakan masyarakat muslim, karena dasar dan sumber pemikiran Barat tidak sesuai dengan Islam (tidak Islami).
Di tanah air, kecenderungan tradisionalistik tersebut terlihat jelas dalam masyarakat pesantren. Turâts (tradisi dengan segala aspeknya), dikalangan pesantren, tidak hanya dinilai sebagai sesuatu yang harus diikuti dan ditampilkan kembali dalam kehidupan modern tetapi telah dianggap sebagai sesuatu yang sempurna, fixed dan tidak bisa dikritik (sacral) seperti al-Qur`an, atau menurut istilah Arkoun telah terjadi proses taqdîs al-afkâr al-dîniyah (pesakralan pemikiran-pemikiran keagamaan). Pemikiran tokoh-tokoh seperti al-Syafi`i dan al-Ghazali, yang hidup abad pertengahan, dianggap telah menyelesaikan berbagai persoalan umat Islam sampai akhir zaman. Sedemikian, sehingga pada gilirannya, orang yang mendalami dan menguasai tradisi ikut mendapat berkah dianggap sebagai tokoh yang patut –untuk tidak mengatakan harus-- dijadikan panutan dan dianggap mampu untuk menyelesaikan segala persoalan duniawi maupun ukhrawi.
Dengan kondisi dan perilaku seperti itu, seperti ditulis Hasan Hanafi, kecenderungan tradisionalisme pada saatnya melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. (1) Eksklusifisme. Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan fihak lain. (2) Subjektifisme. Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan oleh kelompok mana atau tokoh siapa. (3) Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas, dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.
Ketiga, reformis, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekontruk ulang warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Menurut kelompok ini, umat Islam sesungguhnya telah mempunyai budaya dan tradisi (turâts) yang bagus dan mapan. Namun, tradisi-tradisi tersebut harus dibangun kembali secara baru (i`âdah buniyat min al-jadid) dengan karangka modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survaif dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, kelompok ini berbeda dengan kalangan tradisional yang tetap menjaga dan melanggengkan tradisi masa lalu seperti apa adanya.
Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hasan Hanafi, Asghar Engineer, Bint al-Syathi, Amina Wadud, M. Imarah, M. Khalafallah dan Hasan Nawab. Bagi Hasan Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas dan kebutuhan muslim kontemporer. Teologi (ilm al-kalâm) yang oleh Hanafi dianggap sebagai ilmu yang paling fundamental dalam Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia menawarkan ide teologi baru, yakni bahwa teologi bukan sekedar idiologi doktrinal sebagaimana yang difahami Asy`ari, Baqilani maupun al-Ghazali tetapi lebih merupakan idiologi revolusi idiologis yang dapat memotivasi kaum muslim modern untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter. Disini Hanafi mengubah teologi Asy`ariyah yang theosentris menjadi antroposentris. Antara lain, misalnya, term wahdaniyah (keesaan) tidak dirujukkan pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari faham syirik yang diarahkan pada faham trinitas maupun politeisme tetapi lebih mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan: kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.
Keempat, post-tradisionalis, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Kelompok ini, pada satu segi, tidak berbeda dengan kelompok kedua, reformistik, yaitu bahwa keduanya sama-sama mengakui bahwa warisan tradisi Islam sendiri tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan difahami sesuai standar modernitas. Namun, bagi post-tradisionalistik, relevansi tradisi Islam tersebut tidak cukup dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif melainkan harus lebih dari itu, yakni dekonstruktif. Inilah perbedaan utama diantara keduanya. Bagi kaum post-tra, seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turâts) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisa terhadapnya. Tujuannya, agar segala yang dianggap absolut berubah menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi histories.
Para pemikir post-tradisionalistik tersebut, seperti dituturkan Assyakanie, umumnya adalah terdiri atas pemikir muslim yang banyak dipengaruhi gerakan post-strukturalis Prancis dan beberapa tokoh post-modernism lainnya, seperti De Saissure (linguistik), Levi-Strauss (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucoult (epistemologi), Derida (grammatologi) dan Gadamer (hermeneutika). Kecenderungan dekonstruktif ini tampak jelas pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Arkoun, Jabiri, Syahrur, Abd Allah A. Naim, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatima Menissi dan Najib Mahfuz. Tokoh lain adalah M. Bennis, Abd Kabir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Asmeh dan Hasyim Shaleh. Di tanah air, kecenderungan-kecenderungan tersebut tampak di kalangan pemikir muda NU, seperti Ulil Abshar, Masdar F. Mas`udi dan sebagian aktivis PMII.
Arkoun, misalnya, berusaha membongkar otoritas teks. Menurut Arkoun, teks suci dan apa yang disebut turâts, tidak lepas dari sejarah, tetapi sebaliknya, justru sepenuhnya terbentuk dan terbakukan dalam sejarah. Karena itu, ia harus dibaca lewat kerangka sejarah, dimana bagi Arkoun, historisisme berarti masa lalu harus dilihat berdasarkan strata hisrtorikalnya dan harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Dengan metode ini, relevansi antara teks dengan konteks menjadi terhapuskan, sehingga yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks. Dekonstruksi warisan tradisi seperti diatas juga dilakukan oleh Jabiri. Dengan memakai metode historisisme, Jabiri membongkar epistemology Arab-Islam yang telah mapan.
Kelima, modernis, yaitu kelompok pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Menurut kelompok ini, agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman, sehingga ia harus dibuang dan ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumûd (kebekuan berfikir) dan taqlîd. Yang masuk dalam kelompok ini umumnya adalah para tokoh muslim yang banyak mengkaji dan dipengaruhi pemikiran Maxisme (aspek intelektualitasnya dan bukan idiologinya), seperti Kassim Ahmad, Thayyib Tayzini, Abd Allah Arwi, Fuad Zakaria, Zaki Nadjib Mahmud, dan Qunstantine Zurayq. Di tanah air, kalangan Muhammadiyah sering mengklaim diri sebagai golongan modernis.
Abd Allah Arwi, misalnya, adalah tokoh asal Maroko yang sangat mempercayai akurasi metode historisisme. Dalam bukunya, al-Arâb wa al-Fikr al-Târîkhî, Arwi menyatakan bahwa turâts adalah suatu bentuk tradisi yang harus dilampaui. Masyarakat Islam tidak akan maju selama cara berpikir dan orientasi mereka masih ke masa lalu. Karena itu, ia menolak pendekatan yang dilakukan kaum tradisionalis (salaf) dan juga sekuler. Menurutnya, kaum salaf telah bersalah dengan menempatkan tradisi pada posisi yang sakral dan shâlih likulli zamân wa makân, padahal kenyataannya, masa kini jelas berbeda dengan masa lalu. Sementara itu, kaum sekuler bersalah telah berlaku eklektis dengan memilih-milih unsur-unsur tertentu dari Barat. Fihak pertama ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan sedang fihak kedua ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model kemajuan dirinya. Keduanya sama-sama a-historis, tidak kreatif dan tidak akan berhasil membangun peradaban Islam. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Arwi menawarkan gagasan untuk berpikir kritis dan historis (historisisme) dan itu ada dalam Maxisme dengan teori dialektika historisnya. Karena itu, mempelajari Maxisme demi tercapainya taraf tersebut harus menjadi prioritas, apalagi Maxisme juga berkaitan dengan masalah ekonomi, social dan politik. Itu semua, menurut Arwi, sangat cocok dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat muslim kontemporer.
Gagasan berfikir kritis historis seperti diatas juga bisa dilihat pada Kassim. Ia menganjurkan untuk menganalisa tradisi-tradisi Islam (termasuk sunnah Rasul saw) lewat kajian histories. Tradisi-tradisi termasuk sunnah Rasul yang tidak bisa dibuktikan otensitasnya lewat analisa historis berarti dusta dan harus ditolak, dan Kassim sendiri menolak keberadaan hadis Nabi (tapi bukan kenabiannya). Baginya, apa yang ditulis Bukhari, Muslim dan para rawi hadis hanyalah sangkaan mereka belaka bahwa itu berasal dari Nabi, karena tidak ada bukti akurat tentang semua itu.
Lima model atau kecenderungan itulah yang tampaknya meramaikan percaturan pemikiran Islam saat ini. Gagasan-gagasan tokoh yang dikaji didalam buku ini tidak lepas dari lima model tersebut. Penulis tidak akan memberi penilain atas masing-masing tipe. Namun, model pemikiran dekontruksif agaknya lebih cocok untuk kajian-kajian keislaman kontemporer, dengan syarat bahwa dekonstruktif tidak terhenti pada sekedar pembongkaran tetapi perlu dilanjutkan pada pemberian alternatif. Ini penting, sebab selama ini, ciri khas dekonstruktif adalah membongkar tanpa penyelesaian. Jika itu yang terjadi, kelompok dekonstruktif tidak akan mampu memberi kontribusi yang berarti lepada umat, tetapi justru akan “berhadapan langsung” dengan mereka.
Buku ini merupakan kumpulan makalah sebagai kenang-kenangan dari teman-teman di program Doktor, UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta. Diberi "Kata Pengantar" oleh Prof. Dr. R. Mulyadi Kartanegara, Guru Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mendiskusikan pemikiran tokoh-tokoh pemikir Islam kontemporer. Ada 19 tokoh yang ditampilkan di sini. Yaitu,
1. Abdullah A. Naim, tentang Paradigma Hukum Publik Islam
2. Abdullah Nasiih Ulwan, tentang Pendidikan Nilai
3. Akbar S Ahmed, Relasi Islam Barat
4. Amina Wadud, Keadilan Gender
5. Asghar Ali Engineer, Teologi Pembebasan
6. Bin al-Syathi, Tafsir Tematik
7. Fatma Mernissi, Menggugat Ketidakadilan Gender
8. Hassan Hanafi, Hermeneutika Humanstik
9. Hasan Langgulung, Pengembangan Pendidikan Islam
10. Kassim Ahmed, Orisinalitas Hadis
11. Abid al-Jabiri, Model Epistemologi Islam
12. Ilyas, Kalender Islam Internasional
13. Mutahhari, Filsafat Sejarah
14. Syahrur, Teori Batas
15. Najib Mahfudz, Spiritualitas Sastra
16. Naqiub al-Attas, Islamisasi Ilmu
17. Nasr Hamid Abu Zaid,Kajian Teks Suci
18. Husein Nasr, Neo-Sufisme
19. Ziauddin Sardar, Islamisasi Peradaban

2 komentar:

ayik,  Rabu, Februari 25, 2009  

artikel yang menarik kawan, nice post!!!

Anonim,  Kamis, Desember 31, 2009  

awal yang baik

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP