Classification of Islamic Epistemology
Model-Model Epistemologi Islam
Oleh: A Khudori Soleh
Abstract
As well as in the West and the Orient, Islam also recognizes system of thought which include foundation, method, and application. There are at least three models of epistemology in Islamic thought system that is Bayani, Burhani, and Irfani.
Bayani is the system of thought, which based his way of thinking on the text, while burhani is the system of thought which based on ratio, and ‘irfani based on intuition. They use methods; exploration of text meaning for bayani,
Those three models of epistemology have much contribution on developing Islamic knowledge and sciences. Bayani emerges fiqh and Islamic theology, while burhani comes out Islamic Philosophy, and irfani appears whereas burhani uses trick of ratio, and irfani works on heart purified.Sufism.
Keywords: Bayani, Burhani and Irfani
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi.
Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni bayâni, irfâni dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
Epistimologi Bayani.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-Qur`an dan hadis. Karena itulah, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena –sebagai sumber pengetahuan-- benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa di pertanggung-jawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima.
Berdasarkan hal tersebut, bahwa bayani berkaitan dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafat-makna dan ushûl-furû`. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya (tauqîf), bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana memaknai istilah-istilah khusus dalam al-asmâ’ al-syar`iyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.
Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa.
Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empat macam cara. Pertama, berpegang pada tujuan pokok (al-maqâshid al-dlarûriyah) yang mencakup lima kepentingan vital, yakni menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Caranya dengan menggunakan induksi tematis (al-istiqra’ al-ma`wi) dan disitulah tempat penalaran rasional.
Kedua, berpegang pada illah teks. Untuk menemukan dan mengetahui adanya illah suatu teks ini digunakan sebuah sarana yang memerlukan penalaran yang disebut ‘jalan illah’ (masâlik al-illah) yang terdiri atas tiga hal, (1) illat yang telah ditetapkan oleh nash, seperti illat tentang kewajiban mengambil 20% harta fai (rampasan) untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar dikalangan orang kaya saja (QS. Al-Hasyr, 7). (2) illah yang telah disepakati oleh para mujtahid, misalnya illah menguasai harta anak yang masih kecil adalah karena kecilnya. (3) al-Sibr wa al-taqsîm (trial) dengan cara merangkum sifat-sifat baik untuk dijadikan illat pada asal (nash), kemudian illat itu dikembalikan kepada sifat-sifat tersebut agar bisa dikatakan bahwa illah itu bersifat begitu atau begini. Cara kedua ini lebih lanjut memunculkan metode qiyâs (analogi) dan istihsân, yakni beralih dari sesuatu yang jelas kepada sesuatu yang masih samar, karena karena adanya alasan yang kuat untuk pengalihan itu.
Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks. Tujuan sekunder adalah tujuan yang mendukung terlaksananya tujuan pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan pemahaman materi kuliah pada mahasiswa, tujuan sekunder memberikan tugas. Adanya tugas akan mendukung pemahaman kuliah yang diberikan. Sarana yang digunakan untuk menemukan tujuan sekunder teks adalah istidlâl, yakni mencari dalil dari luat teks; berbeda dengan istimbât yang berarti mencari dalil pada teks.
Keempat, berpegang pada diamnya Syâri` (Allah dan Rasul saw). Ini untuk masalah-masalah yang sama sekali tidak ada ketetapannya dalam teks dan tidak bisa dilkukan dengan cara qiyas. Caranya dengan kembali pada hukum pokok (asal) yang telah diketahui. Misalnya, hukum asal muamalah adalah boleh (al-ashl fî al-mu`âmalah al-ibâhah), maka jual beli lewat internet yang tidak ada ketentuannya berarti boleh, tinggal bagaimana mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini melahirkan teori istishhâb, yakni menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya selama tidak ditemui dasar/ dalil yang menunjukkan perubahannya.
Epistemologi Irfani.
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1) Taubat, (2) Wara`, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5) Sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya. (7) Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita..
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara I`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Karena itu, syathahat menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.
Epistemologi Burhani.
Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alas an dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat dibawah silogisme burhani adalah ‘silogisme dialektika’, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhûrât), tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada dibawah pengetahuan demontratif.
Penutup.
Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Misalnya, burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa atau bayangan.
Karena itu, Suhrawardi (1154-1192 M) kemudian membuat metode baru yang disebut iluminasi (isyrâqî) yang memadukan metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan kekuatan hati lewat kashaf atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai rasional. Namun demikian, pada masa berikutnya, metode isyraqi dirasa masih juga mengandung kelemahan, bahwa pengetahuan iluminatif hanya berputar pada kalangan elite terpelajar, tidak bisa disosialisasikan sampai masyarakat bawah, bahkan tidak jarang justru malah menimbulkan kontroversial. Muncullah metode lain, filsafat transenden (hikmah al-muta`aliyah), yang dicetuskan Mulla Sadra (1571-1640 M) dengan memadukan tiga metode dasar sekaligus; bayani yang tekstual, burhani yang rasional dan irfani yang intuitif.
Dengan metode terakhir ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan ruhaniah, dan semua itu kemudian disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Bagi kaum Muta`aliyah, pengetahuan atau hikmah tidak hanya memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi; mengubah wujud penerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud. Semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggaet metode bayani dalam sistemnya.
Namun demikian, untuk masa mutaakhir ini, metode Muta`aliyah mesti juga dipertanyakan. Sebab, persoalan keagamaan tidak hanya berkaitan dengan teks, rasio, ilham dan pengamalannya dalam bentuk praktek-praktek ritual melainkan juga mencakup kehidupan sosial, politik, sains-sains modern yang empiris dan bahkan teknologi tinggi (high technology). Epistemologi-epistemologi Islam klasik sudah tidak memadai untuk menghadapi kemajuan-kemajuan tersebut. Artinya saat ini diperlukan epistemologi baru dan inilah tantangan bagi calon intelektual muda muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, terj. Purwanto, Bandung, Mizan, 1997.
-------, Tauhid dan Sains, Bandung, Pustaka Hidayah, 1996.
Buthi, Dlawâbith al-Mashlahah fî al-Syarî`at al-Islâmiyah, Beirut, Muassasat, tt.
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl Fîmâ Bain al-Hikmah wa al-Syarîah min al-Ittishâl, edit. M. Imarah, Mesir, Dar al-Ma`arif, tt.
Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991.
-------, Isykâliyât al-Fikr al-Arabi al-Mu`ashir, Beirut, Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989.
James, William, the Varieties of Religious Experience, New York, 1936.
Jamil, Fathur Rahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos, 1997
Katz, Steven K., Mysticism and Philosophical Analysis, London, Sheldon Press, 1998.
Khalaf, Abd Wahab, Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi, Bandung, Gema Risalah Pres, 1996.
Muthahhari, Murtadha, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997.
-------, Tema-Tema Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 1993.
Nashr, SH, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd Hadi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994.
Nikhilananda, Swami, Hinduism It's Meaning for the Liberation of the Spirit, New York, Harper, 1958.
Qusyairi, al-Risâlah, Beirut, Dar al-Khair, tt.
Rahmat, Jalaluddin, “Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rushd”, Jurnal Al-Hikmah, Bandung, edisi 10, September 1993.
Syâthibi, al-Muwâfaqat fî Ushûl al-Ahkam, III, Beirut, Dar al-Fikir, tt.
Usman, Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta, Rajawali, 1994.
Yazdi, Mehdi Hairi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhamd, Bandung, Mizan, 1994.
Dalam edisi yang lengkap pernah dimuat dalam Jurnal PSIKOISLAMIKA, Fakultas Psikologi UIN Malang, ed. Vol. 2/ No. 2, Juli 2005. Untuk mengakses artikel ini secara utuh, klik disini
3 komentar:
hi there :) salam
Sore, ada info tentang penerbangan lagi nih, ditunggu komentar dan kunjungannya yaa... :)
Diskusi panjang ttg masalah ini dapat dilihat pada Facebook, dalam notes "Klasifikasi Epistemologi Islam"
Posting Komentar