Minggu, Februari 01, 2009

Wear of Muslim Women

Busana Muslimah
Oleh: A Khudori Soleh
Dalam masalah tata berpakaian, ada yang mengatakan bahwa wanita muslimah harus menggunakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya, bahkan sampai wajah, sehingga mereka mesti memakai cadar. Pendapat ini didasarkan pada ayat, “...Dan hendaklah mereka (wanita) menutupkan kerudung mereka ke dada-dada mereka...”(QS, 24;31). Juga berdasarkan riwayat dari Aisyah, bahwa ia berkata, “Ada kalanya para musafir melewati kami (kaum wanita), sedang kami dalam keadaan ihram haji. Pada saat mereka dekat, maka kami menutupkan jilbab sampai ke wajah. Jika mereka telah lewat, kamipun membuka wajah-wajah kami”.
Di samping itu, juga didasarkan atas beberapa pendapat ulama, antara lain, Abu Abdul Mukti Muhammad al-Nawawy,[1] yang menyatakan bahwa aurat wanita di samping laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan kedua tapak tangan. Ditambah fatwa-fatwa tentang larangan zina serta semua jalan yang bisa mengarah kepadanya. Menurut fatwa ini, membiarkan wajah wanita terbuka (tanpa penutup) adalah jalan menuju perzinaan. Membiarkan dalam keadaan seperti itu, berarti haram (dosa), sebab itu merupakan sumber kemaksiatan.

Tidak Perlu Cadar.
Menurut Syeh Muhammad al-Ghazali,[2] Islam sebenarnya tidak pernah mewajibkan para wanitanya untuk menutup seluruh tubuhnya tanpa tersisa sehingga harus menggunakan cadar. Yang ada adalah kewajiban menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan seperti ketika mengerjakan shalat. Rasul sendiri sering menyaksikan wajah-wajah wanita yang terbuka dalam masjid, pasar atau dalam pertemuan-pertemuan umum. Namun tidak pernah diberitahukan bahwa Rasul memerintahkan agar wajah-wajah wanita itu ditutup.
Dalam menanggapi QS 24; 31, sebagaimana yang dijadikan dasar oleh pendapat di atas, Syekh al-Ghazali menyatakan bahwa di sini telah terjadi kekeliruan pemahaman. Ayat tersebut tidak menyatakan kewajiban bercadar tetapi kewajiban berkerudung berjilbab). Sebab, jika Allah bermaksud memerintahkan bercadar, tentu akan berfirman; “Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung-kerudung ke wajah-wajah mereka”, bukan “...ke dada-dada mereka...” sebagaimana ayat yang ada. Memang diakui bahwa pada zaman jahiliyah atau zaman permulaan Islam, ada kebiasaan dari sebagian wanita untuk menutup wajah-wajah mereka (bercadar), seperti yang diriwayatkan Aisyah. Namun, itu adalah kebiasaan (adat), bukan ibadah (kewajiban). Kalau ibadah, tentu ada nash yang jelas. Hal itu juga didukung hadits lain yang diriwayatkan dari Ummu Khallad dan Aisyah tentang perilaku Asma' binti Abu Bakar. Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Ghazali mengajukan dasar (al-Qur'an maupun Hadits). Pertama, QS al-Nur 30. “Hendaklah mereka (laki-laki) menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”. Ayat itu memerintahkan laki-laki agar “menahan pandangan”. Menahan pandangan yang dimaksud jelas ketika laki-laki melihat langsung ke arah wajah wanita. Bukan menahan pandangan dari melihat paha atau punggung. Sebab, kedua daerah itu telah jelas harus ditutup. Selanjutnya, jika ada laki-laki yang tertarik pada wanita ketika memandang wajahnya, Rasul bersabda, “Jangan mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Halal bagimu pandangan pertama, tetapi tidak demikian dengan pandangan berikutnya”.
Kedua, dari sebuah hadits tentang perempuan. Ketika Rasul menyampaikan khutbah hari raya di lapangan (digunakan bersama laki-laki dan wanita), Rasul bersabda kepada kaum wanita, “Bersedekahlah. Banyak dari kalian adalah kayu bakar neraka”. Seorang wanita yang wajahnya berwarna coklat karena terbakar matahari, yang duduk di tengah kaum wanita lainnya, bertanya, “Apa sebabnya ya Rasul?”. Nabi menjawab, “Karena kalian terlalu banyak mengeluh dan melupakan jasa suami kalian”. Rawi hadits itu berkata, “Kaum wanita itu langsung bersedekah dengan perhiasan mereka; melemparkan anting-anting dan cincin ke arah baju yang dikelilingkan oleh Bilal. Aku melihat tangan-tangan mereka ketika melemparkan perhiasan”.
Dari manakah perawi tersebut bisa mengetahui bahwa wanita yang bertanya itu kulitnya coklat terbakar matahari? Dari mana perawi mengetahui tentang tangan-tangan yang melemparkan perhiasan? Tentu karena wajah dan tangan para wanita tersebut tidak tertutup. Dari situ, al-Ghazali kemudian menyimpulkan bahwa wajah dan tangan wanita tidak termasuk aurat, tidak wajib ditutup.
Ketiga, dari hadits yang diriwayatkan Ibn Abbas. Ketika al-Fadl (adik Abdullah) membonceng unta Rasul, datang seorang wanita dari suku Khats’am. Al-Fadl memandang wanita itu dan sebaliknya wanita tersebut juga memandang al-Fadl, sehingga Rasul berkali-kali memalingkan wajah al-Fadl ke arah lain. Wanita itu bertanya, Ketetapan haji datang sesudah ayahku berusia lanjut. Ayah tidak bisa menunaikan haji. Bolehkah aku melakukan haji atas namanya?”. Rasul menjawab, “Ya”.
Keempat, hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, bahwa Zubaidah binti al-Harits ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil. Setelah kelahiran anaknya, ia merasa telah bebas dari iddahnya. Ia merias diri dan mempercantik wajahnya, bersiap-siap menerima pelamar. Seseorang dari kalangan shahabat bernama Abu al-Sanabil mengunjunginya dan berkata, “Kulihat kamu berhias! Adakah engkau ingin kawin lagi?...”. Wanita itu telah menghias dirinya: menghitamkan pelupuk mata dan memerahkan kuku. Sedang Abu al-Sanabil bukan mahram baginya. Hal ini, menurut al-Ghazali menunjukkan bahwa lingkungan masa itu adalah lingkungan yang tidak keberatan bila wanita membiarkan wajahnya terbuka di muka umum.
Peristiwa dalam kedua hadits terakhir ini, terjadi setelah haji wada'. Karena itu, tidak ada kemungkinan tentang nasakh (penghapusan) suatu hukum yang berlaku. Dan nyatanya tidak ada ketentuan agama setelah itu yang membatalkan kebolehan membuka wajah bagi kaum wanita.

Fatwa Para Imam.
Selain berdasarkan hadits dan al-Qur’an, al-Ghazali juga mendasarkan uraiannya pada fatwa para Imam. Tidak hanya fatwa para pembesar imam madzhab empat, tetapi juga imam-imam yang lain.
Abu Bakar al-Jashash, ulama madzhab Hanafi, dalam menafsirkan QS 24; 31 menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah wajah dan tapak tangan (ujung jari sampai pergelangan). Sebab, celak adalah perhiasan mata, sedang enai dan cincin adalah perhiasan tangan. Jika laki-laki diperbolehkan memandang perhiasan wajah dan tangan, sudah barang tentu di perbolehkan pula memandang wajah dan tapak tangan yang menyandang perhiasan tersebut. Bahkan madzhab Hanafi menambahkan kedua kaki (sampai kedua mata kaki), di samping wajah dan kedua tangan. Ketiga anggota itu boleh dibiarkan terbuka. Hal ini untuk tidak menyulitkan aktivitas wanita itu sendiri.
Al-Qurthubi (madzhab Maliki) berkata, “Mengingat wajah dan tapak tangan, menurut kebiasaan, senantiasa tampak dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam shalat dan haji, maka pengecualian dalam ayat (yang boleh dilihat) adalah berkaitan dengan wajah dan kedua tapak tangan....”.
Al-Khazin (madzhab Syafii), ketika menafsirkan ayat di atas, dengan mengutip pendapat Said, al-Dlahak, dan al-Auzai, menyatakan bahwa yang dikecualikan adalah wajah dan kedua tapak tangan. Sedang Ibn Qudamah (madzhab Hambali) menyatakan, seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajahnya. Adapun kedua tangan ada dua pendapat: ada yang menganggap aurat (harus ditutup) dan ada pula yang tidak. Namun, menurut Ibn Jarir, pendapat yang mendekati kebenaran yang berkenaan dengan perhiasan wanita yang boleh dilihat adalah perhiasan yang ada di wajah dan kedua tangan. Termasuk dalam hal ini celak mata, cincin, gelang dan enai (pacar). Selanjutnya, Ibn Jarir menambahkan bahwa pendapat ini yang terkuat, sebab merupakan kesepakatan (Ijma).
Selain itu, Ibn Katsir juga menyatakan, pengecualian dalam QS 24; 31 adalah wajah dan kedua tangan. Ia menambahkan bahwa pendapat ini sama dengan jumhur (pendapat mayoritas umat). Sedang al-Qadli Iyadl menyatakan, seorang wanita tidak wajib menutup wajahnya ketika berjalan di jalanan umum. Sebaliknya, menjadi kewajiban kaum laki-laki untuk menahan (menundukkan) pandangan mereka, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam QS. al-Nur, 31.

Penutup
Demikianlah model busana wanita Islam. Tidak terlalu bebas dengan membuka paha, punggung atau bagaian-bagaian tubuh yang lain seperti pada pakaian wanita di Barat yang memang dirancang bukan untuk menutuk aurat tetapi untuk lebih merangsang. Akan tetapi, pakaian wanita Islam juga tidak terlalu ketat dengan harus memakai cadar atau yang lain sehingga bisa menghalangi aktivitas dan kreativitas mereka.
Dalam Islam, fungsi utama pakaian adalah untuk menutup aurat dan untuk menjaga kehormatan diri. Setelah itu baru dipikirkan tentang mode dan modelnya. Bukan sebaliknya, mengutamakan model dan gaya, tetapi kemudian justru menghancurkan identitas dan harga diri. Wallahu a'lam

Catatan Kaki
[1] Kasifah al-Saja, 51.
[2] Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah, Bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, pasal “Sekitar Dunia Wanita”.

6 komentar:

The Dexter Senin, Februari 02, 2009  

Ini dia yang selalu saya cari.. Saya kopi ya pak.. Buat bahan renungan. Makasih banget pak, barangkali nanti kalau saya ke malang, boleh mampir?

bunda Rabu, Februari 04, 2009  

tapi kalau yg jadi mode para pemudi sekarang apakah sudah memenuhi syarat ya ustadz?

Mabel Aladro Selasa, Februari 10, 2009  

Querido amigo tampoco entiendo mucho lo que publica usted, pase igualmente por mi Blog a ver si en algĂșn momento le escribo un texto en ingles
saludos cordiales

tyas Selasa, Maret 03, 2009  

Semoga saya segera bisa menggunakan busana muslimah seperti yg tertulis di atas.. Mohon doanya..

Anonim,  Sabtu, Oktober 10, 2009  

Bos, ini tanya saya, tidak komentar. Apakah definisi aurat itu berlaku hanya untuk sholat atau berlaku juga untuk keseharian.

Melihat pendapat Hanafi yang lebih longgar, bahwa sebenarnya keseharian itu tidak sertamerta bahwa perempuan dibatasi keberadaannya dengan aurat, buktinya Hanafi telah membahas unsur kecantikan perempuan (celak dan cincin) sebagai bagian dari pilihan yang dibolehkan dan dengan demikian juga pilihan yang boleh dilihat oleh orang lain).

Artinya, cantik adalah performance yang tidak serta merta dikaitkan dengan aurot. Aurot hanya sandaran tidak langsung sementara dunia publik perempuan juga amat terkait dengan soal berdandan dan ikhwal attractiveness (daya tarik).

Pertanyaannya : Kalau sementara ini wanita dengan berkerudung dan menampilkan pilihan cantiknya, seperti ragam busana yang dikenakan oleh perempuan hari ini, tidak serta merta mereka dihakimi sebagai yang tidak Islami, misalnya berkerudung tetapi sedikit ketat begitu.

Hanafi memaknai lebih longgar terhadap ruang publik perempuan dan dengan demikian juga ruang publik berpakaian perempuan kini juga harus "diperlonggar" penilaian kita..

Bagaimana ?

A Khudori Soleh Jumat, Oktober 16, 2009  

Salam utk semua. Semoga bemanfaat.
@ Bunda: menurut saya, harus dilihat dulu model busananya, karena modenya sangat beragama. Tetapi, prinsip-prinsipnya adalah seperti yg didiskusikan dalam artikel di atas.
@Anonim: Ya, dalam hal busana dan aktivitas perempuan, saya pribadi lebih cenderung memilih atau setuju dgn madzhab Hanafi, seperti Anda. Menurut saya, ini lebih sesuai dengan kondisi masyarakat modern yang aktif, sehingga tidak membatasi kegiatan wanita tetapi juga tidak "melepaskannya. Tetap dalam rambu-rambu etika dan agama. Wallahu a'lam.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP