Rabu, Januari 28, 2009

Contextual Islamic Low

Fiqh Kontekstual
Oleh: A Khudori Soleh
Penerbit: Pertja, Jakarta, 1998-2000
7 Jilid: I-VII

Salah satu kekurangan dari kebanyakan literatur fiqh sampai saat ini adalah bahwa ia terlalu naqliyah atau tekstual. Apa yang ditetapkan seorang mujtahid, misalnya, langsung ditunjukkan bahwa itu didasarkan atas nash atau kaidah tertentu, tanpa ada uraian mengapa mujtahid bersangkutan menggunakan nash dan kaidah tersebut. Atau, tanpa ada paparan bagaimana proses yang dilalui seorang mujtahid sehingga mencapai hasil yang demikian. Ini terlihat jelas dalam kitab-kitab, misalnya, Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rasyid, kitab standar dalam kajian-kajian hukum di Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Islam, atau bahkan dalam al-Madzahib al-Arba`ah, karya al-Jazairi.

Selain itu, kajian hukum dalam literatur-literatur tersebut juga terlalu fiqhiyah semata. Maksudnya, suatu hukum ditetapkan berdasarkan dalil nash, dengan hanya mempertimbangkan tingkat kesahihan nash yang bersangkutan tanpa melihat kondisi obyektif dari obyek hukum itu sendiri. Artinya, literatur yang ada tidak menjelaskan secara baik bagaimana kondisi obyek dan siapa yang dituju ketika seorang mujtahid menetapkan sebuah hukum. Sedemikian, sehingga orang yang mengkaji hukum perbandingan, misalnya, ketika ditanya tentang suatu persoalan agama, ia hanya akan menjawab bahwa menurut Imam Syafii demikian dengan nash ini, menurut Abu Hanifah begitu dengan dasar nash itu dan seterusnya, tanpa melihat apakah ketetapan hukum yang disampaikan tersebut sesuai dan cocok untuk kondisi masyarakat sekarang. Padahal. Sebuah hukum hanya cocok untuk masyarakat dan waktu tertentu.
Kajian-kajian hukum yang demikian akhirnya memberi kesan dan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam. Apalagi ada paham di antara sebagian masyarakat muslim bahwa pintu ijtihad telah ditutup, atau kalau pun bisa harus melalui persyaratan yang sangat ketat. Fiqh menjadi tidak mengalami kemajuan yang berarti, dianggap tidak rasional dan tidak kontekstual. Buku ini mengisi kekurangan-kekurangan tersebut. Bahkan, tidak hanya memaparkan bagaimana proses pencapaian sebuah hukum oleh seorang mujtahid atau tidak hanya menunjukkan pada obyek siapa sebuah hukum ditetapkan, tetapi juga menguraikan dari perspektif yang sama sekali berbeda dari kajian-kajian fiqih selam ini, yaitu dari perspektif sufi-falsafi, sehingga ia lebih rasional, lebih kontekstual dan lebih mendalam.
Yang menarik dari kajian ini adalah bahwa apa selama ini diketahui bahwa Imam Abu Hanifah misalnya, dianggap rasionalis karena kondisi masyarakatnya yang modern, ternyata tidak demikian. Sebaliknya, rasionalitas Abu Hanifah adalah karena kedudukannya yang tinggi dalam dunia tasawuf dan obyek hukumnya bukan untuk orang-orang modern yang rasional, tetapi justru untuk kalangan ”khawash”, orang yang telah mencapai kedudukan tertentu dalam dunia sufisme. Sedang obyek hukum para imam mazhab yang lain lebih diarahkan pada masyarakat kebanyakan.
Selain itu, buku ini diharapkan bisa memberi wawasan lebih luas bagi pembaca bahwa hukum fiqh Islam tidak hanya Syafiiyah saja, atau Hanafiyah saja, atau Malikiyah saja, tetapi sangat banyak dan pendapat mereka berbeda-beda meski kadang didasarkan atas nash yang sama. Sedemikian, sehingga mereka tidak terkaget-kaget dan tidak cepat menghukumi salah, bid’ah atau yang lain ketika menjumpai orang lain melakukan ibadah dengan cara yang tidak sama dengan yang biasa dilakukan atau tidak sama dengan yang difatwakan oleh imam mazhabnya; sebaliknya, menyadari bahwa hal tersebut juga ada dasar hukumnya dan diperbolehkan oleh imam mazhab yang lain. Hasan Al-Banna pernah berkata, ”Marilah kita saling membantu dalam hal yang disepakati dan saling memaafkan (bersikap toleran) dan hal yang tidak disepakati”.
Dengan adanya paparan dari berbagai pendapat tentang suatu persoalan fiqiyah, diharapkan juga bahwa pembaca bisa melihat banyak alternatif yang bisa diambil dan dijadikan landasan dalam melaksanakan ibadah. Di sini tidak ada larangan untuk berpindah mazhab atau mengikuti pendapat lain yang berbeda dengan pendapat yang selama ini dipegangi, karena memang tidak monopoli kebenaran pada mazhab atau imam tertentu. Para imam mazhab sendiri, seperti Abu Hanifah, Maliki atau Syafii tidak pernah memerintahkan muridnya untuk memegangi pendapatnya tetapi justru memerintahkan untuk meninggalkannya jika ada pendapat lain yang dianggap lebih sahih dan benar. Abu Hanifah menyatakan, ”Inilah yang terbaik yang bisa saya simpulkan, tetapi jika kalian melihat kesimpulan lain yang lebih baik ikutilah”. Al-Jazairi, penulis kitab al-Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah juga menyatakan, ”Di antara kaidah ushul fiqh yang ditetapkan adalah bahwa bertaklid pada seseorang mujtahid tidaklah wajib, karena kita tidak wajib bertaklid pada imam mazhab tertentu. Bahkan, kita boleh bertaklid (mengikuti) pada pendapat imam mujtahid mana pun sepanjang pendapat tersebut sahih”. Justru dengan hanya mengikuti pendapat imam mazhab tertentu itulah yang akan menimbulkan persoalan. Sebab, sebagaimana dikatakan Ali al-Khawash dalam motto di depan, dengan mengikuti salah satu mazhab seseorang berarti hanya akan tahu hadis atau dasar sahih menurut imam mazhabnya sementara meninggalkan banyak dasar atau hadis sahih lain menurut imam mazhab lainnya.
Namun demikian, yang harus diperhatikan dalam berpindah mazhab ini bukan untuk mencari yang ringan atau yang lebih mudah, tetapi untuk mencari mana yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi saat ini, yang lebih maslahat, yang paling sesuai dengan tingkat ketakwaan, kesungguhannya dalam menjalankan perintah agama, kekuatan fisik dan lainnya. Ini untuk pelaksanaan ibadah-ibadah mahdlah, ibadah yang bersifat ritual murni, seperti shalat, puasa, dan haji. Untuk bentuk ibadah yang memiliki dimensi sosial seperti zakat, perlu juga pertimbangan untuk kepentingan masyarakat secara lebih mendalam, terutama kaum fakir dan miskin. Adapun untuk persoalan muamalat atau hal-hal yang merupakan interaksi antar masyarakat banyak, harus dipertimbangkan kepentingan publik secara lebih luas, juga pendapat ulama dan para pakar hukum yang terkait.
Misalnya dalam hal perkawinan. Saat ini, kita tidak bisa melangsungkan perkawinan secara sembunyi-sembunyi, kawin sirri, tanpa saksi (dengan dalih mengkuti mazhab Maliki), atau sekaligus tanpa wali (dalih mengikuti mazhab Hanafi), atau tanpa dicatatkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), yang penting ada wali dan saksi (mengikuti mazhab Syafii), sebab hal itu pasti akan menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari, apalagi jika terjadi perselisihan; sang istri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mempunyai kekuatan dan perlindungan hukum karena tidak diakui oleh pemerintah yang berwenang. Sekali lagi, di sini harus ada pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak sekedar sesuai dengan apa yang difatwakan oleh imam mazhab yang hidup pada abad pertengahan, sepuluh abad yang lalu, yang jelas sudah sangat berbeda dengan masa modern. Karena itu pula, tidak ada salahnya jika kita yang hidup sekarang ini tidak sependapat dengan imam mazhab pada persoalan yang sama, sebab fiqih pada dasarnya adalah hasil ijtihad manusia untuk dan karena suatu kondisi tertentu, yang berarti harus juga berubah jika situasi dan zamannya telah berubah. al-Hukmu yaduru ma’a illatihi (hukum berubah sesuai kondisinya).
Buku ini diolah dan dimodifikasi dari dua buah kitab: al-Mizan Al-Kubra karya al-Sya’rani dan Rahmah al-Ummah karya Abd. Rahman Dimasqi. Al-Sya’rani adalah salah seorang tokoh tasawuf terkemuka pada abad ke sepuluh Hijriah, murid Ali al-Khawash yang pendapatnya banyak dinukil dalam buku ini. Ia juga tokoh yang cukup produktif. Selain al-Mizan al-Kubra, al-Sya’rani menulis al-Fath al-Mubin min Bayan Israr Ahkam al-Din, Thaharah al-Jism wa al-Fuad min Su’ al-Dzan billah wa al-Ibad, al-Minah al-Saniyah, dan lainnya. Semua dalam perspektif tasawuf.
Buku ini terdiri atas 7 jilid dan diterbitkan secara berseri.
I. Membahas masalah thaharah (bersuci),
II. Membahas masalah shalat,
III. Membahas masalah jenazah,
IV. Membahas masalah zakat, puasa, dan haji,
V. Berbicara tentang masalah muamalah,
VI. Berbicara sekitar masalah perkawinan,
VII. Membahas masalah pidana, peradilan, dan jihad,

Tulisan yang lain, klik disini

2 komentar:

taufiq Kamis, Januari 29, 2009  

Salam, satu perhargaan untuk saya :)

Blog Competition 2009 Kamis, Januari 29, 2009  

bermanfaat bg saya info bukunya...thk ya....

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP