Jumat, Januari 23, 2009

Aristotle's Logic

Logika Aristoteles
Oleh: A Khudori Soleh
Logika Aristoteles mempunyai pengaruh sangat besar dalam sejarah intelektual umat manusia. Buku-buku pegangan tentang logika --tradisional-- sebagian besar diisi dengan logika ini, dan tidak ada satupun jenis pengetahuan yang tidak bersentuhan logika yang ditemukan Aristoteles ini, sehingga Immanuel Kant (1724-1804 M) pernah menyatakan bahwa selama 20 abad lebih, logika Aristoteles tidak tergoyahkan dan ia tetap menjadi tonggak dan pondasi pengetahuan ilmiah manusia.[1]
Tulisan ini membahas pengertian logika, objek pembahasan dan model konstruksinya, ditutup dengan tanggapan tentangnya.

A. Perjalanan Logika Aristoteles.
Meski logika ditemukan dan dinisbatkan pada Aristoteles, tetapi Aristoteles sendiri sebenarnya tidak pernah menyebutkan istilah “logika”.[2] Istilah “logika” justru digunakan oleh orang lain, pertama kali oleh Cicero, (106-43 SM) tetapi dalam arti seni berdebat, kemudian oleh Alexander dari Aphrodisius (w. 200 M) dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana makna yang ada sekarang. Aristoteles sendiri menggunakan istilah “analitika” untuk penyelidikan argumentasi yang bertitik tolak dari putusan yang benar, dan dengan istilah “dialektika” untuk penyelidikan argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang belum pasti kebenarannya.[3] Analitika dan dialektika ini merupakan cabang dari ilmu yang sekarang disebut dengan “logika”, dan sentral analitika Aristoteles adalah “silogisme”.[4]
Sepeninggalan Aristoteles, pemikiran-pemikirannya yang kemudian dikenal dengan istilah paripatetik, dipelajari dan dikembangkan, antara lain, di kota Antioch, Haraan, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq).[5] Mazhab paripatetik ini bersaing dengan mazhab logika Magarian-Stoa yang --karena lebih dekat pada dialektika Zeno (336-265 SM) dari Elia-- menaruh minat pada pengembangan sesuatu yang mirip dengan kalkulus proposisional. Dengan berkosentrasi pada hubungan-hubungan yang bertipe “jika...maka”, “atau ...atau”, para pengikut mazhab Megarian-Stoa menggarap bentuk-bentuk penalaran yang sahih untuk hubungan-hubungan ini.[6]
Selain itu, mazhab paripatetik juga bersaing dengan logika Epicurean, suatu bentuk logika yang menganggap bahwa semua koneksi logis berawal secara empiris, yang berarti berdasarkan induksi dan analogi,[7] dan di Iskandariyah, Mesir, yang dikenal dengan mazhab Iskandariyah, suatu mazhab yang mengajarkan logika dan filsafat Aristoteles, di samping Plato (427-347 SM).[8] Persaingan di antara aliran atau mazhab logika ini terus berlanjut sampai abad-abad berikutnya. Banyak tulisan yang mendukung atau menyerang mazhab lain selama kurun ini, seperti tulisan Galen (129-199 M), Alexander (w. 200 M) dari Aphrodisius, dan Porphyry (232-301 M). Di pihak Aristotelian, tokoh yang terkenal adalah Botheus (480-524 M) yang tidak jarang menyerang mazhab Stoa. Spekulasinya tentang cara eksistensi spesies dan genus sangat berpengaruh pada diskusi -diskusi tentang universalia (konsep-konsep universal) abad pertengahan.[9]
Dari mazhab Iskandariyah, Athenian, kajian-kajian filsafat Yunani di Syiria dan Iraq, pada abad ke-7, logika Aristoteles masuk dalam dunia Islam, lewat proses penterjemahan. Dalam Islam sendiri, logika Aristoteles pertama kali di perkenalkan dan dipakai oleh al-Kindi (806-875 M), kemudian Ibn Rawandi (lahir 825 M), al-Razi (865-925 M), dan puncaknya pada al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M). Di tangan Ibn Sina ini logika Aristoteles telah bercampur dengan neoplatonis dan kosmologi Plotinus, tetapi ia berhasil menentukan tempat bagi logika. Menurut Ibn Sina,[10] logika berurusan dengan faham-faham abstrak, yang merupakan pengertian kedua dari tanda-tanda alamiah yang dianggap sebagai pengertian pertama.
Gagasan Ibn Sina ini kemudian menjadi bahan diskusi yang hangat masa-masa sesudahnya. Setelah itu, logika Aristoteles dan filsafat Yunani pada umumnya mengalami kemunduran dan tidak lagi berkembang secara baik dalam pemikiran Islam karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M) dan dianggap tidak bisa mengatasi segala persoalan oleh Suhrawardi (1154-1192 M), meski ia dibela oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M).[11] Di dunia Barat sendiri, pada abad-abad berikutnya setelah periode Arab-Islam, logika Aristoteles juga mengalami nasib sama, tidak diakui dan diserang oleh, misalnya, Peter Ramus (1515-1572 M) dan Francis Bacon (1561-1626 M) dengan menyatakan bahwa logika Aristoteles tidak bisa menjadi alat untuk penemuan ilmiah.[12] Juga oleh Leibniz (1596-1650 M) yang --meski tetap menghormati Aristoteles-- menyatakan bahwa tidak semua argumen dapat dimasukkan dalam logika silogisme Aristoteles. Menurutnya, seni penemuan (arts combinatoria) lebih fundamental daripada logika, dan bahasa universal (characteristica universal), dengan tata bahasa dan aturan prosedurnya yang dibangun secara filosofis akan lebih bisa membuat seseorang bergerak bebas keseluruh bidang pengetahuan.[13]
Logika Aristoteles akhirnya benar-benar “selesai” setelah ditemukan logika yang lebih canggih, logika modern, yang dasar-dasarnya di tetapkan oleh CS. Peirce (1839-1914 M) dan G. Frege (1848-1925 M) yang dikenal dengan istilah kalkulus proposional, karena memang merupakan kalkulus proposisi-proposisi, di mana huruf-huruf p, q, r dan seterusnya digunakan untuk mewakili proposisi-proposisi. Konektif-konektif fungsional kebenaran dilambangkan dengan berbagai cara, dan dengan definisi-definisi serta tabel kebenaran, di turunkanlah rumusan-rumusan atau dalil-dalil dengan memperlihatkan langkah-langkah yang sah yang mungkin diambil dalam memanipulasi proposisi-proposisi dengan konektif-konektif.[14]

B. Pengertian, Objek dan Posisi Logika.
Secara bahasa, logika yang disebut logic (Inggris), logica (Latin) dan logike atau logikos,[15] (Yunani) adalah ucapan atau akal budi yang berfungsi baik, teratur dan dapat dimengerti.
Menurut istilah, minimal ada dua pengertian yang bisa diberikan. Pertama, logika adalah teori mengenai syarat-syarat penalaran yang sah. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Alexander (w. 200 M) dari Aphrodisius. Penalaran bertolak dari satu atau lebih pernyataan yang di sebut premis ke suatu pernyataan selanjutnya yang disebut kesimpulan. Jika kesimpulan berasal dari premis-premis secara niscaya, pasti, proses ini di sebut deduksi, penalaran deduksi atau logika deduksi. Jika kesimpulan berasal dari premis-premis dengan derajat kemungkinan, maka proses ini di sebut induksi, penalaran induktif atau logika induktif. Kedua, logika adalah studi tentang aturan-aturan mengenai penalaran yang tepat, serta bentuk dan pola pikiran yang masuk akal atau sah. Logika adalah studi dan penerapan aturan-aturan penarikan kesimpulan pada argumen atau pada sistem pikiran.[16]
Objek dan lingkup kerja logika, karena itu, adalah hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran. Pemikiran disini tidak di pandang sebagai suatu sifat atau aktivitas subjek dalam pengertian psikhologis, sebaliknya di lihat dari sudut hubungan-hubungan yang ada di antara ide-ide itu sendiri yang dapat dipertalikan dalam pengertian yang sama dengan banyak individu. Karena itu, logika bukan bagian dari psikhologis. Dalam logika, isi-isi pikiran dipelajari dalam dirinya sendiri, menurut struktur internalnya, menurut bentuk-bentuknya (seperti konsep, keputusan dan kesimpulan) dan menurut hubungannya yang niscaya dan timbal balik (khusus hukum-hukum logika). Jelasnya, objek logika adalah menjawab persoalan bagaimana manusia bisa berfikir sebagaimana mestinya.[17]
Meski demikian, logika bukan bagian dari filsafat. Dalam klasifikasi ilmu pengetahuan yang dibuat Aristoteles, ada tiga golongan ilmu pengetahuan: pengetahuan praktis, produktif teoritis. Pengetahuan praktis meliputi etika dan politik; Ilmu pengetahuan produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian); sementara pengetahuan teoritis mencakup tiga bidang: fisika, matematika dan metafisika. Disini tidak ada tempat bagi logika. Menurut Aristoteles,[18] logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri tetapi mendahuluinya sebagai persiapan untuk berfikir dengan cara ilmiah. Jelasnya, logika adalah suatu alat agar seseorang bisa mem-praktekkan ilmu pengetahuan.

C. Konstruksi Logika Aristoteles.
Logika Aristoteles dibangun diatas konsepsi intelektual yang direkam dari kondisi empiris atau benda-benda eksternal yang ditangkap indera. Menurut Aristoteles, gagasan-gagasan atau konsepsi yang ada dalam pikiran tidak diambil dari alam ide sebagaimana disampaikan Plato, melainkan direkam dari alam nyata, kenyataan empiris yang ditangkap indera. Gagasan atau konsepsi dari alam riil yang direkam indera kemudian diolah dan disusun secara sistematis menurut aturan logis untuk mengungkap gagasan dan kebenaran lain yang lebih tinggi daripada apa yang dicapai indera. Jika dalam pikiran seseorang telah terbentuk konsep-konsep kebenaran, maka dengan silogisme atau aturan logis, akan di temukan kebenaran atau gagasan lain yang tidak dikenal sebelumnya. Prinsip kerja dari gagasan ini adalah (1) adanya benda-benda alam yang bisa diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi dalam pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran tersebut lewat bahasa atau kata.[19]
Tentang penentuan apa yang ada yang ditangkap pikiran lewat indera, Aristoteles membagi dalam 10 bagian yang disebut kategori, yakni (1) substansi, (2) kuwantitas atau jumlah, (3) kuwalitas atau sifat, (4) relasi atau hubungan, (5) tempat (6) waktu, (7) sikap atau status, (8) keadaan, (9) kerja atau aktif, (10) menderita atau pasif. Di atas kategori yang sepuluh ini seseorang menyusun pengertian atau logika.[20] Dengan konsep ini, Aristoteles berarti membangun paradigma pemikiran yang berasal dari “bawah”, empiris.[21] Dari data empiris yang di akui kebenarannya disusun konsepsi intelektual dan suatu kebenaran, dan dari kebenaran serta konsepsi intelektual ini --dengan aturan silogisme-- di turunkan atau ditemukan kebenaran dan konsepsi baru yang lebih tinggi atau belum ditemukan sebelumnya. Begitu seterusnya sehingga dari data-data empiris ini seseorang bisa naik dan menemukan ide tertinggi. Konsekuensinya, dalam persoalan hubungan antara alam riil dan ide, maka alam ide adalah “bayangan” alam riil. Apa yang ada (being) dan yang aktual bukan yang di dalam otak, di dalam ide atau pikiran, tetapi dalam benda-benda konkrit. Diluar itu semua tidak ada apapun, melainkan hanya sebutan belaka, bukan benda sesungguhnya, meski yang dimaksud adalah benda ghaib.
Dalam pandangan Aristoteles, alam idea (essensi) adalah sesuatu yang “menjadi” bukan sesuatu yang “ada”, Ia ada secara immanen dalam benda-benda konkrit yang bentuknya (form) kemudian ditangkap oleh intelengia atau pikiran. Artinya, realitas yang sesungguhnya adalah benda-benda konkrit yang dapat ditangkap indera tersebut, sedang apa yang ada dalam akal pikiran, termasuk pengetahuan, semata hanya representasi akal terhadap benda-benda konkrit yang ditangkap indera, sehingga apa yang di sebut dengan “idea” atau essensi menjadi “tidak pasti” karena juga di pengaruhi oleh kekuatan akal yang merepresentasikan, berbeda dengan benda-benda konkrit itu sendiri.[22]
Paradigma pemikiran Aristoteles ini berseberangan dengan paradigma pemikiran gurunya, Plato, yang terbangun dari “atas”. Menurut Plato,[23] sumber ilmu pengetahuan adalah akal atau rasio karena dialah yang merupakan wujud yang sesungguhnya (bieng), bukan kenyataan empiris, meski tidak mengingkari pentingnya pengalaman dan kondisi empiris. Namun, pengalaman atau data-data empiris hanya dipandang sebagai sejenis perangsang pikiran, sehingga benar tidaknya dipengaruhi oleh kenyataan atau objektif benda melainkan oleh ide atau pikiran. Pengetahuan pada dasarnya adalah pengenalan kembali ide-ide yang pernah diperoleh manusia sebelum mereka dilahirkan.
Menurut Plato,[24] sebelum kelahirannya di dunia, manusia telah mengalami pre-eksistensi di dunia ide, dan disana mereka menerima bekal konsep tentang kebenaran dan kenyataan. Konsekuensinya, dalam kaitan antara alam indera dan ide, alam indera atau dunia bukanlah kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya bayangan dari alam ide. Dari alam ide yang merupakan wujud hakiki (being) kemudian “turun” dalam bentuk alam indera.

D. Tata Kerja Logika.
Logika Aristoteles, sebagaimana disinggung, berpusat dan berpuncak pada apa yang disebut dengan silogisme. Silogisme adalah argumentasi yang terdiri atas tiga proposisi. Setiap proposisi dapat dibedakan atas dua unsur: (1) tentang apa sesuatu dikatakan yang disebut “subjek”, (2) apa yang di katakan yang disebut “predikat”. Argumentasi silogisme menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang sudah diketahui. Kunci memahami silogisme adalah term yang dipakai dalam putusan pertama maupun kedua.[25] Silogisme sendiri terdiri atas dua bentuk: silogisme analitika yang dalam epistemologi Islam dikenal dengan istilah (burhani) atau demonstratif dan silogisme dialektika atau jadali. Silogisme analitika (demonstratif) adalah silogisme yang tersusun atas premis-premis yang benar, primer dan memang diperlukan.
Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan. Al-Farabi, seorang tokoh terkemuka logika Aristotelian dari kalangan muslim,[26] membagi materi premis-premis silogisme ini dalam empat bentuk; (1) pengetahuan primer, (2) pengetahuan indera (mahsusat), (3) opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat), (4) opini-opini yang diterima (maqbulat). Keempat macam premis ini tidak sama tingkat kepercayaannya, ada yang mencapai tingkat menyakinkan, mendekati keyakinan dan percaya begitu saja, sehingga memunculkan hierarki tingkat hasil silogisme. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Premis dianggap mendekati keyakinan jika hanya mengacu kepada dua kriteria pertama, sedang yang dipercaya belaka mempersyaratkan kriteria pertama diantara tiga kriteria yang diberikan.[27]
Proposisi pengetahuan primer menduduki peringkat pertama dan teratas dalam hierarki materi silogisme, karena ia dinilai memenuhi tiga kriteria premis yang menyakinkan; yaitu bahwa selain secara at in self benar adanya, ia juga telah teruji secara rasional. Proposisi yang umumnya diterima (masyhurat) menduduki peringkat kedua, tingkat mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan, karena ia dianggap hanya mempunyai dua sifat pertama dalam tiga kriteria yang dipersyaratkan. Proposisi yang umumnya diterima tidak mempunyai sifat ketiga, tidak teruji secara rasional. Artinya, opini yang umum diterima tidak pernah dikaji kembali apakah ia memang demikian, tidak dikaji kemungkinan-kemungkinan sebaliknya. Pertimbangan pertama dalam menerima opini yang umumnya diterima bukan atas dasar kebenarannya, melainkan bahwa ia telah disepakati (konsensus atau ijma’) secara umum, sehingga dalam hal ini, opini-opini yang bertentangan satu sama lain boleh jadi diterima sekaligus, seperti dalam kasus fiqh.[28]
Silogisme analitika atau demonstratif yang disebut juga sebagai silogisme kategoris menggunakan pengetahuan primer ini sebagai premis-premisnya. Selain itu, juga bisa dari jenis-jenis pengetahuan indera dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstans) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada silogisme yang menyimpulkan sebaliknya.[29]
Silogisme dialektik atau disebut juga silogisme hipotesis adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme analitika. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhurat), yang ini biasanya diakui atas dasar keimanan atau kesaksian orang lain, tanpa di uji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan yang dihasilkan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme analitika. Ia berada di bawah pengetahuan analitika.[30]
Meski demikian, pengetahuan hasil metode dialektik tersebut masih lebih unggul dibanding pengetahuan hasil retorik dan puitik, sebab dalam metode retorik, salah satu premis utamanya telah dibuang sehingga keputusan yang dihasilkan tidak menyakinkan, untuk tidak mengatakan tidak bisa diterima oleh aturan berfikir rasional. Pembuangan premis utama retorik ini dikarenakan tujuan penting retorik bukan untuk mencapai keyakinan rasional tetapi semata untuk menyakinkan pendengar agar mereka mempercayai apa yang disampaikan dengan membuat jiwanya puas dan sependapat dengan argumen-argumen tersebut.
Di samping itu, premis yang digunakan dalam metode retorik biasanya hanya berputar pada opini-opini yang diterima (maqbulat), salah satu dari --meminjam istilah Kant-- postulat yang menduduki peringkat paling rendah diantara empat postulat yang diberikan al-Farabi. Seperti yang terjadi pada premis pada opini yang umumnya diterima (masyhurat), opini maqbulat,[31] hanya menduduki peringkat “dipercaya saja” karena ia tidak diakui secara umum, bahkan hanya diterima oleh individu atau sekelompok kecil orang, tanpa ada penyelidikan lebih lanjut apakah yang diterima tersebut memang demikian adanya atau justru malah sebaliknya.

E. Penutup.
Dalam akhir makalah ini ada beberapa hal yang patut disampaikan. Pertama, dari sisi sejarah, kelahiran logika Aristoteles --termasuk juga logika Yunani yang lain -- tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial politik Yunani saat itu yang terbuka, dimana segala persoalan didiskusikan bersama secara bebas, sehingga dituntut adanya kecakapan berfikir dan berargumentasi dalam rangka mempengaruhi orang lain. Kedua dalam konteks yang lebih luas, logika Aristoteles dan filsafat Yunani pada umumnya bukan satu-satunya sistem berfikir yang ada di dunia, meski diakui sebagai aturan berfikir yang paling berpengaruh. Masih ada sistem berfikir lain yang juga besar dan cukup berpengaruh, yaitu logika Nyaya di India dan logika Mo Tse di Cina.
Ketiga, perjalanan logika Aristoteles, sesungguhnya, hanya sampai pada abad-abad pertengahan. Setelah mengalami kemunduran dalam pemikiran filsafat Islam, karena diserang al-Ghazali dan dikritik Suhrawardi, logika Aristoteles juga dikritik dan tidak diakui di Barat, dan mereka menelorkan sistem berfikir sendiri yang lebih bagus, logika modern, yang kemudian mengantarkan Barat kepada kemajuan. Artinya, dalam kaitannya dengan usaha kebangkitan Islam saat ini,para sarjana muslim kiranya tidak bisa begitu saja kembali pada filsafat Islam abad pertengahan yang Aristotelian; jika terpaksa mengambil, yang bisa dilakukan hanya dari sisi spirit dan semangatnya belaka. Juga tidak harus mengadopsi logika dan epistemologi Barat secara membabi buta, karena ia ternyata juga mengandung kelemahan, yakni menimbulkan kegersangan ruhani karena sifatnya yang positivistik. Perlu dipikirkan logika dan epistemologi baru, epistemologi alternatif yang lebih bisa mengerti dan mengatasi persoalan dunia modern dan masyarakat muslim, sebagaimana yang pernah dilakukan Barat dahulu setelah melihat kekurangan logika Aristoteles.
Keempat, sumber berfikir logika Aristoteles adalah apa yang disebut 10 kategori, yang terdiri atas 1 substansi dan 9 aksidensi. Konsep tentang substansi ini diambil dari Plato, gurunya. Dari 10 kategori ini logika Aristoteles kemudian menyusun abstraksi-abstraksi lewat aturan yang di sebut dengan silogisme. Dengan demikian, pengetahuan, dalam pandangan logika Aristoteles adalah abstraksi-abstraksi pikiran dari hasil tangkapannya tentang substansi dan kategori-kategori.
Kelima, dari sisi filsafat, doktrin Aristoteles tentang immanensi essensi, yakni bahwa essensi bersemayam dalam benda-benda dimana benda-benda konkrit itulah yang dianggap sebagai realitas sesungguhnya, memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan filsafat alam. Paling tidak, ini merupakan antitesis atau koreksi atas doktrin Plato tentang transendensi essensi, meski konsepsi Plato tentang essensi itu sendiri akhirnya juga diambil oleh Aristoteles yang dimasukkan dalam 10 kategorinya, yakni substansi.
Keenam, meski logika Aristoteles pernah mengantarkan filsafat Islam pada masa keemasan, juga pernah sangat berpengaruh dalam sejarah intelektual manusia sampai abad pertengahan, tetapi ia juga mengandung kelemahan, yang itu membuat kita harus berfikir ulang jika berkeinginan untuk menggunakan logika ini dalam proyek kebangkitan islam.
1. Prinsip silogisme Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung, berarti telah menyederhanakan dan bahkan membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak hanya pada apa yang konkrit, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang diluar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, disini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme, seperti dikatakan Suhrawardi.
2. Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksistensi empiris diluar pikiran seperti soal warna. Artinya, tidak semua keadaan atau argumentasi bisa diungkap lewat silogisme sebagaimana kritik yang di sampaikan Leibniz.
3. Prinsip logika Aristoteles yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa di ketahui. Logika Aristoteles sesungguhnya tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4. Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implisit pada pernyataan umum yang disebut premis mayor; jika belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik pada logika Aristoteles yang di sampaikan John Stuart Mill (1806-1873 M) dan Bacon.
Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pada cara berfikir hitam putih, benar salah, sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi atau ilmu kalam yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah menimbulkan konflek, karena tidak mengenal kebenaran pada fihak lain. Kebenaran hanya ada fihaknya sendiri.

Catatan Kaki
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), 530.
[2] Ibid, 167. Hal ini bukan berarti pada masa sebelum Aristoteles belum ada logika. Logika justru berakar pada pembuktian-pembuktian geometri kaum Pyithagorian, dialektika Zeno dan Elia dan dialektika Plato. Hanya saja harus diakui bahwa Aristoteleslah yang berhasil merumuskan dan memberikan uraiannya secara sistematis. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 520.
[3] Menurut Aristoteles, dialektika ditemukan oleh Zeno (336-265 SM), suatu perihal argumentasi yang didasarkan atas hipotesis atau pengandaian. Zeno memakai aturan dialektika ini untuk membangun argumentasinya. Caranya, ia mengemukakan suatu hipotesis, yakni salah satu anggapan yang dianut oleh para pelawan Parminedes, kemudian menunjukkan bahwa dari hipotesis tersebut harus ditarik kesimpulan-kesimpulan yang mustahil. Ternyata hipotesis semula tersebut tidak benar, dan itu berarti bahwa kebalikannya yang harus dianggap benar. Dengan metode ini Zeno membuktikan bahwa adanya ruang kosong, pluralitas dan gerak adalah sama-sama mustahil. Lihat Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 62.
[4] Harus dikatakan di sini bahwa meski logika Aristoteles dan filsafat Yunani sangat berpengaruh dalam sejarah intelektual manusia, tetapi ia bukan satu-satunya logika yang pernah lahir di dunia. Bersamaan dengan lahirnya logika di Yunani, lahir pula logika di India yang disebut dengan logika Nyaya. Silogisme Nyaya yang berkembang bersama dengan agama Hindu ini tidak hanya menuntut tiga proposisi tetapi lima. Aliran ini menyibukan diri dengan analisis bahasa dan klasifikasi kekeliruan-kekeliruan. Bersamaan dengan itu, juga lahir logika di Cina yang dasar-dasarnya diberikan oleh Mo Tzu (468-376 SM), seorang reformis Confucu. Uraian lebih lengkap tentang ini, lihat Paul Edwards (ed), The Encyclopedia of Philosophy, IV, (New York, The MacMillan Company, 1967), 520-525. Lihat pula Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 520.
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Macmillan Press, 1986), 241-2.
[6] Muhsin Mahdi, "Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam", dalam jurnal al-Hikmah, edisi 4, (Bandung, Februari, 1992), 63-64. Menurut Muhsin, visi utama mazhab ini adalah menyelaraskan antara filsafat dan agama. Lawannya, disamping logika Megarian-Stoa dan Epicurean, adalah mazhab Athenian (Helenistik) yang mengajarkan filsafat neo-platinik.
[7] Logika Megarian-Stoa adalah sintesa antara pemikiran Megarian dan Stoics. Logika Megarian sendiri dibangun oleh Euclides (430-360 SM) dari Megara, sementara logika Stoa dirintis oleh Zeno (336-265 SM) dari Elia. Lihat Paul Edwards (edt), The Encyclopedia of Philosophy, IV, 518-19.
[8] Bagus, Kamus Filsafat, 520. Logika Epicurian didirikan oleh Epicuros (341-271 SM), seorang tokoh filsafat dari Athena dan banyak dipengaruhi pemikiran Demokritos (460-370 SM). Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, I, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), 54. Pemikiran Aristoteles sebenarnya juga berasal dari sistem induksi karena statemen-statemen yang digunakan sebagai premis mayor dalam silogisme diambil dari data-data empiris atau data-data rasional. Hanya saja, Aristoteles tidak memperdulikan proses penyimpulan dari data empiris kepada pernyataan umum. Ia hanya tahu dan menggunakan pernyataan yang sudah jadi, yang rasional dan diakui kebenaran, yang dari situ kemudian dideduksikan menjadi sebuah kesimpulan yang lebih speksifik.
[9] Ibid, 519; Paul Edwards (ed), The Encyclopedia of Philosophy, IV, 520. Porphyry adalah murid Plotinus (204-270 M) yang setia dan yang mengumpulkan buku-buku karya Plotinus. Plotinus sendiri adalah orang Mesir yang kemudian menetap dan meninggal di Roma. Lihat Bernard Delfgaaw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Sumargono, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992), 45.
[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 522.
[11] Uraian lebih luas tentang ini, lihat Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, IV, 525-27. Ada beberapa kontribusi yang berikan tokoh muslim. Antara lain, (1) dari al-Farabi tentang silogisme induksi dan doktrin kesatuan masa depan, (2) dari Ibn Sina tentang proposisi kondisional dan proposisi temporal, (3) dari Ibn Ruysd tentang rekonstruksi silogisme modal Aristoteles.
Tentang kritik Suhrawardi pada logika Aristoteles, setidaknya ada tiga prinsip yang menjadi kekurangan logika Aristoteles; (1) bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat logika, (2) ada eksistensi diluar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan logika, seperti soal warna, (3) prinsip logika atau silogisme yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum, yang itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Jelasnya, logika atau silogisme tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Lebih lengkap tentang kritik Syhrawardi ini, lihat Mehdi Aminrazavi, "Pendekatan Rasional Suhrawardi Tehadap Problem Ilmu Pengetahuan", dalam jurnal Al-Hikmah, (Bandung, edisi 7, Desember 1992), 71-72.
[12] Ramus berusaha melawan logika Aristoteles dengan membuat logika sendiri, sehingga dengan logika Ramus. Lihat Paul Edwards (ed), The Encyclopedia of Philosophy, IV, 535. Tentang Bacon, menurut Bernard Delfgaauw, ia sesungguhnya tidak menambah apapun pada perkembangan ilmu pengetahuan, karena Bacon sendiri tidak mengetahui apa yang telah dicapai oleh masanya. Pengaruhnya yang pokok terletak pada kegiatannya yang sering mengecam dan memberi garis besar pada pedoman-pedoman yang kemudian berpengaruh besar pada filsafat Inggris dikemudian hari. Lihat Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, 108. Tetapi menurut Verhaak, Bacon bisa disebut sebagai perintis empiris dan positivisme. Uraian lebih lengkap tentang pokok-pokok pikiran Bacon sendiri, lihat C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Gramedia, 1997), 137-145.
[13] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 521.
[14] Namun, menurut Edwards, spirit logika modern telah diberikan oleh Leibniz. Lihat Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, IV, 537. Tentang Peirce, menurut Louis Kattsoff, ia termasuk juga sebagai salah satu peletak dasar pragmatisme. Peirce menyatakan, “Untuk memastikan makna apa yang terkandung dalam pikiran, seseorang harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praktis yang bakal timbul dari kebenaran konsepsi tersebut”. Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. S. Sumargono, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992), 130.
Uraian CS. Pierce tentang bagaimana seseorang harus menjelaskan gagasannya, lihat tulisannya, “Bagaimana Menjelaskan Gagasan Kita” dalam Qadir (peny), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya,(Jakarta, Yayasan Obor, 1995),95-105.
[15] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 519.
[16] Ibid, 520. Lihat pula Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung, Remaja Karya, 1989), 4.
[17] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 528. Lihat juga Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir, (Jakarta, Aneka Cipta, 1992), 14.
[18] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 529; Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 168. Pendapat ini tetap dipakai kaum Aristotelian sampai abad-abad pertengahan. Al-Farabi, misalnya, seorang tokoh Aristotelian dari kalangan muslim, memisahkan logika dan bahasa dari keilmuan-keilmuan yang lain dalam klasifikasi yang dibuatnya. Al-Farabi membagi ilmu-ilmu dalam lima bagian: bahasa, logika, metafisika, fisika, dan matematika. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 145 dan seterusnya.
[19] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1991), 421.
[20] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 395; Hatta, Alam Filsafat Yunani, 123; Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, (Jakarta, Rajawali, 1985), 41. Menurut Aristoteles, kategori adalah seperangkat pernyataan yang mampu mengklasifikan semua pernyataan lain.
[21] Dalam sejarah filsafat, Aristoteles memang dikenal sebagai salah seorang tokoh empirisme, sementara Plato, gurunya dikenal sebagai rasionali. Plato lebih kerasan dengan matematika dan dialektika, sedang Aristoteles berkonsentrasi pada ilmu-ilmu induktif. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 198.
[22] Copleston, A History of Philosophy, I, 377. Harun Hawijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, I, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 48.
[23] Copleston, A History of Philosophy, I, 372; Louis Kasstoff, Pengantar Filsafat, terj. S. Sumargono, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1996), 139.
[24] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat, 38-9; Copleston, A History of Philosophy, I, 372.
[25] Bertens, Sejarah Fislafat Yunani, 169.
[26] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 106. Pembagian al-Farabi tentang premis-premis ini, khususnya tiga bagian yang terakhir, hampir sama dengan apa yang disampaikan Immanuel Kant (1724-1804) dengan istilah “postulat”. Menurut Kant, postulat adalah praandaian-praandaian dasar yang sifatnya tidak dapat dibuktikan tapi mutlak di perlukan dan praktis. Dalam hal ini ada tiga postulat dalam pemikiran Kant; eksistensi Tuhan, immortalitas (keabadian jiwa) dan kehendak bebas. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 87.
[27] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 106; Hatta, Alam Pikiran Yunani, 124.
[28] Osman Bakar, ibid,
[29] Ibid
[30] Uraian lebih lengkap tentang tata aturan silogisme, pembagiannya dan contoh-contoh masing-masing, lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1000-1006; Poedjawijatno, Logika Filsafat Berfikir, 78-82; Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung, Remaja Karya, 1989), 153-164.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Ibn Rusyd yang juga memberikan tiga metode penggalian ilmu; demonstratif (silogisme kategorik), dialektik (silogisme hipotesis) dan retorik, menyatakan bahwa hasil pengatahuan demontratif untuk konsumsi kalangan elite, pengetahuan dialektik untuk kalangan tengah, sedang retorik untuk masyarakat awam. Lihat Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syariat, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996), 56-67.
[31] Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu, 108.

Pernah disampaikan dalam seminar kelas untuk mata kuliah “Filsafat Barat Klasik-Tengah” pada program Doktor (S-3), PPs IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tanggal 01 Maret 2000, dibawah bimbingan Prof. Dr. H. Amin Abdullah. Untuk mengakses artikel ini secara utuh, klik disini.


8 komentar:

Anastácio Soberbo Selasa, Januari 27, 2009  

Thanks for visiting my blog.
I also like his.
Greetings from Portugal

Dexter Rabu, Januari 28, 2009  

Bapak ini emang pintar, sampai cuman bisa manggut2 sembari baca.

atca Rabu, Januari 28, 2009  

wahhh..iya nihh
pinter banget..lengkap sekali ulasannya.

Ivan Kavalera Kamis, Juli 30, 2009  

Aristoteles memang hebat. Dia salah satu inspirasi bagi banyak cabang ilmu pegetahuan dari masa ke masa. Artikel hebat dan keren, pak.

Bahauddin Amyasi Minggu, Oktober 25, 2009  

Membaca artikel di atas, saya jadi teringat pas ngaji Mantiq dulu. Aristoteles memang menjadi ikon logika dengan rumus silogisme-nya. Saya masih ingat, dalam istilah mantiq, itu disebut Qadhiyyah.

Salam akrab, Pak. Lama gak berkunjung....

A Khudori Soleh Minggu, Oktober 25, 2009  

Makash tuk mas Bahauddin. Benar, manthiq kita memang juga logika Aristotelian, dan pengambilan keputusan dari premis mayor dan minor disebut qadliyah.

Anonim,  Jumat, Maret 05, 2010  

Hello,
I have developed a new clean web 2.0 wordpress theme.

Has 2 colours silver and blue, has custom header(colour or image).
I am curently working on it, so if you have suggestions let me know.

You can view live demo and download from here www.getbelle.com
If you found bug reports or you have suggestions pm me.
Wish you a happing using.

many thanks to [url=http://www.usainstantpayday.com/]USAInstantPayDay.com[/url] for helping with hosting and developement of the theme
Abibegixjen

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP