Selasa, Januari 20, 2009

Methods of Qur’anic Interpretation

Metode-Metode Penafsiran al-Qur'an
Oleh: A Khudori Soleh
Begitu mendengar kata “tafsir”, yang ada dalam benak kita biasanya langsung tentang suatu pemaparan atau penjelasan al-Qur'an, ayat demi ayat, surat demi surat sampai surat terakhir al-Qur’an. Padahal, apa yang dimaksud tafsir tidaklah demikian. Penjelasan ayat demi ayat secara beruntun dari ayat-ayat al-Qur’an hanyalah salah satu dari sekian banyak metode penafsiran. Cara penafsiran seperti itu disebut metode tahliliy, yaitu memaparkan atau menjelaskan ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an secara beruntun, dari awal sampai akhir.
Tulisan ini akan menjelaskan model atau metode-metode penafsiran al-Qur’an yang selama ini dikenal dalam masyarakat Islam, ditambah sedikit tentang kemunculan dan perkembangannya, juga sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran.

Muncul dan Perkembangan Tafsir
Penafsiran terhadap al-Qur’an muncul setelah wafatnya Rasul saw. Hal ini dikarenakan sudah tidak ada lagi tempat bertanya tentang berbagai masalah keagamaan dan pemahaman al-Qur’an setelah meninggalnya Nabi. Selama Rasul masih hidup, para shahabat biasanya langsung bertanya kepada beliau mengenai berbagai masalah yang timbul, atau bila menemui suatu ayat yang tidak dipahami maksudnya.
Penafsiran para shahabat terhadap ayat-ayat al-Qur’an ini sangat berbeda dan beragama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tingkat nalar dan pengetahuan mereka, penguasaan mereka tentang bahasa, pemahamannya tentang asbab al-nuzul ayat, kedekataannya dengan Rasul dan sebagainya. Imam Qutaibah menyatakan, “Pengetahuan orang Arab tentang kandungan al-Qur’an tidak sama. Al-Qur’an sendiri ada yang aneh (gharib) dan ada pula yang hampir samar artinya (mutasyabih). Sebagian bangsa Arab memiliki keutamaan atas sebagian yang lain”.[1]
Sumber-sumber penafsiran yang digunakan para shahabat saat itu adalah, pertama, ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, yang pendek dan yang panjang, global dan terinci, keumuman dan kekhususan, keterlepasan dan keterkaitan. Misalnya, ayat “Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik dan yang dipukul...” (QS, 5; 3) adalah penjelasan dari ayat “...dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu..."
Kedua, sunnah-sunnah Rasul. Para shahabat selalu menjaga dan bersandar kepada segala yang telah ditetapkan Rasul. Ini digunakan rujukan setelah tidak dijumpai keterangan-keterangan yang jelas dalam al-Qur’an, tentang suatu masalah yang dihadapi. Ketiga, ijtihad. Jika tidak mendapati kejelasan dari al-Qur’an maupun sunnah Rasul, para shahabat kemudian berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan cara ijtihad. Di sini, kemampuan dan pengetahuan mereka tentang bentuk-bentuk ungkapan ayat dan rahasianya amat membantu usahanya.
Keempat, melihat keterangan yang ada dalam Injil dan Taurat. Ini khusus untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan kisah-kisah para Nabi dan sejarah bangsa-bangsa zaman dahulu. Al-Qur’an sendiri, dalam masalah ini, memang tidak menjelaskan panjang lebar, karena telah dipaparkan cukup panjang dalam kitab sebelumnya. Selain itu, untuk menyempurnaan kisah-kisah ini, para shahabat juga merujuk pada keterangan para pendeta yang kemudian masuk Islam seperti Abdullah ibn Salam, Ka`ab al-Akhbar dan sebagainya.[2]
Setelah periode para shahabat, muncullah periode tabiin, yaitu orang-orang “gelombang kedua” yang berguru kepada para shahabat. Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah al-Qur’an, Sunnah Rasul, qaul shahabat, ijtihad mereka sendiri, dan keterangan para ahli kitab.[3] Sampai saat itu, tafsir belum dibukukan. Masih ada dalam hafalan atau catatan-catatan pribadi para mufassir. Baru pada akhir masa dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasyiah, bersamaan dengan pembukukan hadits, tafsir mulai ditulis ulama. Ia masuk dalam salah satu sub bagian penulisan hadits dan belum dipisahkan penyusunan khusus tafsir al-Qur’an per-ayat, per-surat sesuatu dengan susunan mushaf. Penulisan tafsir yang pertama dapat disebut adalah “Jami` al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an” oleh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H).[4]

Bi al-Ma'tsur dan Bi al-Ra'yi.
Secara garis besar, motode tafsir al-Qur’an bisa dibagi dua: Tafsir bi al-ma'tsur dan Tafsir bi al-ra'yi. Tafsir bi al-ma'tsur adalah suatu metode penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat yang lain atau dengan Sunnah (hadits) Rasul, para shahabat --dan tabiin. Yang ditulis terakhir: tabiin, sengaja dipisah, karena qaul tabiin ini masih dalam perdebatan. Sebagian ulama memasukkannya sebagai ma'tsur, sedang sebagian yang lain mengategorikan sebagai pendapat (al-ra’y).[5]
Akan tetapi, kebanyakaan ulama memasukkanya sebagai ma'tsur, karena para tabiin banyak mendapat penafsiran al-Qur’an dari para shahabat. Ibn Taimiyah memberikan komentar secara rinci pada masalah ini.
"Qaul tabiin tidak merupakan hujjah atas orang yang berselisih dengan mereka. Tidak diragukan bahwa kesepakatan mereka diketegorikan sebagai hujjah. Akan tetapi, jika mereka saling berselisih pendapat, maka qaul sebagian mereka tidak dapat dijadikan hujjah atas sebagian yang lain. Juga tidak atas orang yang datang sesudahnya. Perselisihan mereka harus dikembalikan kepada bahasa al-Qur’an atau Sunnah atau umumnya bahasa Arab, atau qaul shahabat”.[6]
Dengan kata lain, bila qaul tabiin --tentang suatu persoalan-- tersebut terdapat kesamaan dan kesepakatan (ijma), maka bisa dianggap sebagai ma'tsur. Sebaliknya, bila tidak terjadi kesepatakan, maka tidak dikategorikan dalam kelompok ma'tsur.
Tafsir-tafsir yang diketegorikan dalam kelompok bi al-ma'tsur adalah, antara lain, “Jami` al-Bayan” karya al-Thabari. Ini sekaligus sebagai tafsir al-ma'tsur pertama. Ia banyak menjadi rujukan para ahli tafsir. Keistimewaan tafsir al-Tabari ini, dibanding dengan tafsir bi al-ma'tsur lainnya adalah bahwa ia menyandarkan qaul para shahabat yang berangkai dan bersusun seperti mata rantai. Juga atas kejujurannya dalam meriwayatkan apa-apa yang datang dari rasul, dari shahabat dan tabiin.[7]
Yang lain adalah “Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma'tsur”, karya al-Suyuthi (w. 911 H). Ini adalah tafsir bi al-ma'tsur yang lahir ditengah-tengah ramai metode tafsir bi al-ra'yi. Tafsir ini rupanya dilakukan penulisnya dalam rangka untuk menghidupkan kembali metode tafsir bi al-ma'tsur yang mulai banyak bergeser digantikan oleh methode bi al-ra'yi, yaitu model penafsiran yang banyak mengandalkan tingkat pengetahuan dan intelektualitas penulisnya.
Sementara itu, yang kedua, tafsir bi al-ra'yi, adalah penafsiran al-Qur’an dengan memakai jalan ijtihad.[8] Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bi al-ra'yi ini. Sebagian melarangnya, berdasar sebuah hadits, “Siapa yang berbicara tentang al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, meski benar, maka ia masih tetap dianggap salah”.[9]
Sebagian lagi memperbolehkan, dengan alasan bahwa al-Qur’an sendiri sangat menganjurkan dan memerintahkan manusia untuk melihat dan berpikir tentang isi kitab suci ini.[10] Adapun tentang hadits yang melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad sebagaimana yang digunakan dasar oleh golongan pertama, yaitu golongan yang melarang tafsir bi al-ra'yi, oleh kelompok kedua dianggap sebagai larangan yang tidak mutlak. Maksudnya, larangan tersebut bukan sama sekali menutup penafsiran bagi semua orang. Bagi orang-orang tertentu, penafsiran tetap diperolehkan. Sedang bagi mereka yang tidak punya kualitas dan kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka tidak diperbolehkan. Ringkasnya, penafsiran dengan ra'y ini bisa boleh bisa tidak. Hukum boleh adalah bagi mereka yang telah memenuhi syarat sebagai mufasir, yaitu mengusai bahasa dan gramatika Arab dengan baik, ilmu al-Qur’an, sejarah, fiqh, ushul al-fiqh, asbab al-nuzul dan sebagainya yang menjadi syarat-syarat seorang mufasir dan hasil penafsirannya tidak boleh bertentangan dengan berbagai hakekat syariat. Adapun hukum haram (tidak boleh) adalah bagi mereka yang tidak memenuhi berbagai persyaratan tersebut, sehingga hasil penafsirannya dikhawatirkan justru bertentangan dengan hakekat syariat.

Metode Tafsir Bi al-Ra'yi.
Sebagaimana dijelaskan, tafsir bi al-ra'yi adalah sebuah metode penafsiran al-Qur’an dengan memakai akal pikiran (ijtihad). Karena itu, proses dan hasil penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan ideologi mufasirnya, yaitu apakah dia seorang praktisi politik, ahli hukum, seorang sufi, teolog, filosof atau yang lain. Di bawah ini dipaparkan empat contoh metode tafsir bi al-ra'yi yang dipakai oleh para mufasir.
a. Metode Bahasa.
Para penganut metode ini lebih banyak mempergunakan bahasa dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul, yang berkenaan dengan kesulitan memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Bagi mereka, al-Qur’an bukan hanya sebagai suatu teks agama, tetapi juga sebagai teks sastra yang amat tinggi nilainya dan mengandung kemukjizatan. Tentu saja, golongan ini kadang juga membuat “kesalahan”, menyimpang dari makna linguistik al-Qur’an, karena memang tidak mudah mengambil hukum (istimbat) dari suatu teks sastra yang mengandung kemukjizatan. Akan tetapi, dengan semakin matangnya gerakan bahasa dan kajian-kajian tentang filologi yang dipelopori oleh para sarjana ahli nahwu (tata bahasa Arab), banyak membantu usaha kelompok ini. Mereka banyak menulis kitab yang khusus membahas masalah ini. Seperti Al-Farra' (w. 207 H) menulis “Ma`ani al-Qur’an”, Abu Ubaidah (w. 210 H) dan Tsa'lab (w. 291 H). Dari situ kemudian banyak lahir karya-karya ilmiyah tentang keanehan al-Qur’an, perumpamaan-perumpamaan al-Qur’an, sumber-sumbernya, dan lain sebagainya. Di antara tokoh yang paling menonjol dalam memakai metode ini adalah Abu Ubaidah.[11] Ia menafsirkan al-Qur’an dengan menampilkan susunan tata bahasanya, makna-makna susunan tersebut, makna-makna logika orang Arab, dan dengan banyak membuat perbandingan antara ayat yang satu dengan lainnya atau antara ayat al-Qur’an dengan syair-syair orang Arab. Semangat menggunakan metode linguistik dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ini mempunyai keistemewaan tersendiri. Yaitu, susunan kata-kata yang dipakainya berbeda dengan metode yang lain. Ia mampu menguraikan suatu ayat yang tidak dimiliki oleh metode lain, mampu menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada di dalam ayat tersebut tanpa memakai kalimat dan huruf yang lain.[12]
Imam al-Suyuthi sangat mendukung usaha metode ini. Menurutnya, metode ini sangat penting digunakan. Sebab, apa yang dimaksud dengan kata “i'raf” (kenalilah) dalam sabda Rasul, “Kenalilah al-Qur’an dan carilah keanehan-keanehannya”, tidak sama dengan pengertian “i'raf” dalam ilmu nahwu. I'raf yang dimaksud di sini adalah segala usaha untuk mengenali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an. Sebab, membaca al-Qur’an tanpa sedikitpun usaha untuk mengenali dan memahami maknanya --walau membacanya saja adalah kebaikan dan mendapatkan pahala-- tidak bisa dianggap sebagai “membaca” dalam arti yang sesungguhnya dan tidak banyak membawa faidah.[13]
b. Metode Filosofis.
Metode filosofis berusaha menggabungkan antara filsafat dengan agama. Metode penafsiran ini muncul setelah terjalinnya hubungan yang erat antara kaum muslimin dengan budaya berbagai negara yang mereka taklukkan, disamping upaya yang dilakukan para penguasa Abbasyiyah untuk menjalin budaya dan peradaban lain, seperti Yunani, Persia, dan India, dengan menterjemahkan dan menyadur karya-karya tokohnya. Saat itu para sarjana muslim mulai memberikan komentar atas karya-karya filosof Yunani dan berupaya menemukan berbagai pendapat di antara mereka, juga berusaha menggabungkan antara filsafat dan Islam. Di antara tokoh yang terkenal adalah al-Farabi (w. 239 H), al-Kindi (w. 252 H), dan Ibn Sina (w. 448 H). Salah satu contoh dari penafsiran model ini adalah seperti apa yang dipaparkan oleh Al-Farabi. Ia menafsirkan kata “al-Malaikah” dengan bayangan-bayangan ilmiah yang intinya adalah ilmu-ilmu orisinil dan tidak seperti panel yang ada lukisannya. Atau dada yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan. Ia adalah ilmu orisinil yang berdiri sendiri, mengetahui persoalan yang tertinggi dan ia absolut.[14]
c. Metode Tasawuf.
Para sufi menafsirkan ayat-ayat-Nya dengan pikiran, perilaku, dan pancaran nur Ilahi yang ada dalam jiwa mereka. Memang ada sebagian sufi yang terpengaruh oleh budaya Persia, India atau Yunani dalam menafsirkan ayat-ayat ini. Akan tetapi, bagaimanapun, mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk menggali kandungan-kandungan al-Qur’an dengan prinsip-prinsip yang ada. Salah satu tokoh kelompok ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi (w. 638 H). Ketika menafsirkan ayat, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu” (QS, 55; 19), Ibn Arabi menyatakan, “Yang dimaksud dua lautan tersebut adalah lautan substansi raga yang asin dan pahit, dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar, yang keduanya bertemu di dalam wujud manusia, tetapi bukan bertemu dan bercampur baur melailnkan tetap pada batas masing-masing dan tidak saling melewati atau melanggar" menafsirkan QS al-Rahman, 20. Ruh tetap murni, sama sekali tidak tercampurkan oleh dan dengan badan. Badan tidak melintasi ruh, dan menjadikannya sebagai wujud materi”.[15]
d. Metode Fiqhiyah.
Metodologi fiqhiyah adalah suatu bentuk penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan bertujuan dan berlandaskan hukum-hukum fiqh. Tafsir model ini amat banyak, sebanyak madzhab-madzhab fiqh yang ada. Salah satu contoh tafsir dengan metode fiqhiyah adalah “Ahkam al-Qur’an” karya Abu Bakar al-Razi (w.370 H) dari madzhab Hanafi; Tafsir dengan nama yang sama karya Abu Hasan al-Thabari (w. 540 H) dari madzhab Syafii; juga tafsir dengan nama yang sama seperti di atas karya Abu Bakar ibn Arabi (w. 543 H) dari madzhab Maliki.

Tafsir-Tafsir Modern.
Para ulama salaf (ulama terdahulu) telah mengerahkan segala kemampuan dalam suatu kajian dan penelitian tentang isi kandungan al-Qur’an, sehingga tafsir memiliki bentuk-bentuknya yang permanen, baik dari segi bahasa, kemadzhaban, filsafat, tasawuf, fiqh ataupun yang lain. Akan tetapi, terutama memasuki abad-abad pertengahan --sebagaimana ilmu-ilmu yang lain-- tafsir mengalami kemandegan. Para pengkaji sesudahnya hanya mengulang atau mengumpulkan apa-apa yang telah ditulis para pendahulunya. Atau hanya memberi penjelasan atas masalah-masalah yang dianggap cukup pelit dan rumit. Praktis, tafsir tidak banyak mengalami kemajuan.
Namun, bersamaan dengan perjalanan waktu, memasuki abad ke XX atau abad ke XV hijriyah, pemikiran-pemikiran baru menggugah kembali semangat umat Islam. Di bawah bayang-bayang penindasan penjajah, umat Islam tergugah untuk membangunan kembali peradabannya yang jatuh, dan merebut kembali mahkota keagungannya yang hilang. Memasuki awal abad ke-XX, kita kenal adanya pengkaji-pengkaji muslim yang handal dan memiliki perhatian tinggi terhadap persoalan-persoalan hukum yang berlandaskan dan bersumberkan al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah Jamaluddin al-Afghani. Ia berusaha untuk menafsirkan pemikiran-pemikiran politik berdasarkan al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an memberikan media yang sangat luas bagi umat Islam untuk menentang penjajah.
Selain masalah politik, persoalan yang dihadapi para mufasir modern adalah bagaimana meletakkan tata perekonomian Islam menurut al-Qur’an. Saat ini, tata sistem perekonomian masyarakat --termasuk masyarakat Islam-- didominasi dan dirasuki oleh pemikiran-pemikiran yang sering dinilai tidak Islami, sehingga lahirlah teori perekonomian leberal, maxis atau yang lain yang tidak sesuai dengan aturan main Islam. Dalam hal ini, tafsir “al-Manar” kiranya telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar bagi tata perkembangan perekonomian yang qur'ani.
Selain itu, tafsir modern juga dihadapkan pada persoalan-persoalan bagaimana mempertemukan sains modern Barat dengan ilmu-ilmumkeislaman, sehingga tidak terjadi dikhotomi. Sebab, Islam tidak mengenal dualisme pengetahuan. Dalam Islam, yang ada adalah bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah “satu”: agama melahirkan ilmu pengetahuan dan ilmu mengetahuan menguatkan keyakinan beragama. Juga tidak kenal adanya pemisahan antara kehidupan dunia dan urusan agama, sehingga tidak ada istilah berikan hak raja kepada raja dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan. Yang ada dalam Islam adalah bahwa dunia merupakan sarana untuk mencapai akherat dan akherat tidak bisa dicapai kecuali dengan “menguasai” dunia.
Dalam masalah integrasi ilmu dan agama ini sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan para tokoh muslim. Ismail al-Faruqi, misalnya, dengan gagasannya yang dikenal dengan istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Dalam bidang tafsir, Thanthowi al-Jauhari juga telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar dalam masalah ini. Ia berusaha menggabungkan antara hal-hal baru di dunia ilmiah dengan nash-nash al-Qur’an. Hanya saja --menurut Ali al-Usiy-- ia terlalu jauh melangkah, sehingga terlalu berat beban pentakwilannya.
Meski al-Qur’an memerintahkan untuk berpikir dan menggali isi kandungannya, akan tetapi cara-cara yang digunakan dan untuk mencapai ke arah itu tidak mudah. Tidak semua orang bisa dan boleh melewatinya. Diperlukan kemampuan dan pengetahuan yang cukup, sehingga tidak dikhawatirkan akan terpeleset. Namun, hal itu tidak boleh membuat kita pesimis atau mandeq. Justru itu adalah tantangan, bagaimana kita bisa menguasai alat-alat yang diperlukan untuk melakukan penafsiran-penafsiran tersebut, sehingga dari sana lahir konsep-konsep baru tentang suatu ilmu, atau teori-teori baru tentang tatanan kehidupan masyarakat. Apalagi pada masa-masa seperti ini.
Saat ini masyarakat Islam dituntut tidak hanya menyemarakkan kegiatan-kegiatan “qur’ani” seperti MTQ, khataman al-Qur’an atau yang lain. Lebih dari itu, juga dituntut untuk bisa mengerti, memahami dan akhirnya merealisasikan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Adalah ironi jika seseorang mengaku beragama Islam dan mengaku berpedoman pada kitab suci al-Qur’an, tetapi tidak pernah membacanya, apalagi mempelajari, memahami dan mengamalkan ajarannya. Wallahu a'lam.

Catatan Kaki
[1] Al-Masail wa al-Ajwibah fi al-Hadits wa al-Lughah, 7.
[2] Lihat, misalnya, Tafsir al-Khazin, dan tafsir lainya yang mengkhususnya masalah ini
[3] Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, II, 496.
[4] Ibid, II, 140-142.
[5] Mahmud Basyuni Fardah, Al-Tafsir wa Manahij fi Dhaw al-Madzahib al-Islamiyah, 21
[6] Ali Al-Usiy, dalam Jurnal Al-Hikmah, vol. 4, 10.
[7] Kholil. S, Nasy'ab al-Tafsir, 54.
[8] Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, I, 255.
[9] Sunan al-Tirmidzi, bab “Tafsir al-Qur’an bi al-Ra'yi”.
[10] Mengacu pada ayat, misalnya, QS Shad 29; QS Muhammad, 24.
[11] Abu Ubaidah, Majaz al-Qur’an, I, 19.
[12] Kholil, Dirasah Islamiyah, 70.
[13] Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, II, 3.
[14] Syahat Zaghlul, Al-Ittijabah al-Fikriyah fi al-Tafsir, 317.
[15] Tafsir Ibn Arabi, II, 280.

Tulisan yang lain, klik disini

5 komentar:

Brigadista Rabu, Januari 21, 2009  

postingan bagus.....!!!

Hapi Rabu, Januari 21, 2009  

Happy Wednesday! Bloghoppin' here... Hey, I have an interesting tutorial for you that I have written myself. It is about adding Adsense on your Single Post in XML template. I hope you'll like it! God Bless you!

cintamuhammad Kamis, Januari 22, 2009  

salam

bapak ustaz, syukran atas komentarnya. ana kagum dengan tulisan ustaz berkenaan cucunya Rasulullah sallallhu 'alaihi wa sallam, Saidina Hussain radhiallahu 'anhu. salam ziarah daripada malaysia.

torik Kamis, Januari 22, 2009  

Alhamdulillah dapet pencerahan dengan mainnya ke blog ini... mudah-mudahan ini salah satu amal saleh kita

evan Jumat, Januari 23, 2009  

nice article dan penuh dengan ilmu..
makasih kunjungannya.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP