Thematic Exegesis Method of Bint al-Shati
Metode Tafsir Tematik Bint al-Syathi
Oleh: A Khudori Soleh
ADA beberapa metode tafsir yang dikenal dalam upaya memahami pesan-pesan al-Qur`an. Antara lain, metode tafsir tahlili, maudlû`i, semantik, semiotik dan lainnya. Metode tafsir tahlili adalah menafsirkan al-Qur`an secara tartil, ayat demi ayat sesuai dengan urutan mushaf. Kelemahan metode ini adalah bahwa ayat-ayat atau petunjuk-petunjuk al-Qur`an menjadi terpisah-pisah dan tidak disodorkan secara utuh, lengkap dan menyeluruh. Sementara itu, metode tafsir maudlû`i (tematik) adalah memahami al-Qur`an dengan cara mencari korelasi ayat-ayat yang setema yang terpencar diberbagai ayat, sehingga bisa difahami ajarannya secara utuh dan jelas.
Tulisan ini mengkaji metode tafsir Bint al-Syathi`, seorang tokoh wanita pemikir dari Mesir, karena metode tafsir yang diajukan tahun 1962, ternyata mengandung prinsip-prinsip metode tafsir tematik, suatu metode penafsiran yang dianggap paling baik dan menjanjikan dibanding metode yang lain.
A. Basis dan Operasionalisasi Metode.
Bint al-Syathi berkeyakinan bahwa, (1) al-Qur`an menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri (al-Qur`an yufassir ba`dluhu ba`dl), (2) al-Qur`an harus dipelajari dan difahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, (3) penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur`an dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur`an tanpa menghilangkan keabadian nilainya.
Berdasar 3 diktum diatas, Bint al-Syathi mengajukan sebuah metode tafsir yang menurutnya diambil dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode tafsir Amin al-Khuli (1895-1966), terdiri atas 4 langkah;
1. Mengumpulkan semua surah dan ayat yang berkaitan dengan topik yang akan di pelajari. Pengumpulan satu tema dari keseluruhan ayat ini tidak berarti mengingkari kenyataan bahwa al-Qur`an turun dalam tenggang waktu yang lama, yang gaya ungkapannya bisa berbeda antara waktu pertama dengan berikutnya. Sebab, inilah satu-satunya cara yang paling memadai untuk menangkap makna al-Qur`an.
2. Surat dan ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan kronologi pewahyuannya, sehingga dapat diketahui asbâb al-nuzûlnya. Namun, asbâb al-nuzûl disini tidak dipandang sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus diperhatikan adalah generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan peristiwa pewahyuannya (al-`Ibrah bi`umûm al-lafzhi la bikhushûs¡ al-sabâb). Karena itu, tidak ada alasan bahwa hasil metode ini akan di kacaukan oleh perdebatan asbâb al-nuzûl.
3. Untuk memahami petunjuk lafat, karena al-Qur`an menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafat-lafat yang digunakan secara berbeda, kemudian di simpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafat yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat al-Qur`an secara keseluruhan. Disini digunakan analisa bahasa, (semantik).
4.Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqâshid al-syar`i), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para mufassir. Namun, hanya pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima, sedang penafsiran yang berbau sektarian dan israiliyat harus bisa dijauhkan.
Menurut Bint al-Syathi, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik yang menafsirkan al-Qur`an secara tartil, dari ayat ke ayat secara berurutan, yang setidak mengandung 2 kelemahan, (1) memperlakukan ayat secara atomistik, individual dan terlepas dari konteks umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur`an adalah satu kesatuan yang utuh, dimana ayat dan surat yang satu dengan lainnya saling terkait. (2) kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya. Kritik bint al-Syathi ini bukan tidak beralasan. Kenyataanya, setelah tafsir al-Thabari, kitab-kitab tafsir senantiasa memiliki corak tertentu yang bisa dirasakan secara jelas bahwa penulisnya ‘memaksakan sesuatu pada al-Qur`an’, berupa faham teologi, fiqh, tasawuf atau setidaknya aliran kaidah bahasa tertentu. Ini bisa dilihat, misalnya, pada tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhshari (1074-1143), Anwâr al-Tanzîl karya al-Baidlawi (w. 1388) atau Bahr al-Muhît karya Abu Hayyan (1344).
Bint al-Syathi, dengan metode tersebut, sengaja memberi patokan yang ketat agar al-Qur`an benar-benar berbicara tentang dirinya sendiri tanpa campur tangan mufassir, dan difahami secara langsung sebagaimana oleh para sahabat. Karena itu, rujukan-rujukan seperti yang terkait dalam asbâb al-nuzûl hanya difahami sebagai data sejarah sehingga apa yang dimaksud Tuhan dalam suatu pewahyuan benar-benar pesan yang melampaui lokus dan tempus tertentu. Karena itu pula, pandangan-pandangan para mufassir sebelumnya, terutama al-Thabari (w. 923), al-Zamakhsyari (w. 1144), Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210), al-Isfahani, Nizam al-Din al-Naisaburi, Abu Hayyan al-Andalusi (w. 1344), Ibn Qayyim al-Jauzi, al-Suyuthi dan `Abduh (w. 1905) yang sering dikutip Bint al-Syathi dalam tafsirnya, bukan dijadikan rujukan tetapi justu untuk ditunjukkan kekeliruannya dan alasannya yang terlalu dibuat-dibuat, karena tidak sesuai dengan maksud al-Qur`an sebagaiman yang difahami lewat metode yang dikembangkan.
Salah satu contoh adalah asbâb al-nuzûl surat al-Dluhâ. Menurut al-Thabari, al-Razi, dan al-Suyuthi, surat ini turun sebagai jawaban atas pernyataan masyarakat Quraisy bahwa Rasul telah ditinggalkan Tuhannya. Namun, surat ini sendiri sangat terlambat turun, sampai 2 bulan. Menurut al-Razi, keterlambatan tersebut disebabkan jawaban Rasul bahwa beliau akan memberi jawaban besok tanpa mengucapkan kata Insya Allah atas pertanyaan orang Yahudi tentang ruh, Dzu al-Qarnain dan Ashhâb al-Kahfi, atau bahwa surat ini terlambat karena adanya anak anjing kepunyaan Hasan dan Husein di rumah Rasul, sehingga Jibril mengatakan, “Tidakkah kamu tahu bahwa kami tidak masuk rumah yang ada anjing atau gambarnya”, atau karena ada keluarga Rasul yang tidak memotong kukunya.
Menurut Bint al-Syathi, alasan yang disampaikan al-Razi terlalu dibuat-buat dan tidak ada kaitannya dengan al-Qur`an. Yang diinspirasikan zhahir nas adalah bahwa keterlambatan wahyu merupakan fenomena alami, seperti kesunyian malam setelah dluha, tidak lebih dari itu. Jika al-Qur`an memandang perlu untuk menjelaskan keterlambatan itu, untuk menenangkan jiwa, tentu ia tidak akan tinggal diam. Sebab, tujuan dari bayan al-Qur`an adalah pemenuhan segala tuntutan situasi yang berkaitan dengan tujuan. Artinya, jika al-Qur`an tidak membahas hal-hal yang seperti itu berarti yang dipentingkan adalah essensi dari situasi itu sendiri, bukan rincian-rinciannya yang parsial.
Selanjutnya, untuk menyingkirkan unsur-unsur asing dalam pemahaman al-Qur`an, Bint al-Syathi melakukan tiga hal. Pertama, menolak terlibat dalam pembahasan mendetail mengenai israiliyat, sebab al-Qur`an sendiri menurutnya tidak melakukan uraian secara detail tentang israiliyat, sehingga singgungannya tentangnya berarti hanya sebagai teladan dan pelajaran spiritual yang mesti ditelaah, bukan ungkapan detail-detail historisnya.
Kedua, menolak pembahasan detail tentang kaitan al-Qur`an dengan sains modern, sebab al-Qur`an sendiri menurutnya juga tidak bermaksud demikian. Ayat-ayat al-Qur`an memiliki maknanya sendiri yang instrinsik dan hanya dapat difahami dengan mempelajari dalam konteksnya sendiri, bukan sebagai pelajaran dalam berbagai sains modern yang berbeda-beda atau bukti tekstual yang sejalan dengan teori mutakhir. Jelasnya, menurut bint al-Syathi, al-Qur`an lebih merupakan ajaran moral yang bersifat abadi, bukan ajaran tentang fenomena alam atau sains modern, meski kemungkinan kearah sana bias saja terjadi.
Penolakannya terhadap usaha pengkaitan ayat al-Qur`an dengan sains modern, yang disebut sebagai tafsir al-`Ashrî (tafsir modern), dibuktikan dengan perdebatannya dengan Dr. Mushthafa Mahmud, dalam artikel-artikel yang dimuat dalam koran Shabâh al-Khair, Kairo. Mushthafa Mahmud adalah seorang fisikawan yang --dengan mengadopsi beberapa gagasan sains modern-- mencoba menemukan gagasan tersebut dalam ayat-ayat al-Qur`an. Bint al-Syathi mengkritik kesengajaan Mahmud yang telah memasukkan kisah israiliyah dan teori asing, yang disebut ilmiah, dalam pemahaman al-Qur`an. Ia bahkan juga mempertanyakan pengetahuan Mahmud tentang bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman dalam konteks kajian al-Qur`an.
Dalam persoalan ini, Bint al-Syathi tidak sendirian. Beberapa tokoh ahli tafsir seperti Quraish Shihab, Mahdi Ghulsyani dan Ahmad Von Denfer juga sependapat dengan Bint al-Syathi, menolak pengkaitan ayat-ayat al-Qur`an dengan sains modern tertentu. Alasannya, kebenaran ajaran al-Qur`an bersifat abadi sementara kebenaran sains hanya temporal dan debatable dan segera ditinggalkan jika ditemukan teori atau fakta-fakta baru. Pengkaitan ayat al-Qur`an dengan sains sama artinya dengan menempatkan kebenaran al-Qur`an pada kondisi relarif dan tidak abadi. Menurut Quraish Shihab, al-Qur`an lebih merupakan ajaran dan dorongan moral untuk melakukan penelitian dan melahirkan temuan-temuan baru dalam sains, bukan ajaran teks tentang sains.
Ketiga, sebagai tindak lanjut dari perdebatannya dengan Mahmud, Bint al-Syathi menolak penafsiran al-Qur`an oleh sembarang orang. Menurutnya, setiap orang memang berhak memahami atau menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan kemampuannya, tetapi untuk konsumsi umum, seperti menerbitkan tafsir kepada masyarakat, hanya menjadi hak orang yang mempunyai kualifikasi sebagai mufassir. Artinya, disini ada spesialisasi keilmuan, dimana yang bersangkutan dituntut berpengatahuan luas dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, tata bahasa, retorika dan gaya bahasa; dituntut mempunyai pengetahuan luas dalam ilmu-ilmu al-Qur`an, seperti ragam bacaan al-Qur`an, asbâb al-nuzûl, ayat-ayat muhkam, ayat-ayat mutasâbih, dan seterusnya. Juga mempunyai pengetahuan dalam ilmu-ilmu hadis, teologi, hukum, sejarah Islam dan ilmu tentang bid`ah.
B. Perbandingan Dengan Tokoh Lain.
Untuk lebih memahami metode Bint al-Syathi, disini dibandingkan dengan metode Toshihiko Izutzu, al-Farmawi, Fazlur Rahman, Syahrur dan al-Ghazali; tokoh-tokoh pasca Bint al-Syathi dan sama-sama mengkaji al-Qur`an dalam tema-tema tertentu (tematik).
Tahun 1966 Toshihiko Izutsu mengkaji etika al-Qur`an dengan pendekatan bahasa (semantik), memahami al-Qur`an melalui induk bahasanya, Arab, sesuai lokus-tempusnya. Izutzu mencoba memahami tema tertentu dalam al-Qur`an, yakni masalah etika, dengan mengkaji lafat-lafat yang terkait melalui analisa sosiologi bahasa, yakni bagaimana dan dalam arti apa bahasa atau kata tersebut digunakan pertama kali. Dari sisi analisa kata atau lafat ini mirip langkah ketiga Bint al-Syathi, tetapi Bint al-Syathi lebih menekankan pada sumber al-Qur`an sendiri, bukan dari sumber luar.
Al-Farmawi, guru besar Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Kairo, tahun 1977, menulis buku tentang metode tematik dengan langkah yang hampir sama dengan Bint al-Syathi; (1) mengumpulkan ayat yang setema, (2) menyusun ayat tersebut sesuai kronologi asbâb al-nuzûl, (3) melengkapi bahasan dengan hadis yang relevan, (4) mengkompromikan `am dan khas, mutlaq dan muqayyad, sehingga bisa difahami secara utuh. Metode ini relatif lengkap, tapi tidak ada pemecahan ketika ada kesulitan bahasa dan ketika tidak ada keterangan apapun untuk memahami maksud ayat yang dikaji.
Fazlur Rahman, tahun 1980, mengkaji tema-tema tertentu dengan mengumpulkan semua ayat yang terkait, kemudian menarik kesimpulan darinya. Namun, disini tidak dijelaskan aturan pasti cara merekonstruksikan diantara ayat-ayat yang dikajinya sehingga bisa terjadi kesimpulannya justru berfungsi sebagai legitimasi ide mufassir sendiri, tidak benar-benar membiarkan al-Qur`an berbicara tentang dirinya, seperti yang diharapkan Rahman. Juga tidak ada cara untuk memecahkan lafat-lafat yang sulit, seperti yang diberikan Bint al-Syathi.
Syahrur, tahun 1990, mengkaji tema-tema tertentu, persoalan filsafat, dengan metode mirip Izutzu, semantik. Prinsip-prinsip metodenya, (1) mengikuti metode bahasa yang digariskan al-Farisi dan al-Jurjani, serta berpedoman pada syair-syair Jahiliyah; (2) setiap ayat al-Qur`an mempunyai maknanya yang spesifik, tidak bisa diganti sehingga tidak ada sinonim; (3) apa yang ada dalam al-Qur`an adalah demi kebaikan dan petunjuk pada manusia, dan ia bisa difahami akal manusia sehingga tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Statemen Syahrur ini, setiap lafat al-Qur`an mempunyai maknanya yang spesifik, tidak senomin dan tidak bisa digantikan, persis dengan salah satu diktum dan hasil temuan dari aplikasi metode Bint al-Syathi.
Al-Ghazali, tahun 1996, menerbitkan buku Nahw Tafsîr Maudû`i Lisuwar al-Qur`an al-Karîm. Ia berusaha mengungkapkan satu tema pokok --tidak lebih-- dalam setiap surat al-Qur`an, dan setiap ayat yang ada didalamnya, dari yang awal dan akhir adalah pendukung kebenaran tema sentral tersebut. Namun, al-Ghazali tidak menjelaskan bagaimana ia bisa memastikan bahwa tema sentral sebuah surat adalah seperti yang diuraikan, karena tidak ada langkah operasional yang jelas yang dipakainya. Sedemikian, singga seperti dalam kasus Rahman, bisa terjadi bahwa ayat yang dipaparkan telah dipelintir untuk kepentingan ide al-Ghazali. Artinya, bisa terjadi bahwa apa yang diuraikan bukan maksud al-Qur`an yang sebenarnya melainkan hanya gagasan pribadi al-Ghazali sendiri yang dibalut ayat al-Qur`an.
C. Hasil Yang diperoleh.
Diantara temuan baru yang dihasilkan dari aplikasi metode Bint al-Syathi,
1. Lafat-lafat yang biasanya dianggap sinonim oleh ahli bahasa, ternyata tidak pernah ada. Setiap kata yang dipakai al-Qur`an mempunyai maknanya sendiri yang spesifik dan tidak bisa diganti oleh lafat lain yang dianggap sinonim. Contoh, kata halafa dan aqsama (bersumpah). Ditemukan bahwa kata halafa di pakai untuk sumpah palsu yang selalu dilanggar, aqsama untuk sumpah sejati yang tidak pernah ada niat untuk khianat.
2. Dengan aturan bahwa ayat-ayat yang setema disusun sesuai kronologi pewahyuan, bisa diketahui secara lebih menyakinkan tentang proses penetapan hukum dan arah tujuannya (maqâshid al-tasyri`). Ini, antara lain, terlihat pada proses dan kronologi pelarangan peminuman keras.
3. Dalam kaitannya dengan pemahaman teologis, bahwa kehendak yang diakui adalah yang berupa tindakan, bukan sekedar abstraksi intelektual atau suatu sifat, dan kehendak ini tidak bisa di paksakan. Ini didasarkan atas studi bahwa kata arada (berkehendak) muncul 140 kali; 50 dinisbatkan pada Tuhan, 90 kepada makhluk. Kata ini tidak pernah muncul dalam bentuk kata kerja abstrak irâdah, tetapi dalam bentuk masa lalu (mâdlî) dan kata kerja sekarang serta masa depan (mudlâri`). Kata ini juga tidak muncul dalam bentuk imperatif dan derivatif.
D. Penutup
Penafsiran al-Qur`an yang ditawarkan Bint al-Syathi merupakan terobosan baru bagi upaya pemahaman al-Qur`an. Dibanding metode-metode yang lain, metode Bint al-Syathi mempunyai beberapa kelebihan;
1. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya pertentangan diantara ayat-ayat al-Qur`an.
2. Hasilnya lebih kontekstual karena ia berangkat dan bertujuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat.
3. Merupakan satu cara terbaik dalam memahami al-Qur`an, karena hasilnya lebih jelas, konprehensip dan utuh.
Selanjutnya, dibanding metode tematik yang dipakai tokoh lain, yakni Izutsu, al-Farmawi, Rahman, Shahrr dan al-Ghazali, metode yang ditawarkan Bint al-Syathi mempunyai kelebihan;
1. Secara kronologi, metode ini lahir lebih dahulu dibanding metode yang di pakai dan dikembangkan lima tokoh lainnya. Hanya sayang, metode ini kurang dikenal dan justru --sebagaimana diklaim Quraish Shihab-- al-Farmawi yang dianggap sebagai pencetus metode tematik, meski apa yang disampaikan al-Farmawi sesungguhnya tidak berbeda dengan metode Bint al-Syathi. Ada faktor lain atau bias gender ?
2. Dari sisi metodologis, metode Bint al-Syathi lebih lengkap, lebih utuh dan relatif lebih menjamin al-Qur`an akan mampu berbicara tentang dirinya sendiri. Sebab, ayat-ayat yang setema disusun sesuai dengan kronologi turunnya dan dianalisa sisi bahasanya (semantik) sebelum di tarik kesimpulan atau dicari maksud yang dikehendaki. Sementara dalam metode tematik yang di tawarkan Rahman serta al-Ghazali, tidak ada uraian secara pasti bagaimana kita mampu menjamin bahwa apa yang disimpulkan adalah benar-benar maksud atau perkataan al-Qur`an sendiri, sedang dalam metode Izutsu dan Syahrur, yang terjadi hanya analisa semantik. Bahkan, secara agak berlebihan bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan Izutsu dan Syahrur adalah catatan kaki bagi Bint al-Syathi.
Namun, itu bukan berarti tidak ada kritik atau kelemahan pada metode dan penafsiran Bint al-Syathi;
1. Pada langkah ketiga, jika pemahaman lafat al-Qur`an harus juga dikaji lewat pemahaman bahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya --seperti dikatakan Boullata-- tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur`an, maka itu berarti membuka dan menggiring masuknya unsur-unsur asing kedalam pemahaman al-Qur`an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri. Bint al-Syathi sendiri mengakui kelemahan ini. Dalam konteks yang lebih luas, kritik ini juga berlaku pada al-Farmawi dan Izutzu, apalagi Rahman dan al-Ghazali.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Von Denfer, `Ulum al-Qur`an, (London, United Kingdom, 1983)
Bint al-Syathi, Al-Qur`an wa al-Tafsîr al-`Ashri, (Kairo, Dar al-Ma`arif, 1970)
Bint al-Syathi, Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`an al-Karîm, Vol. II, (Kairo, Dar al-Ma`arif, 1969)
Bint al-Syathi, Maqâl fi al-Insân Dirâsah Qur`aniyah, (Kairo, Dar al-Ma`arif, 1969)
Bint al-Syathi, Tafsir Bint al-Syati, terj. Muzakir, (Bandung, Mizan, 1996)
Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsîr al-Maudlûi, (Kairo, al-`Arabiyah, 1977)
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an, (Bandung, Pustaka, 1983).
Ghazali, Nahw Tafsîr Maudlûi Lisuwar al-Qur`an al-Karîm, (Kairo, Dar al-Ma`arif, 1996)
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur`an, (Bandung, Mizan, 1990)
Muhammad al-Baqi, Tafsir al-Qur`an al-Karîm, karya Mahmud Syaltut, (Kairo, Dar al-Qalam, tt),
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung, Mizan, 1997)
Razi, Al-Tafsîr al-Kabîr, XXXI, (Beirut, Dar al-Kutub, 1976)
Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint al-Shathi`’s Method of Interpreting the Qur`an, (Kanada, Tesis McGill, 1998)
Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, VI, (Beirut, Dar al-Kutub, 1990)
Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’ân Qirâ’ah Mu`âshirah, (Damaskus, 1992)
Thabari, Jâmi` al-Bayân min al-Tafsîr al-Qur`an, XII, (Beirut, Dar al-Ma`rifat, 1972)
Toshihiko Izutzu, Etika Beragama Dalam Qur`an, (Jakarta, Firdaus, 1993).
Dalam edisi lengkap artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal SIINTESIS, LKQS UIN Malang, Vo. 1/ No. 1, Juni 2007. Untuk mengakses artikel ini secara lengkap, klik disini.
1 komentar:
Thank you for visiting my blog, I hope that can stay in touch. I see that you have a Google advertising, interested in how the advertisements placed under the post. I tried to but I do not know how, and if you can explain to me I would be grateful to you. Goodbye and thanks
Posting Komentar