Rabu, Juni 24, 2009

Thought Analysis of Nasr Hamid Abu Zayd

Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid
Oleh: A Khudori Soleh
Gerakan pembaharuan dalam pemikiran Islam muncul seiring dengan semakin kuatnya kontak budaya antara Islam dan Barat. Gerakan itu muncul sebagai respon kreatif terhadap sistem kehidupan yang semakin mengglobal, kosmopolit dan modern. Gaya kehidupan pragmatis, rasional dan sebagainya memerlukan jawaban tersendiri yang tidak bisa hanya di dasarkan pada pola pikir klasik semata. Perlu ada ide-ide baru. Jargon “kebangkitan Islam” mengandaikan pembaharuan di bidang pemikiran keagamaan tersebut agar sesuai dengan kebutuhan zaman; mampu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar yang mengusik manusia muslim dalam realitasnya sendiri dan realitas lain yang ada disekitarnya.

Kebutuhan tersebut tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dunia modern tak lagi terdiri atas pulau-pulau atau gugusan kawasan yang terpisah-terpisah, tetapi telah menjadi kampung kecil akibat perkembangan sarana komunikasi dan transformasi pengetahuan. Mungkinkah pembaharuan keagamaan berlangsung tanpa kritisisme yang membebaskan diri dari model seremoni tradisional yang hanya mengulang, meringkas dan merangkum pikiran lama, sehingga pikiran itu kehilangan elan vitalnya dan nyaris menjadi pengetahuan beku?
Kesadaran ingin membebaskan diri dari model seremoni tradisional itulah yang mengantarkan Nasr Hamid Abu Zaid muncul kepermukaan belantika pemikiran di Mesir khususnya, dan dalam pemikiran dunia muslim pada umumnya. Ia muncul kepermukaan diskursus wacana teks secara mengejutkan karena tesis-tesisnya yang kontroversial dan keberaniannya merombak pemikiran Islam yang telah dianggap baku. Tulisan ini memaparkan metode pemikiran Abu Zaid (analisa wacana) dan beberapa idenya yang cukup kontroversial.

Analisa Wacana.
Abu Zaid memulai konsep ‘analisa wacana’-nya terhadap teks dengan sebuah pertanyaan: Bagaimana seharusnya memberlakukan warisan intelektual (tradisi)?, yang ia namai dengan ‘pertemanan kritis’ (al-ta`am al-naqd) Menurutnya, cara pandang dan model hubungan yang tepat dengan warisan Islam klasik akan memberikan landasan vital dan keterbukaan dunia intelektual Islam dalam berinteraksi dengan buday-budaya lain. Bagaimana mungkin tradisi Islam yang mempunyai ”daya kritis” harus di perlakukan sebagai benda mati yang” antik” ?
Abu Zaid sangat kecewa dengan perkembangan pemikiran Islam saat ini yang dianggapnya hanya berjalan ditempat. Para cendikiawan muslim lebih banyak sekedar meringkas dan mengulang warisan intelektual salaf. Dalam kajian ilmu-ilmu Alqur’an (`ulum al-Qur’an), misalnya, mereka hanya meringkas kitab al-Itqan fi `ulum l-Qur’an karya al-Syuyuti (w. 910M) dan al-Burhan fi `Ulum l-Qur’an karya al-Zarkasyi (w. 794) sementara dalam `Ulum l-Hadits, menyadur kitab Ibn al-Shalah (w. 643). Sama sekali tidak ada pengembangan keilmuan tersendiri.
Kemandekan kemajuan pemikiran tersebut, menurutnya, disebabkan adanya hegemoni teks yang secara tidak sadar telah diterima dan akhirnya membelenggu kelompok yang mengatas-namakan dirinya sebagai penjaga tradisi intelektual Islam. Di sana sebuah teks yang mestinya hanya mempunyai kuasa epistemologis telah diadopsi, diubah dan diselipi kerangka idiologis, sehingga sebuah teks seakan-akan menguasai wacana pemikiran manusia. Inilah yang kemudian menimbulkan tidak adanya dinamika ilmu yang lebih kreatif dalam Islam karena kebenaran sudah ada dalam teks, dimana si pembaca hanya berhak untuk menjelaskan isinya belaka tanpa dibarengi tinjauan ulang secara kritis.
Disamping itu, ketidakmajuan pemikiran Islam kontemporer juga disebabkan adanya kelemahan terhadap penafsiran klasik. Kelemahan itu tertumpu pada pola yang didahului oleh “paradigma” yang pada tahap tertentu telah menjadi sebuah hegemoni teks sehingga yang muncul tidak lebih dari sebuah kumpulan ensiklopedi ilmu si penafsir yang dibungkus Alqur’an. Teks tidak diperlakukan sebagaimana adanya teks yang netral dan tidak mengikat, tetapi telah diseret-seret demi kepentingan sesaat, kepentingan politis atau demi mempertahankan idiologi si pembaca. Persoalan ini, menurut Abu Zaid, sebenarnya telah ditegaskan Imam `Ali ibn Abi Thalib dalam peristiwa tahkim, ketika ia dituntut Muawiyah untuk berdamai dengan mengangkat Alqur’an. Imam Ali berkata “Alqur’an itu ada dalam mushaf, ia tidak berbicara, yang berbicara atas nama Alqur’an adalah orang-orangnya”.
Sikap kritis Abu Zaid di atas, lebih didasarkan atas semangatnya yang besar untuk bisa membaca kembali --dan membuktikan bahwa-- warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks-teks keagamaan” yang tidak lepas dari wacana tertentu yang bersifat “ideologis”. Menurutnya, kajian epistimologis tidak hanya berhenti pada terpahaminya makna literal dari teks, namun harus juga mampu melangkah keluar untuk menguak signifikansi sosial-ekonomi-politiknya, sehingga bisa tergambar jelas ‘idiologi’ yang melatarbelakangi: yakni pandangan yang memberikan norma-norma benar-salah, pahala-siksa, boleh-dilarang, dalam pengertiannya yang sosiologis. Sedemikian, sehingga ini akan berguna untuk menguakkan “jarak epistemologis” antara “pemahaman” dan ”keyakinan”, karena dalam kehidupan beragama yang telah dianggap ”mapan” dan “sakral” --disadari atau tidak-- selalu terjadi percampuran misterius antara ”keyakinan” dan “pemahaman”.
Untuk itulah, Abu Zaid kemudian menawarkan metode “kritik wacana keagamaan” (Naqd al-Khitab al-Dini) dengan metode “analisa wacana“ (Manhaj Tahlil al-Khithab), suatu jenis varian dari dinamika teori “teks” dalam semiotika yang sering disebut dengan “kritik wacana keagamaan” (Naqd al-Khitab al-Dini) yang terdiri atas enam paradigma dasar untuk membongkar dan menyingkap mekanisme struktural (`aliyat al-ta’shil) yang selama ini membatasi metodologi pembacaan kritis-dekonstruktif.
Pertama, bahwa semua bidang ilmu pengetahuan bukanlah bidang yang terpisah dari bidang-bidang lain dalam konteks kebudayaan tertentu. Bidang ilmu nahwu dan ilmu-ilmu bahasa, umpamanya, memiliki kaitan dengan bidang ilmu lain dalam peradaban Arab-Islam. Sehingga paradigma ini pada saatnya memungkinkan untuk menyatukan Al-Syafi`i, Al-Asy`ari, Al-Ghazali dalam satu konteks epistemologi, meskipun bidang-bidang yang di dalamnya memiliki peran yang berbeda.
Kedua, bahwa aktivitas intelektual apapun bukanlah terpisah dari watak problematika sosial (ekonomi-politik-intelektual) yang menyibukkan manusia sebagai makhluk sosial, sehingga dalam mengkaji Imam Al-Syafi’i perlu dilihat wacana Syafi’i secara implisit berdasarkan fakta-fakta dengan mempertimbangkan akar sosialnya. Sehingga bisa difahami mengapa Imam Syafi’i membela identitas “ke-Araban” Alqur’an dan memperjuangkan legalitas al-Sunnah.
Ketiga, bahwa sebuah metode berpikir mendapat atribut “benar” atau “tidak benar” dari sudut pandangan dunia yang berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Pandangan dunia Muktazilah akan berbeda dengan pandangan al-Ash’ari atau Syi’ah misalnya. Jadi, sebuah “pandangan dunia” ketika dimasukkan ke dalam analisa pemikiran, maka klaim benar- salah bukan persoalan baku tapi menjadi masalah yang relatif, atau historis dalam pengertian soiologis. Inilah yang akan memungkinkan kita berbicara mengenai ideologi-ideologi yang beragam dalam sistem pemikiran Islam.
Keempat, bahwa setiap perbedaan sosiologis (ekonomi, politik, intelektual) diantara berbagai kelompok dalam sejarah kerajaan Islam telah terungkap lewat bahasa ideologis keagamaan. Interpretasi mengatasnamakan kelompok akan memperlakukan sejarah pemikiran Islam sebagai pertarungan “kebenaran”, sehingga lebih merupakan tindakan pemalsuan ideologis sekaligus terhadap sejarah dan pemikiran. Sebab, sejarah pemikiran itu sendiri tak lain hanyalah ungkapan yang sempurna mengenai sejarah sosial dalam pengertiannya yang dalam. Karena itu, hegemoni suatu trend pemikiran terhadap trend-trend pemikiran lain, tidak berarti trend tersebut menjadi pemilik dan penguasa “kebenaran”. Muktazilah umpamanya pernah menguasai gerakan pemikiran di bawah kekuasaan khalifah al-Makmun, kemudian terjadi revolusi pemikiran pada masa al-Mutawakkil dengan munculnya “Ahl al-Sunnah wa al-jama`ah”.
Kelima, bahwa hegemoni sebuah trend pemikiran, dalam rentang waktu yang panjang, tidak berarti bahwa trend-trend lainnya adalah trend yang “sesat” dan “kafir”. Hegemoni biasanya terjadi karena mekanisme politik kekuasaan, sebuah mekanisme yang tidak mempunyai hubungan dengan konsep ”kebenaran” dalam pengertian filosofis. Untuk itu kebenaran-kebenaran harus di letakkan di tempat yang sama dengan kebenaran yang diajukan oleh trend-trend yang berkuasa. Disinilah metode “analisa wacana” berinteraksi dengan sejarah pemikiran.
Keenam, bahwa yang kokoh dan mapan seringkali mengaitkan diri kepada akar-akar tradisi, warisan intelektual. Namun, seringkali kaitan itu sangat samar, sehingga memerlukan mekanisme analisa khusus untuk “membongkar” dan mengembalikan pemikiran tersebut kepada dasarnya dan menjelaskan sumber ideologisnya. Ketika landasan ideologis terkuak, sirnalah atribut-atribut “kebenaran-kebenaran yang mapan” atau ”keniscayaan agama”.
Selanjutnya, untuk mendukung keberhasilan metode yang ditawarkan, Abu Zaid menggunakan dua pendekatan sekaligus, semiotik dan hermeneutik. Pendekatan semiotik berusaha memperlakukan teks keagamaan sebagai teks yang bermakna luas, mencakup seluruh sistem tanda yang dapat memproduksi makna. Dalam cakupan ini, konsep teks tidak hanya terbatas pada sistem tanda bahasa yang dapat memproduksi makna umum tetapi juga meliputi seluruh hubungan yang bersifat non-lingustik; sementara dengan hermeneutik berarti memahami teks keagamaan tidak bisa lepas dari kontek sejarah di mana teks itu muncul, kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks dibuat dan seterusnya yang pasti tidak lepas dari ruang lingkup yang mengitarinya. Teks adalah produk kebudayaan yang mengitarinya sehingga ia harus dipahami secara kritik historis.
Dalam hal ini, Abu Zaid banyak memakai teori hermeneutika Gadamer sebagai pendekatan dalam mengkaji teks-teks Alqur’an. Pemakaian teori hermeneutika Gadamer oleh Zaid ini kelihatan ketika dikatakan bahwa saat interpretator berhadapan dengan teks, maka aktivitas penempatan diri sebagai interpretator (I) yang berhadapan dengan teks (thou) tersebut merupakan proses distinguising dan proses tersebut berjalan secara resiprokal, sebagai proses prasangka (prejudice). Prasangka tersebut selalu hidup bersama tradisi yang membentuk horizon interpreter secara partikular dan berkelanjutan, sehingga selalu dalam proses ini sesuatu yang lama tradisi (teks/thou) yang mengandung past time dan sesuatu yang baru (interpreter/I) present time selalu terus menerus bersama dan membuat suatu nilai yang hidup (produktif bukan reproduktif). Nilai hidup yang di maksud adalah fusi horison untuk future. Ketika reader I yang berada pada situasi kekinian (present time) yang melebur dengan teks (thou) dalam effective-history suatu momen produktif, maka bersama dengan horison obyek akan menjadi fusi horison ke arah masa depan. Struktur triadik dari interpretasi itu adalah: tanda (sign), pesan (message) atau teks, penafsir, dan penyampai pada audiens.
Proses hermeneutik dialektis dengan cara penelusuran intelektual ke masa lalu untuk memasuki ruang-ruang historis, dan kembali kemasa kini untuk mendapatkan makna baru (produktif). Tidak hanya berhenti sampai disitu. Bahkan, Abu Zaid tidak puas dengan hanya mengungkap teks-teks dalam konteks sejarah peradaban dan pemikiran, ia berusaha sampai kepada signifikansi kontemporer (al-Maghza al-Mu’ashir) teks-teks tradisi di berbagai ruang lingkup ilmu pengetahuan, meskipun disadari bahwa usaha kearah sana bukan sesuatu yang mudah, diperlukan tinjauan secara utuh terhadap sejarah budaya ideologi yang itu berarti dibutuhkan kecanggihan ilmu pengetahuan dan sains modern.
Dari kerangka inilah, Abu Zaid akhirnya bertemu dengan Al-Syafi’i secara kritis. Ia mengungkapkan jaring-jaring epistemologis yang dilontarkan Syafi’i di dalam ilmu fiqh. Adanya pembakuan model pemaknaan Alqur’an sebagai teks berbahasa Arab, teorisasi sunnah sebagai sumber tashri’ yang otoritatif, perluasan arti sunnah hingga mencakup Ijma’ dan kemudian ‘membonsai’ Qiyas agar aktivitasnya tidak keluar dari wilayah nash dan seterusnya yang mengakibatkan percampuran yang ruwet diantara teks-teks keagamaan. Tak bisa dipilah lagi mana teks yang primer dan mana yang sekunder, sesuatu yang menurut Abu Zaid menunjukkan bahwa “watak moderat” Imam Syafi’i sebetulnya “semu”, karena alur argumentasinya yang eklektik, dan dipaksakan untuk mempertahankan “Quraisysentrisme” di dalam sejarah Islam.

Kontraversial.
Banyak gagasan Abu Zaid yang menimbulkan kontraversial. Salah satunya adalah tesisnya tentang teks Alqur’an. Dengan pendekatan semiotika dan hermeneutika, Abu Zaid mengatakan bahwa teks keagamaan tidak terkecuali Alqur’an adalah produk budaya atau al-Muntaj al-Thaqafi. Produk kebudayaan dalam arti bahwa bahasa yang tertuang dalam teks Alqur’an merupakan simbol atau kode manusia (human code) dalam mengartikulasikan kesadaran dan perasaannya. Dengan demikian, dalam perspektif ini Alqur’an adalah kode manusia yang di gunakan Tuhan untuk menurunkan ajarannya, agar dapat dipahami manusia. Alqur’an adalah teks bahasa Arab yang muncul dalam konteks sejarah melalui dialog intensif dalam setiap peristiwa sejarahnya.
Bukti bahwa Alqur’an adalah teks yang mensejarah diindikasikan oleh karekteristik Alqur’an itu sendiri. Pertama, al-qur’an memuat pesan-pesan ajaran Allah untuk manusia yang diwujudkan dalam sebuah teks berbahasa Arab yang diturunkan (wahy) kepada utusannya, Muhammad saw, dengan cara diwahyukan, dari balik tabir dan diutus satu utusan. Di sini Abu Zaid membuat konfigurasi tentang proses turunnya wahyu dari Allah ke malaikat, kemudian dari malaikat kepada Rasul dengan cara saling bertemu, dengan menggunakan alat komunikasi berupa Bahasa Arab.
Kedua, al-qur’an mempunyai struktur pembagian ayat perayat dan bab perbab, suatu pembagian yang biasa dipakai dalam teks-teks buatan manusia. Selain itu Alqur’an memiliki keterkaitan antar ayat yang satu dengan ayat lainnya (munasabah bain ayat wa shuwar). Ketiga, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang jelas (muhkamat) yang berfungsi sebagai penyangga ayat yang tidak jelas (mutasyabihat). Bila ditemukan ayat yang tidak jelas diberikan kesempatan untuk melakukan takwil sebagaimana yang banyak dilakukan oleh Muktazilah; suatu bahagian yang tidak terpisahkan dalam rangka untuk memahami teks. Karena itu, seandainya pendapat keazalian Alqur’an diterima, yakni bahwa Alqur’an bersifat supernatural dan berdimensi ketuhanan, maka manusia akan merasa sulit untuk mendekatinya. Pendekatan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuatan supernatural; suatu syarat yang jarang dimiliki oleh semua orang sehingga berakibat tertutupnya teks.
Idenya yang lain yang tidak kalah kontraversialnya dengan konsep al-qur’an adalah pandangannya tentang ushul fiqh Imam Syafi`i. Dalam konsep ushul fiqh Iman Syafi`i dikatakan bahwa sumber hukum ada empat: Alqur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Imam Syafi`i dan para pengikutnya sangat getol mempertahankan konsep ini, tapi mereka tidak pernah bersikap kritis mempertanyakan kenapa Imam Syafi`i berpendapat demikian, terutama kenapa Imam Syafi`i menempatkan Sunnah sebagai sumber hukum yang independen setelah Alqur’an. Padahal, Imam-Imam lain selain Imam Syafi`i banyak yang mengatakan bahwa Alqur’an saja sudah cukup untuk dijadikan sumber otoritatif, disamping kenyataan bahwa apa yang disampaikan Sunnah sebenarnya tidak lepas dari apa yang ada dalam Alqur’an sendiri. Artinya, Sunnah hanya berfungsi sebegai penjelas dan penafsir Alqur’an, sehingga tidak pantas di dudukan sebagai sumber hukum otoritatif yang mandiri.
Menurut Abu Zaid, teks agama sesungguhnya hanya terdiri atas dua bentuk, “teks primer” dan “teks sekunder”. Teks primer dalam konteks warisan intelektual Islam adalah al-Qur’an al-Karim, yakni “teks” pertama yang merepresentasikann peristiwa dalam suatu rangkaian teks yang muncul dan menumpuk di sekitarnya. Teks sekunder adalah teks-teks yang berfungsi sebagai penjelas bagi teks primer, yang dalam hal ini adalah Al-Sunnah (al-Sunnah al-Nabawiyah al-Syarifah). Dengan konsep ini, maka ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh generasi-generasi berikutnya dikalangan ulama fuqaha’, ahli tafsir dan seterusnya, bisa dianggap sebagai teks-teks sekunder lain --dari segi ijtihad-ijtihad tersebut merupakan uraian-uraian dan komentar-komentar terhadap teks primer pertama, atau terhadap teks sekunder pertama (Sunnah). Atribut yang diberikan terhadap Sunnah sebagai teks sekunder ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi nilainya, sebab istilah tersebut hanya deskriptif, tidak memuat putusan nilai apapun. Atas dasar ini, dimungkinkan berbicara mengenai “teks-teks keagamaan”, dengan hanya konteks saja yang menentukan maksud dari teks-teks keagamaan tersebut, apakah ia teks dasar, atau teks sekunder penjelas.

Penutup
Dengan metode “analisa wacana” yang didukung pendekatan semiotika dan hermeneutika, Abu Zaid menawarkan bahwa dalam membaca teks, memahami dan meinterpretasikannya, sebuah teks hendaknya tidak lagi dianggap sebagai teks an sich yang lepas dari historis, atau sebuah teks yang mempunyai otoritas kaku, tapi harus dilihat konteksnya, yakni apa yang dibalik teks itu sendiri. Bahkan diharapkan dicapai signifikansi teks sehingga bisa menjadi mitra dialog dalam merumuskan peradaban dan kebudayaan di masa depan.
Abu Zaid menginginkan nuansa ilmu pengetahuan yang berbeda dengan warisan intelektual klasik, paling tidak perlu adanya perangkat ilmu modern yang dipakai untuk memahami warisan klasik sehingga terlepas dari “hegemoni teks” yang mengukung interpretasi selama ini dan merombak pentahbisan hegemoni teks yang mematikan kreatifitas umat, sehingga sebuah teks bisa ditempatkan pada konteks historisnya untuk kemudian dicari pengertian obyektifnya.
Apa yang ditawarkan Abu Zaid, sebenarnya, bukan sesuatu yang sepenuhnya baru. Sebagai perbandingan, Muhammad Arkoun, pernah menawarkan pemikiran dekonstruksi dengan metode semiotika, juga Fazlur Rahman menawarkan obyektivitas teks dengan metode penafsiran yang diambil dari teori hermeneutiknya Gadamer dan Betty. Dalam hal ini, Abu Zaid sendiri, disamping mempergunakan teori Betti dan Gadamer dalam hermeneutik, ia juga memakai teori Michel Foucault terutama dalam karyanya al-Nashsh wa al-Sulthah al-Haqaiq al-Fikr al-Dini, sehingga ia dikritik. Muhammad `Imarah dalam bukunya al-Tafsir al-Markis Li al-Islam bahwa Abu Zaid ingin merombak sesuatu yang telah baku dalam pemahaman Islam terutama dalam masalah Aqidah dan Syariah.
Namun demikian, dalam buku yang sama, `Imarah juga menyatakan bahwa apa yang disampaikan Abu Zaid adalah sebuah sebuah konsep pemikiran dari kapasitasnya sebagai seorang akademisi, sehingga tidak bisa begitu saja dikafirkan. Persoalannya, jika sebuah teks harus selalu dihubungkan dengan konteks, bagaimana dengan teks --al-Qur’an atau Sunnah-- yang tidak mempunyai hubungan lansung dengan konteks? Bagaimana teks yang tidak memiliki Asbab al-Nuzul dan Asbab al-Wurud?. Disamping itu, keharusan membaca teks dengan konteks akan bisa menggiring pada relativisme hukum, karena perbedaan konteks yang satu dengan yang lain dan dari satu waktu dengan waktu yang lain. Bagaimana pertanggung jawaban persoalan yang belum jelas ini?

Tulisan-tulisan yang lain, klik disini

6 komentar:

Carlos Jumat, Juni 26, 2009  

Hi,thank you for the visit.

Ivan Kavalera Sabtu, Juni 27, 2009  

Artikel-artikel hebat. Islam is my ideologi. ditunggu comment baliknya di bawah artikel saya.

Lembaga pelatihan Sabtu, Juni 27, 2009  

Terimakasih atas kunjungannya...
Blog anda bagus sekali terutama dalam Menu Navbar ... saya ingin memilikinya... Promosikan blog anda di Blog saya ...free isi formulir.

Bahauddin Amyasi Minggu, Juni 28, 2009  

Menarik sekali tulisannya, Pak.

Dalam konteks mekanisme interpretasi, saya sepakat dengan metode analisis Abu Zaid di atas. Eksistensi teks, sebagaimana yang Bapak ungkapkan di bagian Penutup, seharusnya tidak selalu dibaca dalam kerangka normatif yang lepas dari sejarah. Ini kemudian yang barangkali menguatkan tesis Roland Barthes, bahwa ketika teks dilempar ke ruang publik, ia tyelah hidup dengan nafasnya sendiri.

Salam akrab, Pak...

Lembaga Pelatihan Senin, Juni 29, 2009  

Tips untuk membuat Meta Tag dapat dilihat pada link ini :
http://freewaredanopensource.blogspot.com/2009/06/tips-membuat-meta-tag.html

Sedangkan apabila anda ingin melakukan analisa terhadap Meta Tag dapat dilakukan di link ini :
http://www.seocentro.com/tools/search-engines/metatag-analyzer.html

Trims atas pehatiannya.

MEDIA INFORMASI LFC Kamis, Agustus 06, 2009  

as...bapak
kita anak UIN juga tapi berdomisili di pondok luhur, kita jadikan LINK yo pak...
memang analisa beliau akn membangkit analisa yang sebelmnya hanya berjalan di tempat, tapi ada beberapa hal yang perlu di ingat ketika kita terus mengkritisi sasaran dan yang di kritisi atau di analisa itu melenceng, maka akan berdampak negatif dan bisa mereka akan berpaling...

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP