Sabtu, Juni 20, 2009

The Psychology Concept of al-Farabi

Konsep Psikologi al-Farabi
Oleh: A Khudori Soleh
Sigmund Freud (1856-1936), tokoh psikologi Barat klasik, menyatakan bahwa pribadi atau jiwa manusia tersusun atas tiga komponen: id, ego dan superego. Id adalah kemauan-kemauan alamiah yang diwariskan sejak lahir, ego adalah naluri yang muncul karena adanya kebutuhan untuk melakukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan realitas objektif, sedang superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai luar yang ditangkap oleh jiwa. Dalam wacana psikologi Islam, konsep Freud tersebut biasanya dikaitkan dengan konsep nafs, aql dan qalb dalam sufisme. Nasf sejajar dengan id, aql dengan ego, sedang qalb dengan superego. Isi dan fungsi kedua konsep tersebut, sekilas, memang tampak cukup serasi. Akan tetapi, keduanya sesungguhnya sangat jauh berbeda. Dalam Islam, tiga eleman dasar manusia tersebut ada secara terpisah dan berdiri sendiri, sementara dalam Freud, ketiganya “menyatu” dan terwadahi dalam id. Di antara ketiganya, id adalah unsur pribadi yang paling dominan, rahim tempat ego dan superego berkembang.

Al-Farabi (870-950), salah seorang tokoh filsafat Islam, mempunyai konsep tersendiri tentang jiwa. Ia tidak sekedar berbicara tentang nafs, aql (rasio) dan qalb, tetapi juga potensi-potensi yang lain, bahkan tentang intelek (al-aql al-kullî), sebuah fakultas dalam diri manusia yang lebih dari sekedar rasio (al-aql al-juz’I). Tulisan ini akan menguraikan pandangan al-Farabi tentang masalah tersebut, tidak secara menyeluruh tetapi hanya difokuskan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan proses pencapaian keilmuan.

Riwayat Hidup
Al-Farabi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, propinsi Transoxiana, Turkestan, tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang pejabat tinggi militer dikalangan dinas ketentaraan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi otonom dalam kekhalifahan Abbasiyah, sehingga al-Farabi dipastikan termasuk keluarga bangsawan yang mempunyai kemudahan fasilitas.
Pendidikan dasar dan masa remaja al-Farabi dijalani di Farab, sebuah kota yang sebagian besar penduduknya mengikuti fiqh madzhab Syafi’i. Di sini ia mempelajari tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqh, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmatika dasar di samping al-Qur’an. Berkat kecerdasan yang digambarkan sebagai “kecerdasan istimewa dan bakat besar”, al-Farabi berhasil menguasai hampir setiap subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari. Setelah itu ia pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Menurut Ibn Abu Usaibi`ah, di Bukhara ini, al-Farabi sempat menjadi hakim (qâdli) setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Akan tetapi, jabatan tersebut segera ditinggalkan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-imu filosofis; sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik sebelumnya lewat studi teologi (kalâm) dan ushûl al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi), dan segera ia tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu tersebut.
Sekitar tahun 922 M, al-Farabi pindah ke Baghdad untuk lebih mendalami filsafat. Di sini ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan --terutama-- Ibn Hailan (w. 932 M), seorang tokoh filsafat aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantin, al-Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat. Ia menjauhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sektarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini. Satu-satunya kontak dengan tokoh istana adalah dengan perdana menteri yang melindungi pemikiran filsafat, seperti Ibn al-Furat, `Ali ibn `Isa dan Ibn Muqlah.
Selanjutnya, ketika situasi politik di Baghdad memburuk, pada tahun 942 M, al-Farabi pindah ke Damaskus yang saat itu dikuasai dinasti Ikhsidiyah. Namun, tiga tahun kemudian ia pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik antara dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah di mana Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, al-Farabi kembali ke Damaskus, tahun 949 M, kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif al-Daulah, putra mahkota dinasti Hamdaniyah untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melibatkan penyair-penyair terkenal seperti al-Mutanabbi (w. 965 M), Abu Firas (w. 968 M), Abu al-Faraj (w. 968 M) dan ahli tata bahasa Ibn Khalawaih (w. 980 M), al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis dan bakat musiknya. Ia sangat dihormati oleh pelindungnya dan menghabiskan sisa umurnya sebagai penasehat negara.
Al-Farabi meninggal di Damaskus, bulan Rajab 339 H/ Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil (al-bâb al-shaghîr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman al-Farabi, seorang sajana pertama sekaligus paling terkenal dari “lingkaran Saif al-Daulah”.
Al-Farabi meninggalkan banyak karya tulis. Menurut laporan para bibliografer tradisional, seperti disampaikan Osman Bakar, al-Farabi menulis sekitar 100 karya ilmiah, besar dan kecil, yang mencakup berbagai tema: linguistik, logika, fisika, metafisika, politik, astronomi, musik dan beberapa tulisan tentang sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu. Sementara itu, al-Qifthi (w. 1248 M), seorang penulis bibliografi tradisional yang sekaligus wazir Sultan Aleppo, mendokumentasikan 71 buah, meliputi berbagai disiplin keilmuan. Penulis sendiri, berdasarkan atas berbagai referensi, setidaknya mencatat 119 buah karya al-Farabi. Seluruh karya tersebut tampaknya ditulis dalam bahasa Arab dan kebanyakan di antaranya ditulis di Baghdad, Damaskus dan Khurasan. Sayangnya, sebagian dari karya-karya berharga itu telah hilang, sementara yang terselamatkan belum banyak yang dikaji secara serius, masih dalam bentuk naskah-naskah, sehingga tidak mudah untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi.

Daya-daya Manusia
Al-Farabi melukiskan manusia sebagai binatang rasional (al-hayawân al-nâthiq) yang lebih unggul dibanding makhluk-makhluk lain. Manusia menikmati dominasinya atas spesies-spesies lain karena mempunyai intelegensi atau kecerdasan (nuthq) dan kemauan (irâdah): keduanya merupakan fungsi dari daya-daya kemampuan yang ada dalam diri manusia. Dalam Kitâb Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (al-quwwat al-ghâdziyah) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (al-quwwah al-hâssah), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (al-quwwat al-nâthiqah) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (al-quwwah al-tarwi`iyyah), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.
Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) dan daya pikir (al-quwwah al-nâthiqah), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan. Menurut Osman Bakar, pembagian tiga macam indera tersebut sesuai dengan struktur tritunggal dunia ragawi, jiwa dan ruhani, dalam alam kosmos.

Indera Eksternal
Indera eksternal (al-hawâs al-zhâhirah) terdiri atas lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Indera ini berkaitan dengan objek-objek material. Dibanding indera-indera yang lain, kemampuan indera ini adalah yang paling lemah dan terbatas. Ia hanya mampu mencetak (tanthabi`) gambaran objek tanpa sedikitpun mampu menangkap gambar itu sendiri. Al-Farabi mengibaratkannya sebagai cermin yang hanya memantulkan bayangan objek tanpa sedikitpun dapat menangkap (idrâk) bayangannya apalagi menyimpannya. Indera eksternal lebih merupakan pintu masuk bagi objek-objek material ke dalam indera sesungguhnya dari manusia. Karena itu, al-Farabi, seperti juga al-Ghazali (w. 1111 M) dan Ibn Arabi (1240 M), menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah di antara indera-indera manusia.
Berdasarkan kenyataan tersebut, menurut al-Farabi, indera eksternal tidak bersifat otonom dan tidak dapat bekerja sendiri tetapi berada dalam kekuasaan “akal sehat” atau common senses (al-hâss al-musytarak), yaitu potensi atau daya (quwwat) yang menerima setiap kesan dari kelima indera eksternal. Akal sehat ini mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) menerima gambaran-gambaran data yang dicerap oleh indera eksternal, seolah-olah akal sehat berperan sebagai penadah bagi indera eksternal, (2) sebagai “perasa” (ihsâs) lebih lanjut bagi indera-indera eksternal, karena indera eksternal tidak mempunyai kemampuan yang sempurna untuk “menangkap” objek-objek material, (3) sebagai pengumpul, pembanding dan pembeda diantara objek-objek yang masuk. Misalnya, akal sehat harus memilah suatu warna dari warna lainnya, suara yang satu dari suara-suara yang lain. Ia juga harus membedakan antara warna dengan suara, antara suara dengan bebauan, antara warna hitam dengan putih, dan seterusnya.
Meski demikian, akal sehat tidak termasuk indera eksternal dan juga tidak termasuk indera internal yang akan dijelaskan di depan. Karena itu, akal sehat tidak ikut menyimpan data-data yang masuk dari indera eksternal. Fungsi menyimpan menjadi milik daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), salah satu dari lima macam indera internal. Al-Farabi menempatkan akal sehat pada posisi netral yang menduduki posisi diantara kedua jenis indera tersebut. Tokoh pertama yang memasukkan akal sehat (al-hâss al-musytarak) sebagai bagian dari indera internal adalah Ibn Sina.

Indera Internal
Indera internal (al-hawâs al-bâthinah) adalah bagian dari jiwa yang mempunyai kemampuan-kemampuan lain yang tidak dimiliki oleh indera eksternal. Al-Farabi menyebut adanya lima unsur indera internal: (1) daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), (2) daya estimasi (al-quwwah al-wahm), (3) daya memori (al-quwwah al-hâfizhah), (4) daya imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah), (5) daya imajinasi sensitif (al-quwwah al-mutakhayyilah).
Daya representasi adalah kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk suatu objek, meski objek-objek itu sendiri telah hilang dari jangkaun indera. Daya ini terletak pada otak bagian depan. Ia mempunyai kekuatan abstraksi yang lebih sempurna dibanding indera eksternal, sehingga daya representasi tidak memerlukan hadirnya materi untuk menghadirkan bentuk. Meski demikian, bentuk-bentuk dalam daya representasi tidak bebas dari aksiden-aksiden materialnya. Bentuk-bentuk tersebut ditangkap sekaligus dengan ikatan materialnya, seperti ruang, waktu, kualitas dan kuantitas.
Meski demikian, ada bentuk-bentuk lain yang tidak dapat ditangkap indera eksternal walaupun bentuk tersebut berkaitan dengan suatu objek inderawi, seperti soal baik dan buruk, senang dan benci, dari objek. Disinilah bagian dan fungsi wahm bekerja. Menurut al-Farabi, wilayah kerja wahm berkaitan dengan entitas-entitas di luar jangkauan penginderaan, seperti soal baik dan buruk. Wahm mengabstraksikan entitas-entitas non-material dari materi, sehingga tingkat abstraksinya dikatakan lebih sempurna dibanding abstraksi daya representasi. Untuk memperjelas daya wahm, al-Farabi memberi contoh kasus domba dengan serigala. Ketika domba melihat serigala, yang ditangkap sang domba bukan sekedar bentuk fisik serigala melainkan juga kebencian terhadapnya. Kebencian terhadap serigala, sesuatu yang sifatnya di luar jangkauan pancaindera, ditangkap melalui daya wahm domba.
Daya ingat (al-quwwah al-hâfizhah) adalah kemampuan untuk menyimpan entitas-entitas non-material yang ditangkap wahm. Hubungan daya ingat dengan entitas-entitas non-material yang ditangkap wahm adalah sama seperti hubungan daya representasi dengan bentuk-bentuk objek terindera. Dalam Risâlah fî Jawâb Masâil Suil `Anhâ, al-Farabi membedakan antara –daya-- ingat (al-hifzh) dengan pemahaman (al-fahm). Daya ingat berkaitan dengan kata-kata dan lebih bersifat partikular serta personal (asykhash), sedang pemahaman lebih mengarah pada makna-makna dan bersifat universal serta prinsipil (qawânîn). Karena itu, al-Farabi menganggap bahwa pemahaman lebih tinggi dibanding sekedar ingatan.
Daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) adalah kemampuan kreatif untuk menyusun atau menggabungkan citra-citra baru dengan citra-citra lain yang tersimpan dalam daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), melalui proses kombinasi (tarkîb) maupun proses pemilahan (tafshîl). Maksudnya, daya imajinatif menggabungkan citra-citra tertentu dengan citra-citra lainnya atau memilahkan sebagian citra ketika harus memilih. Ada dua model imajinasi dalam pandangan al-Farabi, (1) kemampuan imajinasi dengan memanfaatkan citra-citra yang telah tercipta lewat bantuan wahm; (2) imajinasi yang justru dimanfaatkan dan dimunculkan oleh daya wahm. Yang pertama ada pada manusia dan disebut imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah) sedang yang kedua pada binatang dan disebut imajinasi sensitif (al-quwwah al-mutakhayyilah). Meski demikian, dalam tulisan-tulisannya, al-Farabi menggunakan istilah imajinasi (mutakhayyilah) untuk menunjuk pada imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah) yang ada pada manusia.
Imajinasi adalah bagian yang terpenting di antara indera-indera internal yang disebutkan di atas. Al-Farabi menempatkannya pada posisi tengah yang menghubungan antara indera internal dan intelek. Dalam Mabâdi’ Arâ’ Ahl al-Madînah, al-Farabi bahkan menyebutkan secara tegas bahwa daya imajinasi merupakan salah satu sarana pencapaian pengetahuan, juga dalam proses penerimaan wahyu dalam kenabian seperti yang akan dijelaskan didepan.

Intelek (al-`aql al-kullî)
Intelek adalah kunci utama dalam pemikiran filsafat al-Farabi, termasuk yang berkaitan dengan keilmuan. Intelek ini mempunyai dua kemampuan: praktis (`amalî) dan teoritis (nazharî). Kemampuan teoritis digunakan untuk menangkap bentuk-bentuk objek intelektual (ma`qûlât), sedang kemampuan praktis dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa satu sama lainnya sehinga kita dapat menciptakan atau mengubahnya dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kemampuan yang disebutkan kedua ini biasanya terjadi pada masalah-masalah ketrampilan seperti pertukangan, pertanian atau pelayaran.
Istilah “intelek” sendiri, dalam bahasa Arab, disebut dengan akal (al-`aql). Namun, ia tidak sama dengan rasio yang juga terjemahan dari kata `aql. Al-Farabi memakai dua istilah dalam masalah ini: al-`aql al-juz’I yang diterjemahkan dengan rasio, dan al-`aql al-kullî yang diterjemahkan sebagai intelek. Intelek berkaitan dengan proses pemahaman intuitif untuk mencapai kebenaran-kebenaran transenden dan bekerja berdasarkan pancaran (faidl) dari alam “atas”, sehingga tidak mungkin salah. Pengetahuan yang dicapainya, karena itu, adalah benar dan pasti, dan tidak mungkin kebalikannya. Sementara itu, rasio berhubungan dengan pemikiran diskursif (fikr) dan bekerja berdasarkan data-data yang barasal dari indera-indera: eksternal maupun internal. Data jenis ini oleh al-Farabi tidak dianggap bebas dari kemungkinan salah dan meragukan. Boleh jadi data-data yang masuk adalah palsu atau salah karena kelemahan-kelemahan indera yang menangkapnya. Al-Farabi membandingkan antara intelek dengan rasio seperti suatu benda dengan bayangannya. Intelek ibarat matahari yang bersinar dalam diri manusia, sedang rasio adalah pantulan matahari tersebut yang berada di atas dataran pikiran manusia.
Selanjutnya, dalam Risâlah fî Ma`âni al-Aql (Risalah tentang Makna-Makna Intelek), al-Farabi menjelaskan istilah intelek dalam enam pengertian. Pertama, intelek yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang cerdas atau cerdik (perceptive). Dalam konteks yang lebih mudah, intelek ini dapat diistilahkan sebagai “kesepakatan umum”. Kedua, intelek seperti yang dimaksudkan oleh kaum teolog (ahl al-kalâm) ketika membenarkan atau menolak pendapat tertentu. Intelek yang dimaksud adalah sesuatu yang dipakai untuk mengukur “kemasuk-akalan”
Ketiga, intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb al-Burhân (Analytica Posterior) sebagai habitus (malakah). Intelek ini mengantarkan manusia untuk mengetahuai prinsip-prinsip pembuktian (demonstration) secara intuitif. Dalam Maqâlah fî Ma`ânî al-`Aql, al-Farabi menulis sebagai berikut:
Ia adalah potensi jiwa yang dengannya manusia bisa mencapai keyakinan lewat premis-premis yang benar dan pasti, bukan dari analogi atau penalaran. Ia adalah pemahaman secara a priori tanpa diketahui dari mana dan bagaimana. Potensi tersebut merupakan pemahaman awal yang sama sekali tanpa pemikiran dan angan-angan, sedang premis-premis itu sendiri merupakan pondasi ilmu-ilmu penalaran”.
Keempat, intelek yang diungkap Aristoteles dalam Kitâb al-Akhlâq (Nichomachean Ethic) sebagai “intelek praktis hasil pergumulan panjang manusia yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindari. Dalam klasifikasi diatas, intelek jenis ini masuk kategori daya pikir praktis. Aristoteles sendiri menyebutnya dengan istilah phronesis (kebijaksanaan praktis). Phronesis atau kebijaksanaan praktis adalah kemampuan bertindak berdasarkan pertimbangan baik buruk ketika menghadapi pilihan-pilihan. Orang yang mempunyai phronesis akan mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat. Kebijaksanaan praktis ini, menurut Aristoteles, tidak dapat diajarkan tetapi bisa di kembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan. Phronesis tumbuh dan berkembang dari pengalaman dan kebiasaan etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis, semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yang tepat: sama seperti orang yang semakin melatih jiwanya akan semakin peka perasaannya.
Kelima, intelek yang dibahas Aristoteles dalam Kitâb al-Nafs (De Anima), yang mencakup empat bagian.
1. Intelek potensial (al-`aql bi al-quwwah), adalah jiwa atau unsur yang punya kekuatan untuk mengabstraksi dan mencerap essensi-essensi wujud. Ia hampir seperti materi di mana wujud-wujud dapat dilukiskan diatasnya secara tepat, atau seperti lilin yang diatasnya dapat diukirkan sebuah tulisan. Ukiran atau lukisan tersebut tidak lain adalah pemahaman atau persepsi.
2. Intelek aktual (al-`aql bi al-fi`l), adalah intelek yang bertindak untuk mencerap essensi-essensi wujud yang ada dalam intelek potensial sekaligus tempat bersemayamnya bentuk-bentuk pemahaman atau persepsi hasil dari abstraksi tersebut. Menurut al-Farabi, intelek aktual memahami setiap pengetahuan dengan menerima bentuk-bentuknya yang berupa pengetahuan murni hasil abstraksi dari materi. Lebih jauh, intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Al-Farabi menulis,
Ketika objek-objek intelek (ma`qûlât) dalam intelek potensial telah berabstrasi menjadi bentuk-bentuk tersendiri yang bebas dari materi, maka ia berarti telah menjadi objek-objek intelek aktual dan intelek yang bertindak untuk mengabstraksikan objek-objek tersebut disebut intelek aktual. Pada tingkat ini, subjek dan objek pemikiran sudah tidak terpisah lagi. Keduanya adalah satu adanya, sehinga adalah inteleksi (proses pemahaman) sekaligus subjek dan objek pengetahuan itu sendiri……… dan pada saat itu, ia mempunyai status ontologis baru dalam totalitas wujud (al-maujûdât)".
3. Intelek perolehan (al-`aql al-mustafâd), merupakan proses lebih lanjut dari kerja intelek aktual. Menurut al-Farabi, ketika intelek potensial telah mengabstraksi menjadi bentuk-bentuk pengetahuan aktual yang mandiri bebas dari materi, maka –pada tahap kedua-- ia berpikir tentang dirinya sendiri. Kemampuan untuk berpikir inilah yang disebut “intelek perolehan”. Intelek ini lebih tinggi dibanding intelek aktual, karena objeknya adalah bentuk-bentuk murni yang bebas dari materi dan dilakukan tanpa bantuan imajinasi serta daya indera. Dengan demikian, intelek perolehan adalah “bentuk lebih lanjut” dari intelek aktual, yaitu ketika intelek aktual telah mampu memposisikan dirinya menjadi pengetahuan (self-integeble) dan dapat melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-intellevtive). Al-Farabi menulis,
ketika intelek aktual –pada tahap berikutnya-- berpikir tentang wujud dan kandungan dirinya sendiri, di mana ia berupa bentuk-bentuk pengetahuan murni (intellegibles) yang bebas dari materi, maka itulah yang disebut intelek perolehan (al-`aql al-mustafâd)”.
Menurut al-Farabi, intelek perolehan ini menandai puncak kemampuan intelektual manusia sekaligus merupakan garis pembatas antara alam material dan intelegensi. Ia adalah wujud spiritual murni yang tidak butuh raga bagi kehidupannya, juga tidak butuh kekuatan fisik untuk aktivitas berpikirnya. Intelek ini mirip dengan intelek aktif (al-`aql al-fa`âl). Perbedaan keduanya terletak pada kenyataan, (a) intelek aktif adalah mutlak intelek terpisah sekaligus merupakan gudang sepurna bentuk-bentuk pengetahuan, sedang intelek perolehan adalah wujud yang lahir dari “kerja” lebih lanjut dari intelek aktual; (b) kandungan intelek aktif senantiasa tidak pernah berhenti mengaktualkan diri sedang kandungan intelek perolehan hanya menunjukkan tahap perolehan aktualitas lewat intelek potensial.
4. Intelek aktif (al-`aql al-fa`âl), adalah intelek terpisah dan yang tertinggi dari semua intelegensi. Intelek ini merupakan perantara adi-kodrati (super mundane agency) yang memberdayakan intelek manusia agar dapat mengaktualkan pemahamannya. Dalam hubungannya dengan intelek potensial, al-Farabi menganalogkan intelek aktif ini dengan matahari pada mata dalam kegelapan. Mata hanyalah penglihatan potensial selama dalam kegelapan. Mataharilah –selama ia memberikan penyinaran pada mata— yang menyebabkan mata menjadi sebuah penglihatan yang aktual, sehingga objek-objek yang berpotensi untuk dilihat mata menjadi benar-benar tampak. Seterusnya, cahaya matahari memungkinkan mata melihat bukan hanya objek-objek penglihatan belaka tetapi juga cahaya itu sendiri dan juga matahari yang merupakan sumber cahaya tersebut. Dengan cara yang kurang lebih sama, “cahaya” intelek aktif menyebabkan intelek potensial menjadi intelek aktual, menangkap “cahaya” sekaligus memahami intelek aktif itu sendiri.
Al-Farabi mengidentifikasi intelek aktif dengan “ruh suci” (rûh al-quds) atau Jibril, malaikat pembawa wahyu. Intelek aktif adalah “gudang” sempurna bentuk-bentuk pengetahuan. Dia berfungsi sebagai model kesempurnaan intelektual. Manusia dapat mencapai tingkat wujud tertinggi yang dimungkinkan baginya ketika dalam dirinya mewujud sosok manusia hakiki (al-insân `alâ al-haqîqah). Yaitu, ketika intelek manusia dapat bersatu dan menyerupai intelek aktif. Konsepsi al-Farabi tentang intelek aktif ini memperlihatkan usahanya menyelaraskan antara filsafat (Yunani) dengan keyakinan Islam.
Keenam, intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb Mâ Ba`d al-Thabî`ah (Metafisika) sebagai intelek yang berpikir dan berswacita mengenai dirinya sendiri. Dalam teologi Islam, inilah yang disebut Tuhan. Menurut al-Farabi, intelek ini sepenuhnya bebas dari segala kenistaan dan ketidaksempurnaan. Tidak ada intelek yang tidak berasal dari-Nya, tidak terkecuali intelek aktif yang mampu mengaktualkan pemahaman manusia.

Penutup
Konsep psikologi al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek (al-aql al-kulli) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain.
Konsep-konsep psikologi yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai manusia seperti itu jelas berbeda dengan psikologi Barat seperti Freud yang menganggap dan menempatkan manusia tidak berbeda dengan seekor binatang, dimana potensi dasar dan utamanya adalah seks. Bahkan, pemikiran psikologi al-Farabi ini masih lebih manusiawi dibanding Maslow yang humanis sekalipun, karena Maslow baru “mengangkat” manusia pada tingkat nalar kognisi, tidak lebih dari itu. Sedemikian, sehingga secara kronologis, dapat dikatakan bahwa potensi-potensi dan nilai-nilai manusia dalam kajian psikologi berarti telah mengalami degradasi. Pada abad-abad pertengahan, manusia oleh Islam dinilai dan diakui mempunyai unsur-unsur kejiwaan yang mulia dan sempurna seperti malaikat, tetapi di abad 20 ia oleh Barat justru dianggap hanya mempunyai unsur nafsu yang tidak lebih dari binatang.
Karena itu pulalah, diskursus psikologi Islam, (termasuk juga sosiologi Islam, ekonomi Islam, bank Islam, pendidikan Islam, dan yang lain yang berlabel Islam) sesungguhnya tidak bisa berangkat dari konsep-konsep psikologi dan keilmuan Barat yang kemudian diberi justifikasi teks (ayat maupun hadis), tetapi harus berdasarkan dari khazanah Islam sendiri. Kita mempunyai ajaran, peradaban, budaya dan worldview sendiri yang berbeda dengan budaya dan peradaban orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Aluji, Abd Hamid, “Al-Fârâbî fî al-Irâq `Ardl Bibliografî”, dalam Hasan Bakar, Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, (Baghdad, Dar al-Huriyah, 1976)
Aristoteles, Nichomachean Ethic, terj. JAK. Thomson, (London, Pinguin Book, 1961)
Bakar, Osman, Hirarkhi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung, Mizan, 1997)
Davidson, Herbert A., Alfarabi, Avecenna and Averroes on Intellect, (Oxford, Oxford University Press, 1992)
Dunlop, DM., Arab Civilization up to 1500 AD (London, Luzac, 1971)
Farabi, Abu Nasr, “Maqâlah fî Ma`âni al-Aql”, dalam Friedrich Dieterici (ed), Al-Tsamrah al-Mardliyah, (Leiden, EJ. Brill, 1890)
--------, “Risâlah fî Jawâb Masâil Suil `Anhâ” dalam Dieterici, Al-Tsamrah al-Mardliyah, (Leiden, EJ. Brill, 1890)
--------, “Risâlah Fushûsh al-Hikam”, dalam Friedrich Dieterici (ed), Al-Tsamrah al-Mardliyah, (Leiden, EJ. Brill, 1890)
--------, “Al-Siyâsah al-Madaniyah”, dalam Yuhana Qumaer (ed), Falâsifah al-Arâb: Al-Fârâbî, (Mesir, Dar al-Masyriq, tt)
--------, Fashûl al-Madanî (Aphorisme of the Statesman), terj and ed. DM. Dunlop, (Cambridge, Cambridge University Press, 1961)
--------, Mabâdi’ Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (The Ferfect State), ed. Richard Walzer, (Oxford, Clarendon Press, 1985)
Freud, Sigmund, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, terj. Berten, (Jakarta, Gramedia, 1986)
Ghalab, M, Al-Ma`rifah `ind Mufakkirî al-Muslimîn, (Mesir, Dar al-Misriyah, tt)
Ghazali, M, “Munqidz min al-Dlalâl”, dalam Majmûah Rasâil, (Beirut, Dar al-Fikr, 1996)
Hall, Calvin S. & Gardner Linzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), terj. Supratiknya, (Yogya, Kanisius, 1994)
Ibn Abi Usaibi’ah, `Uyûn al-Anbâ fi Thabaqât al-Atibbâ’, (Bairut, Dar al-Fikr, tt)
Ibn Arabi, Fushûsh al-Hikam, I (Beirut, Dar al-Kitab, tt)
Ibn Khallikan, Wafayât al-A`yân, V, (Beirut, Dar al-Syadr, tt)
Ibn Sina, Kitâb al-Nafs (De Anima), ed. Fazlur Rahman, (Oxford, Oxford University Press, 1970)
Ma`ruf, Naji, “Al-Farabi Arabi al-Muwathin wa al-Murabbi” dalam Hasan Bakar, Al-Fârâbî wa al-Hadlârah al-Insâniyah, (Baghdad, Dar al-Huriyah, 1976)
Madkour, Ibrahim, “Al-Farabi” dalam MM Syarif, A History of Muslim Philosophy, I, (New Delhi, Low Price Publications, 1995)
Mahdi, Muhsin, “Al-Farabi and the Foundation of Islamic Philosophy” dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies, (Montreal, McGill, 1992)
Maslow, Abraham H., Motivasi dan Kepribadian, 1, terj. Nurul Imam, (Bandung, PPM, 1993)
Nasr, Husein, Sufi Essays, (Albany, SUNY Press, 1972)
Netton, Ian Richard, Al-Farabi and His School, (London and New York, Routledge, 1992)
Qifthi, Jamal al-Din, “Târîkh al-Hukamâ” dalam Dieterichi (edit), Al-Tsamrah al-Mardliyah, (Leiden, EJ. Brill, 1890)
Qumair, Yuhana, Falâsifah al-`Arab: Al-Fârâbî, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1986)
Wafa, Abd Wahid, Al-Madînah al-Fâdlilah li al-Fârâbî, (Kairo, Alam al-Kutub, 1973)
Watt, Montgomery, The Majesty that was Islam, (London, Sidgwich & Jackson, 1976)

Artikel dalam bentuk yang lebih lengkap pernah dimuat dalam Jurnal PSIKOISLAMIKA, Fakultas Psikologi UIN Malang, Vol. 2, No. 1, Januari 2005. Untuk membaca artikel ini secara lebih lengkap klik disini

1 komentar:

Lembaga Pelatihan Minggu, Juni 28, 2009  

Blog anda dah terpasang di blog saya..Terimakasih atas partisipasinya. Komentar ini dibuat juga sambil review tentang kemudahan dalam memebrikan komentar...!

Pada saat klik Readmore.. terasa agak lama mmbuka keseluruhan postingan.. sebaiknya gunakan model Readmore dengan istilahnya Petak Umpet. Ketik saja di google Readmore Petak Umpet Isi Posting

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP