Pesantren as Agent of Change
Pesantren Sebagai Pelopor Pembaharuan
Oleh: A Khudori Soleh
SEBAGAI lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan, pesantren tidak hanya dituntut untuk mendidik masyarakat tentang ajaran agamanya, terlebih juga dituntut untuk tampil sebagai pelopor pembaharuan (agent of change). Maksudnya, pesantren harus mampu memberikan pemikiran dan tindakan alternatif dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Tuntutan ini disebabkan bahwa sejak pertama kali didirikan oleh para wali, pesantren memang dimaksudkan untuk membentuk manusia muslim yang peduli akan persoalan masyarakat.
Akan tetapi, yang ada saat ini ternyata tidak mengarah ke sana. Dunia pesantren justru mandek dan terjebak dalam lingkup pusat pelatihan, bukan sebagai pusat pengembangan seperti yang diharapkan. Karena itu, tidak heran bila banyak orang pesantren yang kemudian canggung dan kaget ketika melihat realitas di masyarakat, sehingga solusi-solusi yang diberikan menjadi kaku dan tekstual.
Lemah Metodologi.
Kenyataan bahwa pesantren telah terjebak dalam lingkup pelatihan dan bukan lembaga pengembangan keilmuan bisa dilihat dari sedikitnya porsi yang diberikan pesantren terhadap ilmu-ilmu yang bersifat pengembangan wawasan seperti ushul al-fiqh, musthalah al-hadits atau ulum al-Qur`an, dibanding ilmu-ilmu yang bersifat terapan seperti fiqih. Benar bahwa mencari ilmu untuk diamalkan adalah prinsip yang harus dipegangi terutama dalam ilmu-ilmu agama. Akan tetapi, harus pula disadari bahwa misi suatu lembaga pendidikan seperti pesantren tidak hanya berhenti sampai disitu. Pesantren juga dituntut untuk membekali santrinya dengan kemampuan untuk mengembangkan wawasan, sehingga tidak akan canggung dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.
Dalam pesantren, perhatian serius terhadap ilmu-ilmu metodologis umumnya baru terbatas pada ilmu bahasa (arab). Itupun, masih terbatas pada gramatika (nahwu dan sharaf) dengan kitab acuan yang juga masih perlu dipertanyakan kelayakan dan efisiensinya.
Bahwa kitab-kitab nahwu yang diajarkan di pesantren saat ini, Alfiyah Ibn Malik dan syarahnya pada zaman dulu telah melahirkan ulama besar yang tidak disangsikan kemampuan bahasa Arabnya adalah benar. Akan tetapi, untuk masa sekarang yang tuntutan hidup semakin komplek dimana santri tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas pondok tetapi juga memenuhi tugas-tugas sekolah dan kuliah di luar pesantren, maka kitab acuan seperti itu rasanya terlalu berat. Jika tetap dipaksakan, maka dibutuhkan waktu yang sangat lama sehingga tidak afektif. Apalagi jika dikaitkan dengan kurang adanya kontrol yang ketat untuk mengikuti penjenjangan pendidikan di pesantren, maka kajian Alfiyah dapat dengan mudah diikuti oleh santri yang belum memiliki modal dasar ilmu bahasa yang memadai. Akibatnya, pengajaran Alfiyah hanya menjelma dalam bentuk menghafal bait demi bait tanpa didukung kesadaran dan pemahaman dalam praktek bahasa. Kenyataannya, tidak jarang dijumpai santri yang hafal bait-bait Imrithi atau Alfiyah tetapi kesulitan mempraktekkannya pada kitab-kitab yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Begitu pula yang terjadi dalam bidang fiqh. Akibat pesantren lebih banyak memberikan fiqih dalam bentuk ilmu terapan daripada alat pengembangannya (ushul-nya), para santri akhirnya lebih cenderung menerima rumusan fiqh dengan tanpa reserve. Apa yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh dianggap telah menjadi rumusan hukum Islam yang final dan fixed yang tidak dapat diganggu gugat. Ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang ada. Fiqih hanyalah tanggapan “pribadi” seorang mujtahid atas problem sosial yang ada saat itu ketika tidak ditemui dalil al-Qur`an atau al-Sunnah yang qath’i dan shareh. Karena itu, ia sangat berkaitan dengan kondisi sosial politik disekitarnya disamping tingkat kemampuan sang mujtahid sendiri.
Karena itu pula, adalah sikap yang tidak bijaksana jika kita mensakralkan dan mengambil begitu saja fatwa mereka untuk menjawab problem kita saat ini. Kondisi dan problem sosialnya sudah sangat berbeda. Begitu pula, adalah tidak bijaksana jika kita ngotot dan hanya memegangi satu pendapat tanpa memperhatikan pendapat imam yang lain. Al-Sya`rani, dalam pengantar al-Mizan al-Kubra menyatakan, tidak akan sempurna ibadah seorang mulim jika hanya mengikuti satu madzhab saja. Sebab, dengan demikian, ia berarti hanya mengikuti hadits shaheh menurut imam madzhabnya sementara meninggalkan banyak nash lain yang shaheh menurut Imam lainnya. Meski demikian, memegangi pendapat yang berbeda pada saat yang bersamaan juga merupakan sikap yang sangat tidak bertanggung jawab.
Dalam kondisi seperti itu, penguasaan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqh menjadi sangat penting, disamping sejarah pembinaan hukum Islam (tarikh tasyri` al-Islami). Sebab, dengan ilmu-ilmu tersebut, para santri akan mendapat gambaran yang utuh tentang proses metodologi yang dilalui seorang mujtahid dan kontek historis yang melatarbelakanginya. Sedemikian, sehingga penerimaan dan penolakan terhadap suatu pendapat tidak didasarkan atas perasaan suka atau tidak suka melainkan atas kerangka metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, dalam menghadapi masalah-masalah yang belum ter-cover dalam kitab kuning dapat diupayakan jawabannya dengan memanfaatkan kerangka metodologis yang telah diletakkan secara mapan oleh ulama zaman dulu.
Begitu pula dalam studi tafsir dan hadis. Pengetahuan tentang ulum al-hadis menjadi sangat penting dalam pengembangan studi hadits, terutama dalam masa-masa seperti sekarang dimana banyak kecenderungan untuk mempersoalkan eksistensi hadits, baik dalam bentuk tasykik (skeptis) terhadap kebenaran suatu hadits atau dalam bentuk pengingkaran kehujahannya (ingkar al-sunnah). Pembekalan santri tentang kemampuan untuk menjawab tantangan-tantangan semacam itu dan mendudukkannya secara benar tidak mungkin bisa dilakukan secara baik tanpa pengetahuan yang memadai tentang ulum al-hadits.
Tidak Dari Sumber Primer
Keterjebakan dan kemandegan pesantren juga disebabkan pengambilan rujukannya yang tidak dari sumber primer. Dalam bidang fiqih misalnya. Jika benar bahwa pesantren mengikuti madzhab Syafii, mereka seharusnya lebih dahulu mengkaji kitab-kitab Imam Syafii seperti al-Umm, sebelum kitab yang lain. Akan tetapi, yang dikaji hanya seputar kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Fath al-Wahhab atau bahkan kitab-kitab fiqh kecil lainya. Padahal, kitab-kitab tersebut adalah kitab mutaakhir yang kadang --bahkan sering-- berbeda dengan induk madzhabnya. Akibatnya, masyarakat pesantren lebih akrab dan lebih kenal kitab-kitab tersebut daripada karya-karya al-Syafi`I, sehingga mereka lebih tahu ijtihad Ibn Sujak, Nawawi atau yang lain dari ulama mutaakhirin daripada ijtihad Imam Syafii sendiri. Akhirnya dikatakan bahwa orang pesantren sebenarnya tidak bermadzhab Syafii tetapi bermadzhab pada orang yang mengikuti madzhab Syafii.
Pengambilan rujukan yang tidak pada sumber primer itu akhirnya melahirkan tatatan masyarakat “sempit” dan “mbulet”. Ini bisa dilihat dalam kasus tahlilan yang pernah ramai beberapa tahun lalu, misalnya. Kalangan pesantren sangat menggalakkan tahlil dan menganggap sebagai “identias” santri, padahal Imam Syafii sendiri menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur'an dan tahlil tidak bisa sampai kepada mayat (tidak berguna). Yang menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur'an dan tahlil berguna dan bisa sampai kepada mayat adalah para Imam madzhab lain yang selama ini dipegangi oleh kalangan non-pesantren yang justru enggan dan bahkan mengecam tahlil. Terbalik-balik. Kalangan non-pesantren sebenarnya yang harus membela tahlil dan bukan orang-orang pesantren.
Pengambilan rujukan secara tidak langsung seperti itu juga terjadi dalam bidang hadits dan tafsir. Selama ini, kitab hadits yang dianggap paling shaheh adalah kitab al-Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, kedua kitab tersebut ternyata kurang mendapat tempat di pesantren. Jika ada hanya sebatas pada kajian kilatan pada bulan Ramadlan, bukan kajian secara mendalam dan teliti. Yang digalakkan dan laris justru kitab hadits kecil-kecil seperti Durah al-Nasihin, Usfuriyah, Daqaiq al-Akbar atau lainnya yang menurut santri Syekh Maliki perlu dikaji ulang karena banyak mengandung hadits dlaif.
Itulah kondisi di pesantren. Sistem dan struktur keilmuan pesantren kiranya perlu dikaji ulang, bahkan dirombak, agar dapat tampil sebagai agent of change dan bukan sekedar lembaga pelatihan. Perombakan ini bukan untuk merusak kemapanan tetapi justru demi “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”.
0 komentar:
Posting Komentar