Integration of Islam and Science
Integrasi Ilmu Agama dan Umum
Oleh: A Khudori Soleh
Perubahan status STAIN dan IAIN menjadi UIN, seperti STAIN Malang menjadi UIN tahun 2004 lalu, yang kemudian meniscayakan adanya pembukaan fakultas dan jurusan-jurusan yang dikategorikan sebagai jurusan umum, telah menambah nuansa dan pemikiran baru di kalangan civitas akademika UIN. Pandangan-pandangan tentang fenomena alam dan pemikiran tentangnya yang selama ini tidak banyak dikenal dalam tradisi ilmu-ilmu keagamaan mulai sering disampaikan oleh dosen-dosen eksakta (fakultas umum), baik dalam diskusi maupun perkuliahan.
Akan tetapi, pembukaan jurusan umum di UIN yang kemudian diikuti dengan program rekrutmen terhadap dosen-dosennya yang kebanyakan juga diambilkan dari para sarjana lulusan PTN umum ternyata bukan tanpa masalah. Secara metodologis dan keilmuan, mereka berbeda dengan pola dan sistem berpikir dalam ilmu-ilmu keagamaan yang telah dikembangkan di UIN. Hal ini dapat menimbulkan gap atau pertentangan antara dosen agama dan umum. Paling tidak, dapat menyebabkan kebingungan di antara mahasiswa. Dapat dibayangkan, jika seorang dosen menyatakan bahwa sumber ilmu adalah indera dan metodenya adalah observasi, sementara yang lain menyatakan sumber ilmu adalah intuisi dan metodenya adalah pembersihan hati (kasyf). Atau seorang dosen menyatakan bahwa disiplin ilmunya murni bersifat empirik tanpa berkaitan dengan dogma agama, sementara dosen yang lain menyatakan bahwa tidak ada satupun disiplin ilmu yang lepas dari pantauan teks suci. Kenyataannya, apa yang terjadi di lingkungan fakultas umum kita benar-benar menunjukkan persoalan itu.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak pimpinan sebenarnya telah melakukan langkah-langkah penyelesaian lewat apa yang dikenal dengan program integrasi ilmu pengetahuan. Dalam konsep integrasi ini, posisi ilmu agama dan umum di gambarkan dalam apa yang disebut sebagai “pohon ilmu”. Dalam pohon ilmu ini, al-Qur’an dan al-Hadits juga hasil eksperimen dan penalaran logis, sama-sama dijadikan sebagai sumber inspirasi keilmuan, sehingga tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan umum karena masing-masing berpijak pada sumber yang sama.
Gagasan “pohon ilmu” tersebut, sepintas, tampak telah menyelesaikan persoalan dikhotomi ilmu agama dan umum. Akan tetapi, secara metodologis, gagasan itu sebenarnya masih hanya berbicara pada tataran luar keilmuan, belum pada aspek substansial, masalah ontologis dan epistemologis, sehingga belum benar-benar menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kenyataannya, “pohon ilmu” belum berbicara tentang bagaimana mempertemukan antara metode empiric-eksperimen yang di ambil dari tradisi Barat dengan metode pembacaan teks yang bernuansa spitual dari Islam. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka yang terjadi sebenarnya bukan integrasi melainkan hanya labelisasi, tepatnya labelisasi al-Qur’an atas ilmu-ilmu Barat sekuler. Dan inilah yang terjadi dalam pemikiran sebagian dosen dan karya-karya penelitian mahasiswa, skripsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka di sini sangat penting dilakukan penelitian tentang persoalan-persoalan epistemologis sebagai basis utama program integrasi keilmuan di UIN Malang. Meski demikian, kajian epistemologis belaka ternyata tidak cukup. Di sini masih butuh kajian ontologis. Sebab, seperti di tulis Naquib al-Attas, tidak ada gunanya epistemologis Islam jika basis ontologisnya tidak di integrasikan dalam Islam. Sebab, ia akan tetap sekuler dan menolak kebenaran agama sebagaimana yang terjadi di Barat. Selain itu, perlu juga kajian aksiologis, sebagai bekal etika dalam aplikasi keilmuan, sehingga para civitas akademika dan para calon sarjana UIN Malang dapat bergerak dan bekerja sesuai dengan etika Islam.
Ketiga basis keilmuan tersebut: ontologis, epistemologis dan aksiologis, tidak dapat diabaikan dalam program integrasi keilmuan. Sebab, suatu ilmu akan tetap sekuler dan “liar” jika tidak didasarkan atas pandangan ontologis atau pandangan dunia (world view) yang utuh atau tauhid. Begitu juga, sebuah epistemologi keilmuan akan tetap bersifat eksploitatif dan menindas jika tidak didasarkan atas basis ontologi Islam. Meski demikian, bangunan keilmuan yang telah terintegrasikan tersebut tidak akan banyak berarti jika dipegang orang atau sarjana yang tidak bermoral baik. Karena itu, perlu dibenahi aspek aksiologisnya.
Masalah pokok yang akan di kaji dalam penelitian ini terdiri atas tiga hal.
1. Bangunan ontologis Islam. Bagaimana pandangan Islam tentang hakekat realitas, hubungan antara alam fisik dan non-fisik dan seterusnya?
2. Bangunan epistemologis. Bagaimana pandangan Islam tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya?
3. Bangunan aksiologis Islam. Bagaimana pandangan Islam tentang aplikasi sebuah pengetahuan, apa dan bagaimana tugas seorang ilmuan?
4. Bagaimana kemungkinan bangunan atau model integrasi ilmu agama dan umum yang mesti berlaku di lingkungan UIN atau perguruan tinggi agama yang membuka fakultas umum?
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bangunan ontologis Islam ternyata berbeda dengan apa yang dipahami dalam tradisi Barat yang hanya mengakui realitas fisik atau menganggap bahwa realitas ini hanya bersifat mental. Ontologis Islam menyatakan bahwa realitas tidak hanya bersifat fisik tetapi juga metafisik. Lebih dari itu, alam fisik bukan realitas yang sesungguhnya melainkan hanya bayangan dari realitas metafisik.
Strukturnya dimulai dari Tuhan sebagai sumber segala realitas kemudian menurun menjadi realitas metafisik sampai yang terakhir sampai realitas fisik.
2. Bangunan epistemologis Islam juga berbeda dengan epistemologi Barat. Epistemologi Islam tidak hanya mendasarkan diri pada sumber atas observasi dan rasio, tetapi terlebih adalah teks suci (al-Qur’an). Inilah perbedaan dan yang khas pada epistemologi Islam, di samping intusi (kasyf), yang tidak dikenal dalam epistemologi lain. Caranya adalah lewat analisis bahasa yang dikenal dengan istilah istinbat.
3. Bangunan aksiologis Islam berkaitan tidak hanya dengan nilai-nilai yang bersifat kemanusiaan, tetapi juga nilai-nilai spiritual, religius dan bahkan teologis. Ini jelas berbeda dengan bangunan aksiologi Barat yang hanya mengkaitkan diri dengan nilai-nilai kemanusiaan dan lokal.
4. Bangunan integrasi antara ilmu agama dan umum harus mempertimbangan basis-basis ini. Secara ontologis harus mempertimbangkan adanya realitas laindisamping realitas empirik, secara epistemologis harus memperhatikan posisi wahyu dan intuisi serta hubungan keduanya dengan rasio, dan secara aksiologis harus mengarah pada tujuan-tujuan tertentu yang tidak sekedar duniawi.
Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas dapat diberikan saran-saran sebagai berikut: Integrasi ilmu agama dan umum hendaknya mempertimbangkan basis-basis keilmuan: ontologis, epistemologis dan aksiologis. Tidak hanya memberikan justifikasi ayat atau hadis. Sebab, semua itu hanya bersifat semu bukan yang sesungguhnya, sehingga hanya berupa labelisasi ayat dan bukan integrasi keilmuan.
Makalah lengkap pernah dipresentasikan dalam acara temu riset keagamaan tingkat nasional IV di Palembang, tgl 26-29 Juni 2006. Untuk mengkases artikel ini secara utuh, klik disini.
0 komentar:
Posting Komentar