Senin, Mei 04, 2009

Philosophy of Knowledge

Filsafat Ilmu
Oleh: A Khudori Soleh
Filsafat ilmu adalah bagian dari kajian filsafat yang mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan seluk beluk keilmuan. Ia merupakan telaah falsafi yang ingin menjawab empat pertanyaan penting berkaitan dengan hakekat ilmu, yang meliputi: Objek telaahan ilmu, wujud hakiki dari objek, prosedur perolehan ilmunya dan manfaat dari sebuah ilmu.
Dua pertanyaan pertama disebut landasan ontologis, pertanyaan ketiga epistemologis, dan pertanyaan keempat adalah aksiologis. Empat kelompok pertanyaan tersebut adalah sesuatu yang pokok dan ciri dalam sebuah keilmuan. Tanpa mengenali ciri pengetahuan ini dengan benar, seseorang tidak bakal bisa memanfaatkannya secara maksimal, bahkan justru bisa salah dalam menggunakannya, sehingga ilmu terkacaukan dengan seni, ilmu terkonfrontasikan dengan keyakinan agama dan seterusnya.

A. Kritik Objek Kajian (Ontologi).
Objek kajian ilmu adalah segala yang ada, yang terjangkau oleh pengetahuan dan pengalaman manusia.[1] Apa hakekat yang ada (what is being)? Inilah yang menjadi kajian filsafat ilmu, yang para filosof terpecah dalam berbagai aliran dalam menjawab persoalan ini. Harold H. Titus, dosen filsafat dari Denison University, USA, menjelaskan pendapat kelompok-kelompok tersebut dalam bukunya, Persoalan-Persoalan Filsafat,[2] yang secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga kelompok pemikiran: monisme, dualisme dan pluralisme.
Menurut, hakekat yang ada adalah satu: tidak ada perbedaan antara yang spirit dengan yang materi, antara substansi dan aksidensi. Perbedaan yang ada di antara keduanya hanyalah karena adanya proses yang berbeda, subtansinya tetap sama. Ibarat zat dan energi, energi hanya bentuk lain dari zat.[3] Kelompok monisme ini terdiri atas dua kelompok, materialisme dan idealisme. Menurut materialisme,[4] yang menjadi hakekat dan babak terakhir segala sesuatu adalah materi. Sebab, segala yang bersifat material senantiasa menempati ruang tertentu, yang itu berarti juga bersangkutan dengan waktu. Seseorang tidak dapat mempunyai pendirian tentang materi kecuali sebagai satuan yang berkesinambungan yang dinamis, yang mengalami proses serta perubahan. Suatu proses tanpa berkaitan dengan ruang dan waktu adalah suatu pengertian yang tidak bisa dimengerti. Prinsip-prinsip pemikiran materialisme ini pertama kali di kembangkan oleh Demokritos (460-370 SM)
Sebaliknya, golongan idealisme,[5] menyatakan bahwa hakekat segala sesuatu adalah ide, jiwa atau spirit. Menurut mereka, apa yang disampaikan kaum materialis memang telah memberi keterangan mengenai kenyataan. Akan tetapi, harus disadari bahwa di antara fenomena benar-benar ada yang tidak bisa dijelaskan lewat pengertian alam atau materi. Pengalaman, nilai, makna dan sejenisnya adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan istilah-istilah materi. Pengalaman adalah sesuatu yang dipunyai jiwa, nilai hanya bermakna jika ada jiwa yang dapat memahami, dan hanya jiwa yang dapat menangkap makna. Dengan demikian, menurut kelompok ini, roh atau jiwa adalah sesuatu yang hakiki dari yang ada (being). Dalam sejarahnya, pemikiran ini dicetuskan oleh Plato (427-347 SM), dan saat ini dipelopori oleh, antara lain, Watts Cunningham, Wilbur Urban dan William E. Hacking.
Menurut kelompok dualism, yaitu bahwa apa yang ada (being) tersusun atas dua hal sekaligus: substansi dan aksidensi, spirit dan materi. Dua hal tersebut berbeda sui generis secara substantif, tapi menyatu membentuk yang ada. Menurut Jujun S. Suriasumantri,[6] filosof yang menganut paham ini, antara lain, Rene Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1753). Dalam Islam barangkali bisa disebut antara lain, misalnya, Ain al-Qudlat al-Hamadani (1098-1131).[7]
Menurut kaum pluralism[8] atau Hylomorfism, yang ada tidak hanya satu atau dua, tetapi sebanyak apa yang tampak itu sendiri. Menurut mereka, segala sesuatu selalu mempunyai eksistensi dan essensi. Tidak ada satupun dari yang materi, yang ragawi dan inderawi, yang tidak merupakan kesatuan essensi dan eksistensi, yang itu merupakan hakekat dari sesuatu itu sendiri. Dengan demikian, hakekat segala yang ada adalah masing-masing yang ada itu sendiri: masing-masing mempunyai hakekat dan ciri sendiri-sendiri.
Bagaimana persoalan ini menurut pandangan kebanyakan filosof muslim? Menurut al-Farabi (870-950), apa yang ada tidak hanya “satu” tapi “banyak”. Tetapi, kebanyakan ini tidak sama dengan apa yang dipahami kaum pluralis atau dualis, di mana antara yang satu sama lainnya saling terpisah atau bertentangan. Sifat kebanyakan pada yang ada di sini bersifat herarkhis.[9]
Menurut al-Farabi, ada enam kerangka yang menjadi inti dan penyusun yang ada, yang urutan secara menurun adalah, Sebab Pertama (al-sabab al-awwal), Sebab Kedua (al-sabab al-tsawani), intelek aktif (al-aql al-fa’al), jiwa (nafs), bentuk (shurrah) dan materi (maddah).
Pemikiran senada juga diberikan oleh kalangan sufisme. Menurut mereka, dengan mendasarkan gagasannya pada keterangan yang diberikan al-Qur'an, seluruh yang yang ini terdiri atas lima herarkhi realitas yang diformulasikan dalam doktrin “lima keberadaan Ilahiyah” (al-Hadlarat al-Ilahiyyah al-Khams).[10] Realitas pertama sekaligus realitas yang paling rendah adalah alam materi, alam nyata atau yang dikenal dengan istilah alam nasut. Herarkhi ini, tidak hanya meliputi segala apa yang tampak di bumi, tetapi juga mencakup segala yang tampak di langit: matahari, bintang, planet-planet dan semua yang kasat mata. Realitas kedua, satu tingkat lebih halus dibanding alam materi adalah alam malakut atau alam psikhis. Alam kejiwaan. Selanjutnya, realitas ketiga adalah alam jabarut atau alam ruh.
Dalam hubungan strukturalnya, alam materi yang disebut juga alam kasar, diliputi dan didominasi wilayah psikhis, yang disebut juga alam halus, yang berada diatasnya. Keduanya secara bersama-sama membentuk wilayah “alam” yang semua bentuk hukumnya diatur oleh alam jabarut. Selanjutnya, herarkhi realitas yang lebih tinggi adalah “asma sifatiyah”. Alam sifat-sifat Ilahiyah. Misalnya sifat-sifat yang merujuk kepada-Nya sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Pemberi wahyu. Herarkhi keempat ini, yang juga disebut “lahut”, dapat dipersamakan dengan --meminjam istilah Osman Bakar-- Prinsip Kreatif atau Wujud. Yaitu prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos. Karena itu, ia merupakan Yang Absolut terhadap seluruh ciptaan.
Puncak segala realitas adalah essensi Ilahi (Dzat Ilahiyah). “Keadaan” tertinggi yang juga diistilahkan sebagai “hahut” (berasal dari kata “Huwa” yang berarti Dia) ini adalah Diri, Wujud atau Realitas Tertinggi yang tidak terbatas. Realitas Tidak Tergapai. Dia adalah Prinsip “tak dapat disifati” dan “tidak dapat ditentukan”.[11]
Dengan demikian, ada perbedaan --atau bahkan mungkin kemajuan-- ontologi yang cukup tajam antara para pemikir muslim dengan rivalnya di Barat. Bagi para filosof muslim, meski sama-sama sejauh pengalaman manusiawi, batas objek kajian ilmu tidak terbatas pada yang “inderawi” atau “jiwa”, tetapi telah melangkah lebih dari itu: bahkan pada yang ada di “sekitar” Tuhan sendiri. Pengalaman yang mereka capai tidak hanya terbatas pada yang “inderawi” tetapi “ruhani” dalam makna yang sebenarnya. Perbedaan ontologi ini, pada gilirannya akan menyebabkan perbedaan pada epistemologi dan aksiologi: karena selain pada pengalaman, filosof muslim juga mendasarkan diri pada nash-nash agama.

B. Kritik Prosedur Pengetahuan (Epistemologi).
Bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar? Inilah kajian falsafi yang disebut epistemologi: prosedur menyusun pengetahuan yang benar sesuai dengan metode-metode ilmiah. Maksudnya, pengetahuan yang disusun dan dihasilkan tersebut benar-benar rasional, teruji dan dapat diandalkan.[12] Sarana yang digunakan untuk itu adalah bahasa dan aturan logis: cara berfikir menurut aturan tertentu sehingga tercapai kesimpulan tertentu pula.[13]
Ada beberapa macam metode ilmiah yang bisa digunakan dalam masalah ini. Pertama, induktif: penalaran dari semua contoh yang ada menuju generalisasi.[14] Persoalan yang dihadapi penalaran induksi adalah tentang banyaknya kasus yang harus diamati untuk bisa sampai pada kesimpulan yang bersifat umum. Akan tetapi jelas, karena berdasarkan pengalaman dan indera, metode --hasil-- ini lebih nyata dan pasti meski David Home,[15] mengkritik bahwa model penalaran induksi terlalu jauh untuk dibuat generalisasinya, karena kenyataan selalu bersifat partikular. Penalaran induksi umumnya banyak digunakan oleh kaum empirisme: kelompok pemikir (filosof) yang menggunakan indera dan pengalaman sebagai sarana mencapai kebenaran.[16]
Dalam hubungannya dengan pengetahuan, menurut John Locke (1632-1704), Bapak empirisme Inggris, hanya bisa diperoleh lewat indera dan pengalaman. Menurutnya, manusia lahir dalam keadaan seperti kertas kosong (tabula rasa) dan disitulah ditulis pengalaman-pengalaman inderawi. Fungsi akal hanya ibarat tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Dengan demikian, semua pengetahuan yang bagaimanapun rumitnya dapat dilacak kembali pada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom penyusun objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian bukanlah pengetahuan. Setidaknya bukan pengetahuan mengenahi hal-hal yang faktual.
Sebelumnya, pendapat seperti itu telah diberikan oleh Aristoteles (384-322 SM), yang dianggap sebaga peletak dasar prinsip aliran empirisme. Menurutnya, berbeda dengan pendapat gurunya: Plato (427-347 SM), apa yang ada bukanlah yang berada didalam otak, didalam pikiran, tetapi pada benda-benda yang konkret. Diluar itu semua, tidak ada apapun. Hanya sebutan saja, bukan benda sesungguhnya sekalipun yang dimaksud adalah benda yang ghaib. Apa yang ada didalam pikiran, termasuk pengetahuan adalah semata hasil dari apa yang ditangkap indera.[17]
Selain itu, penalaran induksi diatas juga digunakan oleh kelompok positivism. Menurut August Comte (1798-1857), pendiri aliran ini, pengetahuan adalah apa yang didasarkan atas pengalaman objektif yang faktual dan positif. Aliran ini benar-benar mendasarkan diri pada sesuatu yang nyata, pasti dan objektif, sehingga mereka menolak metafisika.[18] Perbedaan mereka dengan kelompok empirisme, bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman objektif sedang empirisme kadang masih menerima juga pengalaman batiniyah atau pengalaman-pengalaman subjektif. Dan mereka inilah barangkali yang dimaksud, atau setidaknya bisa dimasukkan dalam aliran yang oleh Kattsoff,[19] diistilahkan dengan “empirisme radikal”. Menurut Kattsoff, kelompok “empirisme radikal” menganggap bahwa semua pengatahuan --harus-- dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi: yang tidak dapat dilacak secara otomatis tidak dianggap sebagai pengetahuan.[20]
Kedua, deduktif: penalaran dari yang umum atau yang sudah diketahui sebelumnya untuk mengkaji pertikular. Penalaran model ini memberikan sifat rasional kepada pengetahuan dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik pengetahuan disusun dan setahan demi setahap melalui argumentasi yang mapan. Sedemikian, sehingga pengetahuan yang tersusun menjadi tubuh pengetahuan yang terorganisasi dengan baik, runtut dan bisa dipertanggung-jawabkan secara logika.[21] Ilmiah. Ilmu menjelaskan secara rasional dan konsisten terhadap objek yang berada dalam fokus telaahan atau kajian.[22]
Dalam pelaksanaannya, penalaran model ini umumnya banyak digunakan oleh kaum rasionalisme: suatu kelompok pemikiran yang menganggap bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal, meski tidak mengingkari pentingnya pengalaman: pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang pikiran. Sedemikian, sehingga benar sesatnya sebuah pengetahuan sangat dipengaruhi dan ada didalam ide, bukan pada kenyataan atau objek.[23]
Aliran rasionalisme muncul pada abad renaisance yang dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), Blaire Pascal (1623-1662) dan Baruch Spinoza (1632-1677),[24] tetapi prinsip-prinsip dasarnya telah diletakkan oleh Plato (437-247 SM). Menurut Plato, sebelum kelahirannya di dunia, manusia telah mengalami pre-eksistensi di dunia ide. Disana mereka menerima bekal konsep tentang kebenaran dan kenyataan. Saat lahir, ia kenal kembali segala yang dihadapi berkat bekal-bekal ide tersebut. Bagi Plato,[25] dunia hanyalah bayangan dari alam ide, sehingga pengetahuan manusia pada dasarnya adalah pengenalan kembali ide-ide yang telah diperolehnya.
Menurut Descartes,[26] dalam soal epistemologi, kebenaran atau pengetahuan yang dikenal dengan cahaya terang muncul dari akal budi. Ia adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Dengan demikian, akal budi dipahami sebagai, (1) sejenis perantara khusus yang dengannya sebuah kebeneran dapat diketahui, (2) sebagai teknik deduktif yang denganya bisa dicapai sebuah kebenaran. Artinya, dengan melakukan penalaran. Sedemikian, sehingga dengan metode deduktif, seorang penganut rasionalisme mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpulan adalah sama banyaknya dengan kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengantarkannya. Karena itu, jika menginginkan kesimpulan tersebut berupa pengetahuan, premis-premis pendukungnya harus mutlak benar, tidak boleh diragukan. Bagi Descartes, kebenaran-kebenaran apriori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.
Akan tetapi, pada abad-abad berikutnya, metode induksi yang digunakan kaum empirisme dan deduksi yang ditunjukkan rasionalisme diatas rupanya dianggap belum mencukupi untuk mengungkap fenomena objek kajian pengatahuan yang sebenarnya. Lahirnya metode baru yang diprakarsai Immanuel Kant (1724-1804), yang berusaha menggabungkan dua metode diatas sekaligus: rasionalisme kritis.[27]
Menurut Kant, rasio murni tidak mungkin mencapai pengetahuan, karena pengetahuan hasil rasio bersifat analitis-apriori. Artinya, objek sudah terlebih dahulu masuk didalam subjek, sehingga tidak memberikan informasi baru meski bersifat universal. Begitu pula yang terjadi dalam empiri: ilmu hasil empiri adalah sistetis-aposteori. Artinya, memberi informasi baru tapi tidak universal. Maka perlu “sistetis-apriori” yang oleh Koento Wibisono diistilahkan dengan “rasionalisme kritis”, yang berusaha mencapai kebenaran universal sekaligus baru.
Konsep Kant ini, pada gilirannya di “sempurnakan” oleh Edmund Husserl (1859-1938) dengan istilah fenomenologi yang pelaksanaannya melalui tiga tahap reduksi (saringan): reduksi fenomenologis, reduksi aiditis dan reduksi transendental.[28] Menurut Husserl, reduksi fenomenologis adalah suatu bentuk pengamatan awal dimana objek dipandang “apa adanya” tapi penuh dengan “kecurigaan”. Disini objek dibiarkan tanpa diberi statemen dan diletakkan didalam kesadaran. Jika berhasil, seseorang akan menemukan fenomen yang sebenarnya: mengenal gejala dalam dirinya sendiri. Setelah itu, masuk tahap kedua: reduksi aidetis, penyaringan segala sesuatu yang bukan menjadi hekakat fenomen. Reduksi kedua berusaha masuk dalam hakekat fenomen. Masuk reduksi ketiga: transendetal, mengeluarkan segala yang tidak berhubungan dengan kesadaran murni, agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri. Walhasil, metode ini diterapkan pada subjek sendiri dan pada perbuatannya, pada kesadaran murninya.[29]
Sekarang bagaimana persoalan epistemologi ini menurut para filosof muslim? Dengan herarkhi ontologis sebagaimana dijelaskan diatas, para filosof muslim rupanya hampir sepakat bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk menggapai pengetahuan atau kebenaran.[30] Akan tetapi, apa yang dihasilkan dua sarana tersebut belum bisa mencapai yang hakiki, tapi baru tahap mendekati. Atau menurut istilah Henry Bergson (1859-1941), baru tahap “pengetahuan mengenai” (knowledge about) belum “pegetahuan tentang” (knowledge of). “Pengetahuan mengenai” adalah pengetahuan diskursif, pengetahaun simbol yang diperoleh melalui perantara: indera atau rasio. “Pengetahuan tentang” adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.[31]
Menurut al-Ghazali (1058-1111),[32] indera adalah sarana paling rendah dalam menggapai pengetahuan. Ia hanya mampu mengkaji apa yang tampak yang itu tidak jarang luput dari kesalahan. Sarana yang lebih tinggi diatas indera adalah akal. Dengan premis-premis dan logika, akal tidak hanya mampu memikirkan apa yang tampak, tetapi juga apa yang ada dibalik yang tampak. Meski demikian, ia tetap terbatas: tidak benar-benar mampu menggapai yang “transendental”. Untuk itu, perlu sarana lain, intuisi. Penyinaran langsung cahaya pengetahuan dari Yang Maha Transenden (Tuhan). Persoalannya, bagaimana seseorang bisa mendapat penyinaran pengetahuan langsung dari Tuhan? Menurut al-Ghazali dan para tokoh sufis Sunni adalah dengan “pengosongan diri” melalui metode “takhliyah”, “tahliyah”, dan tajliyah”.[33] Takhliyah adalah membersihkan diri dari segala kejahatan, ketidakbenaran dan mengkosongkan perhatian kepada makluk atau fenomena. Tahap tahliyah mengisi diri dengan segala tindakan baik dan berkonsentrasi untuk berhubungan dengan-Nya (tawajjuh) dengan kegiatan-kegiatan ritual tertentu. Tahap tajliyah adalah suatu keadaan dimana subjek yang tersucikan siap untuk menerima pancaran cahaya pengetahuan, yang dalam tasawuf diistilahkan dengan kasyaf dan makrifat.
Pendapat kedua, yang dipelopori kaum filosof seperti al-Farabi, Ibn Sina, Suhrawardi dan para tokoh sufisme Syiah,[34] adalah justru dengan sebaliknya: menggunakan kekuatan indera, rasio dan kesucian hati sekaligus secara maksimal. Menurut mereka, ilmu-ilmu rasional dan ilmu pasti tidak bisa dikesampingkan dalam rangka menggapai pengetahuan yang benar yang dipancarkan Tuhan. Jelasnya, epistemologi dilakukan dengan pensucian hati dan mempergunakan sarana indera dan rasio secara maksimal: observasi, ekperimen, penalaran dan sejenisnya, sehingga apa yang dilakukan mendapat bimbingan langsung dari Tuhan.[35]

C. Kritik Nilai (Aksiologi).
Setelah mendapatkan pengetahuan, untuk apa ia dipergunakan? Dan kemana perkembangan ilmu harus diarahkan? Inilah yang dinamakan aksiologi: kajian yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang telah diperoleh.
Menghadapi persoalan ini ada dua kelompok pendapat. Pertama, ilmu bersifat netral terhadap nilai-nailai, baik ataupun buruk.[36] Tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan itu sendiri dan terserah orang lain untuk mempergunakannya: untuk tujuan baik atau jahat. Kedua, netralitas ilmu terhadap nilai hanya sebatas metafisika keilmuan, sedang dalam penggunaannya, bahkan pada pemilihan objek penelitian sendiri, kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral. Pendapat kedua ini didasarkan atas kenyataan faktual yang ada di masyarakat. (1) Ilmu secara faktual cenderung --bahkan telah-- digunakan secara destruktif oleh manusia dengan terjadinya perang dunia dua kali yang mempergunakan teknologi keilmuan. (2) Ilmu telah berkembang pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila ada penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian pesat dimana terjadi kemungkinan bahwa ilmu merubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika, kloning dan teknik perubahan masyarakat (social engineering).[37] Berdasarkan tiga hal tersebut, maka ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakekat kemanusian.
Senada dengan itu, al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian: fardlu ain dan fardlu kifayah.[38] Pembedaan tersebut didasarkan atas tingkat keutamaan dan kemanfaatannya dalam kehidupan bermasyarakat yang terus berkembang dan berubah. Ilmu-ilmu yang dalam kategori fardlu ain harus lebih didahulukan daripada yang fardlu kifayah, karena ia lebih penting dan mendesak diketahui demi kebaikan agama dan masyarakatnya. Jelasnya, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, meski dalam “teorinya” bisa demikian. Ia berkaitan erat dengan soal kemanusiaan: apakah ia membawa kebaikan atau kejahatan pada kemanusia. Pengembangan ilmu pengetahuan harus mendahulukan dan mengarahkan diri pada kemanfaatan dan peningkatan derajat kemanusiaan, bukan justru sebaliknya.

Catatan Kaki
[1] Jujun S. Suriasumantri membatasi kajian ilmu pada masalah ini, yang dapat dicapai oleh pengalaman manusia, yang itu sangat “empiris”. Sehingga, menurutnya, ilmu tidak bisa menggapai sesuatu yang ghaib dan ruhani. Lihat, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta, Sinar Harapan, 1996), 91. Jujun tampak sangat dipangaruhi filsafat Barat yang memang empiris dan tidak kenal pengalaman ruhani. Nanti akan dijelaskan, betapa dalam Islam, khususnya sufisme, pengalaman manusia tidak hanya terbatas pada yang “empiris” tetapi juga “non-empiris”, sehingga ontologi dalam Islam tidak akan sama dengan yang di Barat, meski di sana dikenal masalah yang sama.
[2] Lihat Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj HM. Rasjidi (Jakarta, Bulan Bintang, 1984) 291-410.
[3] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 66.
[4] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj Soejono Soemargono, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1996), 220-223. Akan tetapi, materialisme disini tidak bisa disamakan dengan paham materialisme dalam bidang ekonomi yang dikembangkan Karl Marx yang kemudian melahirkan Marxisme-Komunisme.
[5] Ibid, 224-227.
[6] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 68. Penulis tidak menemukan sumber lain yang menyatakan tidak demikian, yang mempersoalkan apakah tokoh seperti Descartes, John Locke dan Berkeley benar-benar bisa dimasukkan sebagai penganut paham dualisme. Sepanjang pengetahuan penulis, Descartes dikenal tokoh rasionalis, sedang dua tokoh berikutnya dikenal sebagai penganut empirisme dalam epistemologi. Barangkali, yang dimaksud Jujun disini adalah dualisme epistemologi, bukan dualisme ontologi. Lihat, Kattsoff, Pengantar Filsafat, 155.
[7] Lihat al-Hamadani, Tahmidat, (Taheran, Publications de l’Universite de Taheran, 1962). Menurut Arbery, kitab ini ditulis pada tahun 512 H/ 1127, (yang berarti 4 abad lebih dahulu dari Descartes), yang menyebabkan ia dituduh kufur kemudian dihukum mati oleh penguasa. Lihat AJ. Arberry, terj. Ilyas Hasan, dalam kata pengantar buku Apologi Sufi Martir, (Bandung, Mizan, 1987), 11. Menurut Al-Hamadani, apa yang ada ini tersusun atas kebaikan dan kejahatan sekaligus, keimanan Rasulullah dan kekufuran Abu Jahal, ketundukan malaikat dan pengingkaran Iblis. Tidak ada yang disebut baik tanpa adanya yang jahat, tidak ada keimanan tanpa kekufuran dan tidak ada kesujudan malaikat tanpa pembangkangan Iblis. Itulah hakekat segala yang ada.
[8] Pruralisme ini mengikuti istilah yang diberikan Koento Wibisono. Pemahaman yang sama bisa dilhat pada Louis Kattssoff, tapi dengan istilah “Hylomorfisme”. Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, 227-231.
[9] Lihat Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam A Study in Islamic Philosophies of Science, (Kuala Lumpur, Institute for Policy Researh, 1992), 117-119. Atau lebih jelas, lihat pada al-Farabi, “Al-Siyasah al-Madaniyah”, dalam Rasail, (Haiderabat, Dar al-Maarif al-Usmani, 1345 H).
[10] Osman Bakar, Tawhid and Science, Essays on the History and Philosophy of Islamic Science, (Malaysia, Secretariat for Islamic Philoshophy and Science, 1991), 32-33.
[11] Pembahasan mendalam tentang masalah “ketuhanan”: tentang hakekat waktu, hakekat sifat, hakekat nama dan sejenisnya ini telah diuraikan secara sitematis dan bagus oleh Ibrahim Al-Jilly, seorang tokoh sufi penganut madzhab Ibn Arabi, yang gagasannya kemudian mengilhami Hamzah Fansuri (w. 1016 H) menelorkan konsep “martabat tujuh”, yang turun di Jawa menjelma menjadi ajaran kebatian, antara lain wahyu Hidayat Jati dan lain-lain. Lihat Ibrahim Al-Jilly, Al-Insan Al-Kamil, (Bairut, Dar Al-Fikr, tt), terutama pada jilid pertama. Tentang konsep Ibn Arabi pada masalah ini, lihat misalnya Husaien Nashr, Tsalasah Hukama Muslim, (Bairut, Dar Al-Nahar, 1971), 115 dan seterusnya.
[12] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 120. Tentang sarana penyunanan ilmu, lebih jelas lihat halaman 165 dan seterusnya. Disana Jujun tidak hanya menyebut bahasa dan logika, tetapi juga matematika dan statistik. Diuraikan juga apa makna bahasa dan kekurangannya, falsafat matematika dan hubungannya dengan peradaban manusia dan seterusnya.
[13] Lebih jauh uraian tentang auturan-aturan logis ini, lihat pada Verhaak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta, Gramedia, 1997), 17-26.
[14] Lebih jelas tentang ini, lihat Kenneth T. Gallagher (Hardono Hadi), Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 135. Menurut Kenneth, pemikiran induksi terdiri atas dua model: induksi tidak lengkap dan induksi lengkap. Definisi diatas diambil dari model induksi lengkap, yakni bahwa semua contoh diambil untuk digunakan sebagai modal generalisasi. Induksi tidak lengkap hanya mengambil beberapa contoh --tidak semuanya-- untuk mengeneralisasikannya.
[15] Ibid, 136-139. Perlu diketahui, David Home adalah pengikut paham rasionalisme yang umumnya tidak menggunakan penalaran induksi tapi deduksi.
[16] Tentang para tokoh empirisme, lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 31-35.
[17] Ibid, 1, 48.
[18] Ibid, 2, 109-110.
[19] Kasstoff, Pegantar Filsafat, 137.
[20] Dalam aliran positivisme, apistemologi yang ditawarkan adalah melalui observasi, eksperimen, komparasi dan eksposisi. Karena itu, pengetahuan yang bisa diterima harus bersifat nyata, kongkrit dan pasti. Dampak buruk dari aliran ini, ketika seseorang menganggap bahwa yang baik harus juga bersifat positif, maka yang terjadi kemudian pereduksian ruhani dan metafisika. Roger Garaudy telah menjelaskan sisi-sisi negatif aliran ini dengan cukup baik dalam bukunya, Al-Islam wa Asmah Al-Gharb, (Jeddah, Alam Al-Maarif, 1983).
[21] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 120.
[22] Penggunaan metode deduksi secara mudah digunakan dalam ilmu-ilmu pasti. Lebih jauh tentang masalah ini, lihat Verhaak & Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 81 dan seterusnya. Lihat pula, Berling dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997), 23-50.
[23] Kasstoff, Pengantar Filsafat, 139.
[24] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, 18 dan seterusnya. Kattsoff, Pengantar Filsafat, 139-141.
[25] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, 38-45
[26] Ibid, 18 dan seterusnya: Kenneth G. Gallagar, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, 28-42.
[27] Istilah ini mengikuti apa yang sampaikan Prof. Koento Wibisono dalam kuliah Filsafat Ilmu 18 Mei 1998. Akan tetapi, menurut Kattsoff, metode yang dibawa Kant bukan rasional kritis tapi fenomenologi dengan berbagai alasan. Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, 141-144. Menurut hemat penulis, dari beberapa sisi, ajaran Kant barangkali memang bisa dikategorikan fenomenologi karena telah “melewati” pengalaman, tetapi belum sepenuhnya. Atau belum sempurna sebagaimana yang kemudian diberikan Edmund Husserl (1859-1938), sehingga cukup diberi istilah rasionalisme kritis: metode yang diatas rasional --karena telah terintegrasi dengan pengalaman-- tapi masih dibawah fenomenologi yang sesungguhnya, karena belum benar-benar menembus pengalaman.
[28] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, 140 dan seterusnya. Tetapi, melihat tujuan dan hasil yang diperoleh, metode fenomelogi Husserl hampir mirip dengan metode intuisinya Henri Bergson (1859-1941). Dikatakan bahwa hasil intuisi adalah kenyataan sesuatu, bukan hanya tanpak dari sesuatu. Sedemikian, sehingga intuisilah yang berhasil menyingkap keadaan yang senyatanya. Lihat, Kattsoff, Pengantar Filsafat, 144-146.
[29] Akan tetapi, dalam referensi yang lain, pelaksanaan metode fenomenologi tidak seperti ini. Menurut Dhavamony, fenomenologi berusaha menanggap hakekat dengan cara memahami pendapat atau pandangan yang berbeda tentang sebuah sebuah fenomena. Sedemikian, sehingga dari situ bisa dipahami makna fenomena secara konprehensif. Jadi tidak dengan melalui jalan penyadaran diri seperti dikatakan Huseerl. Lihat, Dhavamony, Fenomenology Agama, (Yogyakarta, Kanisius, 1995), 42-43.
[30] Kecuali, terutama, Al-Farabi. Menurut Al-Farabi, rasio adalah alat utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan. Dalam kitabnya yang terkenal, Ihsha Al-Ulum, Al-Farabi menempatkan ilmu-ilmu logika dalam tataran paling atas, bahkan diatas ilmu-ilmu agama, seperti fiqh dan kalam. Menurutnya, rasio melalui metafisika mampu menggapai kebenaran tertinggi. Lihat Al-Farabi, Ihsha Al-Ulum, (Kairo, Dar Al-Fikr Al-Arabi), 98-113.
[31] Kattsoff, Pengantar Filsafat, 144-145.
[32] Al-Ghazali membagi para mencari pengatahuan menjadi empat golongan: kaum mutakallimun (rasionalisme), filosof, kebatinan dan sufisme. Dua kelompok pertama sama-sama menggunakan rasio, dua kelompok terakhir menggunakan jalan intuitif. Menurut Al-Ghazali, golongan terakhir inilah yang benar-benar mencapai kebenaran. Lihat, A-Munqid min Ad-Dlalal, (Bairut, Al-Maktabah As-Sya’biyah, tt),33 dan seterusnya. Uraian tentang sarana mencapai pengetahuan, lihat kitab yang sama, hal. 68 dan seterusnya.
[33] Tahapan-tahapan ini persis yang disampaikan Husserl dalam kerangka fenomenologinya: reduksi fenomenologi, aidetis, dan transental.Tentang cara bagaimana subjek menjalani takhliyah dan tahliyah, lihat Al-Ghazali dalam Adab fi al-Din (Bairut, Al-Maktabah As-Sya’biyah, tt).
[34] Tentang ajaran Suhrawardi, lihat Mehdi Aminrazavi, Pendekatan Rasional Suhrawardi Terhadap Problem Ilmu Pengetahuan, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 7 Nov-Dese 1992. Epistemologi Al-Farabi, Lihat Osman Bakar, Classification of Knowledge, 89-116: Ibn Sina, Lihat Osman Bakar, Tawhid dan Science, 29 dan seterusnya.
[35] Pada tokoh-tokoh modern, gagasan ini bisa dilihat misalnya pada Nuquaib Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science, (Malaysia, ISTAQ, 1989), 33 dan seterusnya. Lihat pula, Ali Syariati, Islam madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung, Mizan, 1992), 19 dan seterusnya.
[36] Tentang apa yang dimaksud baik dan buruk, lihat Kattsof, Pengantar Filsafat, 325 dan seterusnya: Franz Magnis Susana, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta, Kanisius, 1997).
[37] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 235.
[38] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I, (Bairut, Dar Al-Fikr, tt) 14 dan seterusnya. Lihat pula uraian al-Ghazali dalam kitabnya, Risalah Laduniyah, (Bairut, Dar Al-Fikr, tt)

2 komentar:

Yd.I Senin, Juni 01, 2009  

Artikel Ikhwan panjang-pangjang dan sangat menarik. Maaf kalau boleh saya memberi saran positif...Saya pikir Blog Ikhwan akan kelihatan lebih propessional dan lebih enak dilihat apabila satu posting perhalaman atau dibagi-bagi. Hal ini dikarenakan artikel ikhwan cukup panjang.
Semoga bermanfaat. Terima kasih.

A Khudori Soleh Jumat, Desember 04, 2009  

Salam. Mksh sarannya. Skrg dah dibuat menjadi lebih pendek, dengan model read more. Smg bermanfaat

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP