Senin, April 20, 2009

Rationalism

FILSAFAT RASIONALISME
Oleh: A. Khudori Soleh
Ketika pemikiran renaissance mencapai penyempurnaan pada diri para tokohnya pada abad XVII, muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan, yakni rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah aliran filsafat yang menekankan dan berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang dicapai melalui akal yang dinilai memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Aliran ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan GW. Leibniz (1646-1716).[1]
Sebaliknya, empirisme adalah aliran filsafat yang menekankan dan berpendapat bahwa pengalaman --lahiriyah maupun batiniyah-- adalah sumber pengetahuan. Rasio atau akalbudi bukan sember pengetahuan tetapi ia hanya bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah induksi. Tokoh-tokohnya antara lain, Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704).[2]
Tulisan ini memaparkan salah satu dari dua aliran filsafat di atas, yakni rasionalisme, dari segi prinsip-prinsip ajarannya dan pokok-pokok atau metodologi pemikiran yang digunakan tiga tokohnya di atas.

A. Pengertian & Ajaran Pokok.
Secara umum, pemikiran rasional menunjukkan pada modus atau cara pengetahuan diskursif, konseptual yang khas manusia.[3] Dengan demikian, rasional tidak sama dengan “intelektual”, karena tidak semua pengetahuan intelektual harus terdapat dalam konsep-konsep. Pemahaman tentang keindahan, misalnya, tidak bersifat diskursif dan pengetahuan mistisisme sama sekali tidak konseptual, tetapi keduanya tetap dianggap intelektual. Bahkan, kesadaran seseorang akan kegiatan mentalnya sendiri adalah intelektual, tetapi tidak perlu terikat pada konsep-konsep,[4] dan karena itu tidak termasuk dalam kategori rasional.
Dalam kaitannya dengan filsafat, dikenal dengan istilah rasionalisme. Yakni, pendekatan filsafat yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terbebas) dari pengamatan inderawi. Beberapa ajaran pokok rasionalisme, antara lain;
1. Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental, yang tidak dapat disangkal, (a) tentang apa yang ada dan mengenai strukturnya, (b) tentang alam semesta.
2. Realitas --atau beberapa kebenaran realitas-- dapat diketahui secara tidak tergantung pada pengamatan, pengalaman dan penggunaan metode empiris.
3. Pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang mendahului pengalaman apapun juga (tetapi yang bukan kebenaran analitis). Kebenaran-kebenaran ini adalah gagasan bawaan dan secara isomorfis cocok dengan realitas.
4. Akalbudi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu sistem deduktif yang dapat difahami secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman inderawi ini.
5. Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi-inderawi, tetapi dengan kriteria seperti konsistensi logis.
6. Terdapat metode rasional; deduktif, logis, matematis, inferensial, yang dapat diterapkan pada materi soal pokok apa saja dan yang dapat memberikan kita penjelasan yang memadai.
7. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian dapat dicapai dengan pikiran murni. Kepastian (dan keniscayaan) mutlak adalah ciri pokok dari realitas maupun dari semua pengetahuan yang benar.
8. Hanya kebenaran-kebenaran niscaya dan benar pada dirinya sendiri, yang timbul dari akal budi saja, yang dikenals ebagai benar, nyata dan pasti; semua yang lain tunduk pada kekeliruan, kesesatan, ilusi dan ketidakpastian.
9. Alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum dan rasionalitas (bentuk) logika. Ia adalah suatu sistem yang dirancang secara rasional (logis) yang aturannya cocok dengan logika.
10. Begitu logika dikuasai, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dianggap dideduksi dari prinsip-prinsip atau hukum-hukumnya. Ini berbeda dari aliran pemikiran seperti empirisme, positivisme-logis, intusionisme maupun relasionisme.[5]

B. Rene Descartes (1596-1650).
Rene Descartes atau Cartesius yang juga disebut “bapak filsafat modern”, yang gagasan-gagasannya kemudian melahirkan revolusi Cartesian, pada awalnya adalah seorang ahli hukum, ilmu kedokteran dan ilmu alam. Ia berambisi untuk membangun sebuah sistem tentang proposisi-proposisi yang benar yang tidak ada lagi sesuatu yang diasumsikan sebagai tidak jelas dan tidak pasti. Dalam pikiran Descartes, karena pengaruh ilmu alam, perkembangan ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu alam, bersifat jelas dan terpilah (clear and distinctly). Artinya, gagasan-gagasan atau ide-ide harus dapat dibedakan secara persis dari gagasan-gagasan atau ide yang lain.[6]
Untuk mencapai kebenaran yang jelas dan terpilah tersebut, tidak bisa didapat dari sesuatu yang berada diluar kita, seperti pengetahuan yang didapat dari hasil pengamatan indera terhadap realitas atau benda-benda diluar kita, sebab pengetahuan hasil indera adalah kabur dan tidak pasti.[7] Pengetahuan yang benar dan pasti harus didasarkan atas penilaian akal atau rasio sendiri. Karena itu, Descartes memulai filsafatnya dengan meragukan atau mempersoalkan eksistensi dan kesadaran diri sendiri. Benarkah kita ini ada? Benarkah kita ini sadar akan eksistensi diri sendiri?
Langkah pertama ini, meragukan diri sendiri dan segala sesuatu, adalah langkah yang paling mendasar, karena keraguan adalah cara untuk mencari yang pasti. Jika kita secara sistematis mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan, akan dicapai titik akhir yang tidak bisa lagi di ragukan, sehingga pengetahuan bisa dibangun diatas kepastian absolut ini. Descartes menyebut keraguan ini sebagai “keraguan metodis universal”. Universal karena direntang tanpa batas atau sampai keraguan itu membatasi dirinya sendiri; disebut metodis karena keraguan ini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif-filosofis sebagai suatu cara untuk mencapai kebenaran.[8] Artinya, keraguan bukan dalam makna kebingunan yang berkepanjangan melainkan sebagai upaya mempertanyakan yang di lakukan akalbudi. Keraguan yang dipraktekkan bukan demi keraguan sendiri melainkan sebagai tahap awal dalam mencapai kepastian, dalam menjaring yang benar dari yang salah, kepastian dari kemungkinan, dan yang pasti dari yang meragukan.[9]
Dari langkah pertama ini Descartes menghasilkan ungkapan yang sangat terkenal “cogito ergo sum” (aku berfikir maka aku ada). Ungkapan ini bersifat “jelas” (clear) dan “terpilah” (distinct), dan segala sesuatu yang bersifat “jelas dan terpilah”, bagi Descartes, adalah kebenaran. Ungkapan “aku berfikir” adalah jelas dan benar dengan dirinya sendiri, karena kita tidak bisa meragukan kegiatan berfikir, bahkan keraguan itu sendiri membuktikan kebenarannya.[10]
Selanjutnya, berkaitan dengan penggunaan kata “cogito” itu sendiri, ada dua hal yang patut diperhatikan. (1) Istilah “cogito” (berfikir) digunakan Descartes dalam arti yang luas, tidak semata-mata kegiatan penalaran, tetapi meliputi kegiatan sadar yang lain, seperti meragukan, memahami, membayangkan, berkehendak, berimajinasi dan merasa. (2) Meski secara harfiyah kata “cogito” bisa diterjemahkan dengan “berfikir”, namun yang dimaksud sebenarnya adalah “menyadari”, “aku menyadari maka aku ada”, karena Descartes berkesimpulan sebagai aku yang sadar; bahwa “yang sadar” atau kesadaran itu adalah “aku” yang secara langsung mengenal diriku sendiri, yang dikenal dengan istilah “imanentisme Descartes”, yang dalam filsafat dikenal dengan istilah “primum philosophicum” (kebenaran filsafat yang pertama). Di sini Descartes hanya mengakui kebenaran dirinya sendiri dan meragukan yang di luar dirinya. Dengan demikian, langkah pertama ini, meragukan segala sesuatu, digunakan untuk menemukan kesadaran individual.[11]
Langkah kedua, memahami keberadaan sesuatu yang jelas dan tegas lain yang sempurna tanpa batas yang melampaui kemampuan dan kesempurnaan manusia. Pemahaman ini penting,
(1) karena dalam diri kita memang muncul ide adanya sesuatu yang sempurna tanpa batas. Ide ini tidak mungkin lahir dari diri kita sendiri yang terbatas, yang tidak bisa menyebabkan munculnya dirinya sendiri. Dengan demikian, ide tersebut pasti muncul dari “luar”, dari sesuatu yang maha sempurna itu sendiri, yang disebut “Tuhan”.[12]
(2) Jika Tuhan yang maha sempurna diyakini dan benar adanya, maka Dia pasti menjamin kebenaran rasio atau kerja akalbudi, sebab sesuatu yang maha sempurna tidak mungkin membiarkan sesuatu berbuat salah atau terjadi kesalahan. Paling tidak, Dia tidak akan menipu kita dalam soal yang ditunjukkan oleh akal sebagai sesuatu yang jelas dan terpilah-pilah.[13]
Dengan konsep ini, Descartes agaknya bermaksud mengokohkan dan “mengabsahkan” kerja akal, karena apa yang diputuskan akal telah atas “sepengetahuan” dan “restu” Tuhan, sehingga bisa dijadikan pondasi pengetahuan dan alat untuk mengenal hal-hal diluar pikiran. Dalam konsep Descartes, tata kerja rasio tidak mentaati hal-hal yang diluar karena pengetahuan dari luar yang di hasilkan oleh pengamatan indera tidak mampu memberikan keterangan tentang hakekat dan sifat-sifat dunia yang diluar. Kerja rasio hanya taat pada hukum-hukumnya sendiri, dan hasilnya itulah justru yang digunakan untuk menilai yang diluar.[14]
Sampai disini, pemikiran Descartes masih berputar pada eksistensi diri sendiri dan kesadarannya sendiri yang sistem panalarannya terbimbing oleh eksistensi lain yang maha sempurna, Tuhan. Masih sangat subjektif. Persoalannya, bagaimana Descartes mengatasi keraguan tentang dunia riil dari benda-benda materiil diluar dirinya? Bagaimana menghadapi adanya kenyataan dunia luar?
Untuk hal itu, Descartes menggunakan dua jalan, (1) kodrat dari pengada sempurna, Tuhan, (2) kodrat dari pengalaman inderawi. Namun, pengalaman inderawi ini bukan hasil ciptaan kesadaran sendiri melainkan data yang muncul secara paksa yang tidak sesuai dengan kehendak kita. Misalnya, kita harus --dengan terpaksa-- mengatakan bahwa baja ini keras dan tidak enak. Kita tidak bisa mengatakan semaunya, “Mari kita nikmati baja yang empuk dan enak ini”. Jadi kita dipaksa menerima ide “baja yang keras dan tidak enak”. Artinya, kita bukan pencipta atau penyebab munculnya ide tersebut. Dengan demikian, data yang kita rasa pasti mempunyai eksistensi sendiri dan berasal dari penyebab lain dari kita.[15]
Persoalannya kemudian, bagaimana Descartes bisa memahami objek luar tersebut secara jelas dan disting? Sebab, ia tidak mengakui pemahaman lewat indera, karena menganggap bahwa penangkapan indera mengandung banyak kekaburan dan kekacauan.[16]
Untuk mengatasi hal ini, seperti 10 kategori Aristoteles, Descartes menggunakan pengertian tertentu, yakni substansi, artibut (sifat dasar) dan modus. (1) Substansi adalah apa yang berada sedemikian rupa, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. (2) Atribut adalah sifat asasi yang menentukan hakekat substansi tersebut. Sifat asasi ini mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan. (3) Modus adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah.[17]
Dalam pengertian yang lebih mudah bisa dikatakan bahwa segala substansi memiliki atribut berupa keluasan (extentio) dan memiliki modus berupa bentuk lahiriyah serta gerakan dan perhentiannya. Dengan demikian, setiap benda (objek) tidak memiliki ketentuan kualitatif melainkan hanya kuantitatif, sehingga segala hal yang bersifat bendawi, pada hakekatnya, adalah sama. Perbedaan yang ada bukan sesuatu yang asasi tetapi hanya tambahan (modi).

C. Baruch Spinoza (1632-1677).
Baruch Spinoza (Benedict Spinoza atau Despinoza) adalah keturunan Yahudi berkebangsaan Belanda, dikenal sebagai pemikir revolusioner pada zamannya, paling ambisius dan tak kenal kompromi. Ia seorang filosof modern yang dengan lantang mengajarkan “Tuhan imanensi yang dinamis” untuk menggantikan ide tentang “Tuhan transendensi yang statis”, dan ide-ide kefilsafatannya didominasi oleh ide-ide ketuhanan tetapi justru dituduh atheis.[18]
Sebagai tokoh yang lahir kemudian, pemikiran Spinoza tidak bisa lepas dari pengaruh para pendahulunya, khususnya Descartes. Setidaknya ada empat hal pengaruh Descartes terhadap Spinoza. (1) tentang metode, (2) berkaitan dengan istilah-istilah teknis, (3) soal argumen ontologis tentang Tuhan, (4) soal hubungan antara jiwa dan badan. Meski dalam beberapa hal Spinoza setuju dengan pandangan Descartes tetapi dalam aspek lain Spinoza dianggap sebagai koreksi terhadap kekurangan filsafat Descartes atau tradisi Cartesian.[19]
Sebagaimana Descartes, Spinoza ingin mencari sesuatu yang pasti dan menganggap bahwa setiap langkah dari pencarian kepastian adalah satu-satunya jaminan bagi ilmu pengetahuan. Namun, Spinoza tidak berusaha membentuk suatu sistem dalam premis tunggal yang tidak dapat diragukan seperti “cogito”. Bahkan, pernyataan “cogito” Descartes tidak berarti baginya. (1) Pernyataan itu hanya merupakan kebenaran contingent (tidak mutlak), padahal semua kebenaran harus disandarkan pada sesuatu yang mutlak. (2) Pernyataan itu juga mengekang eksistensi “orang pertama”, fihak yang meragukan, sementara bagi Spinoza, jalan menuju kebenaran filsafat hanya ada jika kita meninggalkan kesibukan (pengalaman dan mentalitas) untuk kemudian mengamati objek secara rasional dan tanpa memihak.[20]
Kekuatan rasio, sama seperti pada Descartes, adalah alat untuk mencari kepastian dan kebenaran pada pemikiran Spinoza. Bedanya, pada Descartes, kebenaran dari kerja sistem rasio telah dijamin oleh Tuhan selama kita tidak berusaha menipu diri sendiri, seperti dengan berfikir secara tidak baik atau menerima sesuatu yang tidak jelas dan pasti. Pada Spinoza, Tuhan atau substansi tak terbatas adalah alam yang rasional yang sifat-sifatnya berkembang dalam penalaran. Tuhan bukan pencipta tetapi alam itu sendiri, sehingga tidak ada jarak yang riil metafisis antara Tuhan dan alam. Keduanya adalah satu prinsip identitas yang berbeda dalam perspektif. Pada satu aspek ia adalah natura naturans, sebagai proses aktif dan vital, sebagai alam yang mencipta; dari aspek yang lain adalah natura naturata, sesuatu yang diciptakan.[21]
Karena itu, bagi Spinoza, apa yang disebut Descartes sebagai ide-ide yang jelas dan terpilah (clear & distinct) dalam pemikiran manusia adalah ide-ide Tuhan. Ide-ide itu pasti secara sempurna dan pada dirinya sendiri menjadi jaminan kepastian. Selanjutnya, karena Tuhan sekaligus realitas semesta itu sendiri, maka ide-ide tersebut pasti sesuai dengan ideatum atau objeknya. Namun demikian, Spinoza masih membedakan pemikiran yang mengandung kebenaran secara intrinsik dan pemikiran yang kebenarannya hanya ekstrinsik. Kebenaran ekstrinsik adalah pemikiran yang terdiri hanya kesesuaian mutlak dengan objeknya, sedang kebenaran intrinsik adalah pemikiran yang benar-benar sesuai dengan objek. Diantara situasi mental, kita bisa membedakan mana yang lebih dan kurang sesuai dengan realitas yang menjadi objek kajian.[22]
Sejalan dengan itu, Spinoza membagi pengetahuan dalam tiga tingkatan; pengetahuan hasil pengamatan indera, pengetahuan hasil renungan akal sehat dan pengetahuan hasil intuisi. Menurut Spinoza,[23] diantara tiga macam pengetahuan tersebut, hanya pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio dan intuisi yang bisa disebut pengetahuan yang sesungguhnya, yang dijamin oleh kemampuan intelek manusia. Sementara itu, pengetahuan hasil pengamatan indera tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan, karena tidak bisa ditetapkan subjektif dan objektifnya, sehingga mengakibatkan gambaran-gambaran yang kacau dalam imajinasi.

D. GW. Leibniz (1646-1716).
Gottfried Wilhelm Leibniz, selain dikenal sebagai seorang filosof, ia juga orang Jerman yang ahli hukum, ahli sastra, ilmu pasti, ilmu alam, teologi dan sejarah. Ia hidup pada masa revolusi ilmiah sekaligus masa kekacauan akibat perang besar yang dikenal dengan “perang 30 tahun”. Karena itu, pikiran-pikiran Leibniz berusaha menyatukan berbagai konflik, baik dalam konflik agama antara Protestan dan Katolik, konflik realisme dan nominalisme, juga pertentangan antara ilmu, teologi dan filsafat.[24]
Untuk tujuan-tujuan itu, Leibniz membangun sebuah paradigma yang dikenal dengan prinsip “non-contradiction” (hukum tak bertentangan). Yakni bahwa ada hukum dasar rasio yang jika diterapkan secara tepat akan bisa menentukan struktur realitas. Artinya, dengan mematuhi aturan-aturan rasio yang ketat dan terbimbing oleh “sinar kodrati” (istilah Descartes), akan bisa sampai pada suatu penjelasan tentang hakekat sebuah objek, yang itu berarti ada kecocokan diantara keduanya. Karena itu, Leibniz yakin bahwa ilmu alam adalah mikrokosmos, perwujudan dunia sebagaimana yang di tampilkan secara sistematis, dan dunia nyata yang kita lihat hanya bisa dikenal lewat penerapan aturan-aturan rasio diatas, sehingga tanpa itu kita tidak akan bisa melakukan penelitian ilmiah.[25]
Prinsip non-kontradiksi di atas didasarkan atas dua epistemologi yang berbeda, yakni “kebenaran logis” (kebenaran pasti) dan “kebenaran fakta” (kebenaran pengalaman). Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa kebenaran logis bersifat analitik sedang kebenaran fakta bersifat sintetis. Kebenaran fakta yang berkaitan dengan prinsip “alasan yang mencukupi” (sufficient reason) menandaskan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang terjadi tanpa penjelasan yang cukup.[26]
Karena adanya perbedaan epistemologi ini pula, Leibniz membagi pengetahuan dalam dua bagian. (1) Pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran eternal atau kebenaran logis. Pengetahuan ini didasarkan atas prinsip identitas dan prinsip kontradiksi: A adalah A, dan selamanya A tidak akan bisa menjadi non-A. Prinsip ini bukan hasil dari penemuan ilmiah tetapi sesuatu yang bersifat aksiomatik. Kebenarannya memang tidak memberikan pengetahuan tentang dunia fenomenal tetapi tanpa prinsip ini tidak mungkin kita dapat berfikir logis. (2) Pengetahuan yang didasarkan atas observasi atau pengamatan. Kebenaran pengetahuan ini tidak ditentukan oleh proposisi yang self-evident melainkan ditentukan oleh hubungan diantara proposisi-proposisi yang ada.[27]

E. Penutup.
Berdasarkan uraian ketiga tokoh filsafat rasionalisme di atas, ada beberapa hal yang patut disampaikan.
1. Pemberian kedudukan sentral pada kekuatan rasio dan subjek sebagai titik tolak kefilsafatan. Ini berarti bahwa kaum rasionalis --khususnya Descartes yang muncul paling awal-- memutuskan hubungan dengan otoritas filsafat sebelumnya, khususnya Aristoteles, dan memulai dari awal.
2. Adanya penggunaan tata kerja yang jelas dan terpilah (clear & distinct) dalam mencari kepastian dan kebenaran. Ini suatu tata kerja baru yang berbeda dengan tata kerja kaum filsafat sebelumnya yang banyak menggunakan istilah-istilah “kosong”, seperti kaum skolastik. Tata kerja ini memberikan arah yang pasti kepada pemikiran modern, yang orang juga menjadi mengerti tentang aliran-aliran filsafat yang muncul darinya dikemudian hari; idealisme dan positivisme.
3. Memberikan dasar intelektual yang kokoh bagi eksistensi Tuhan yang menjadi kriteria seluruh kebenaran, seluruh pengetahuan dan pemahaman.
Namun demikian, hal itu bukan berarti bahwa pemikiran mereka tanpa persoalan. Pada Descartes dan Spinoza, misalnya, ketika kebenaran sistem kerja rasio dijamin Tuhan, bagaimana keduanya mempertanggung-jawabkan kemungkinan munculnya kekeliruan? Jika Tuhan diperlukan untuk menjamin kepastian rasio, bagaimana kita bisa diyakinkan tentang eksistensi Tuhan dan bahwa Dia mempunyai kemampuan tersebut? Tidakkah kesimpulan tentang eksistensi Tuhan --dan kebenaran rasio-- hanya merupakan lingkaran setan?
Selain itu, untuk Spinoza, jika Tuhan dan alam adalah “monisme logis”, berarti manusia dengan segala aktivitasnya bukan makluk yang mandiri. Ia tidak bebas, karena segala tingkah lakunya telah ditentukan sebelumnya secara logis-fatalistik. Jika demikian, apa artinya manusia mencari kepastian dan kebenaran? Juga bagaimana menjelaskan kenyataan adanya pluralitas semesta? Adakah ini hanya ilusi?

Catatan Kaki
[1] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), 930.
[2] Ibid, 197-9.
[3] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung, Rosdakarya, 1995), 277; Loren Bagus, Kamus Filsafat, 928.
[4] Loren Bagus, Kamus Filsafat, 356-7.
[5] Ibid, 930; Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, 277.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat- 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1999), 19.
[7] Dalam hal ini, Descartes, sesungguhnya, bukan orang yang pertama. Beberapa abad sebelumnya, al-Ghazali (1058-1111), seorang tokoh filsafat dan sufistik muslim telah meragukan pengetahuan hasil pengamatan indera, sehingga mengalami krisis epistemologis. Lihat A. Khudori Soleh, Kegelisahan al-Ghazali Otobiografi Intelektual, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998), 17.
[8] Copleston, A History of Philosophy, IV, (London, Burn Oates, 1958), 88-89.
[9] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogya, Pustaka Pelajar, 1998), 23.
[10] Loren Bagus, Kamus Filsafat, 143; Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, terj. Zainal Arifin, (Jakarta, Panca Simpati, 1986), 34.
[11] Rene Descartes, A Discourse on Method, trans. John Veith, (London, Dent & Sons, 1957), 167. Referensi lain, lihat Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hadi, (Yogya, Kanisius, 1997), 33-4.
[12] Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta, Galia Utama, 1986), 77. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Descartes adalah seorang filosof yang theistik.
[13] Ibid, 78. Dengan konsep yang kedua ini, pemikiran Descartes berarti tidak berbeda dengan pemikiran teologi kaum Muktazilah dalam Islam. Mereka menyatakan bahwa dengan rasio belaka, seandainya tidak diturunkan agama dan seorang nabi, manusia telah mampu mengenal dan menentukan baik-buruk, karena akal (rasio) adalah ‘bagian’ dari Tuhan. Bahkan, kedatangan seorang nabi dianggap bertentangan dengan akal sehat. Tokoh muslim yang menyatakan ini diantaranya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-925), yang sekitar 6 abad sebelum Descartes. Lihat Ibrahim Madkur, Filsafat Islam Metode & Penerapannya, terj. Yudian W, (Jakarta, Rajawali, 1996), 104-109.
[14] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, 22; Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 70.
[15] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, 38.
[16] Ralph M. Eaton (edit), Descartes Selections, (New York, Schribner’s, 1927), 154.
[17] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, 23. Sejalan dengan ini, Descartes menyatakan bahwa idea yang jelas dan terpilah-pilah ini ada tiga bagian; kesadaran sendiri (res cogitans) yang berupa jiwa sang pemikir, keluasan (res extensa) untuk dunia material termasuk tubuh manusia, dan yang sempurna (ens perfectissimum) yakni Tuhan. Lihat Verhaak & Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Gramedia, 1997), 100.
[18] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, 29.
[19] Ibid, 30-1.
[20] Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, 57.
[21] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, 33-5. Dengan demikian, ide Spinoza tentang Tuhan tidak dimulai dari pikiran sebagaimana yang terjadi pada Descartes tetapi langsung pada essensinya sendiri. Selain itu, dalam kaitannya dengan ontologis, bahwa dalam realitas ini hanya ada satu substansi, Tuhan atau alam itu sendiri. Ini berebda dengan Descartes yang mebagi substansi menjadi tiga; kesadaran diri, Tuhan dan alam.
Pemikiran “wahdat al-wujud” dari Spinoza ini, jika dikaitkan dengan pemikiran filsafat Islam, sesungguhnya bukan hal yang baru. Sebelumnya, pemikiran seperti ini pernah disampaikan oleh Ibn Arabi (1165-1240), kemudian diteruskan oleh muridnya, Ibrahim al-Jilli (1365-1460). Untuk refernsi dua tokoh Islam ini, lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta, Paramadina, 1995); Ibrahim al-Jilli, Insan Kamil Ma`rifat al-Awahir wa al-Awail, (Beirut, dar al-Fikir, tt).
[22] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, 29; Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, 65.
[23] Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, 57; Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, 29-30. Pembagian ini sama seperti yahng dilakukan al-Ghazali (1058-1111), tokoh filosof muslim beberapa abad sebelumnya. Bedanya, al-Ghazali hanya mengakui pengetahuan intuisi saja yang bisa dipertanggung-jawabkan, sementara pengetahuan hasil renungan rasio tidak, apalagi hasil pengamatan inderawi. A. Khudori Soleh, Kegelisahan al-Ghazali Otobiografi Intelektual, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998); al-Ghazali, al-Munqid min al-Dlalal, (Beirut, Dar al-Fikir, tt).
[24] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, 39. Dalam Islam, kenyataan seperti ini juga pernah terjadi pada diri al-Ghazali. Ia berusaha mendamaikan antara fiqh dan tasawuf, dan antara teologi dengan filsafat, setelah melihat banyaknya pertentangan dan perpecahan dalam amsyarakat agamanya. Lihat al-Ghazali, al-Munqid min al-Dlalal, (Beirut, Dar al-Fikir, tt).
[25] Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, 79.
[26] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, 41.
[27] Ibid, 40.

Pernah diisampaikan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Oksidentalistik, pada PPs IAIN “Sunan Kalijaga”, Yogyakarta, di bawah bimbingan Dr. Hj. Alef Therea Wasim, MA, tahun 2000

0 komentar:

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP