Minggu, Oktober 18, 2009

Improve the Quality of Lecturer by Writing

Meningkatkan Mutu Dosen dengan Menulis
Oleh: A Khudori Soleh
Salah satu cara yang sering ditempuh oleh Perguruan Tinggi untuk meningkatkan mutu dan profesionalitas dosennya adalah dengan mengirim mereka untuk belajar ke strata pendidikan yang lebih tinggi, Magister atau Doktor. Ini memang salah satu dari sekian banyak cara yang --secara formal-- agak "menjamin". Akan tetapi, benarkah kualitas mereka secara otomatis akan menjadi baik dan profesional setelah menyabet gelar Master atau Doktor?
Pertanyaan ini patut direnungkan berkaitan dengan fenomena yang ada. Pertama, saat ini semakin marak adanya program pendidikan S-2 di perguruan tinggi. PTN maupun PTS seolah saling berlomba untuk membuka program pascasarjana, sehingga sistem penyeleksian dan kelulusannya menjadi lebih longgar dan mudah. Direktur Sarana Akademik Dikti, beberapa tahun lalu, pernah menyatakan dan memperingatkan akan hal ini. Artinya, kualitasnya akan semakin "dimaklumi".
Kedua, munculnya banyak istilah yang bernada pesimis dan sinis terhadap kemampuan seorang pakar, seperti istilah GBHN (Guru Besar Hanya Nama), 'Doktor tukang', dan lain-lain, karena apa yang disampaikan dari forum ke forum, dari kuliah ke kuliah hanya itu-itu saja. Tidak ada wawasan atau pemikiran baru sebagai layaknya seorang pakar. Mereka sepertinya lupa bahwa mengajar tanpa pembaruan ilmiah dan informasi baru berarti sama artinya dengan mengajarkan kesesatan ilmiah. Sebab, apa yang dinamakan kebenaran ilmiah adalah relative, dalam arti apa yang dulu dinilai ilmiah belum tentu masih bertahan sebagai kebenaran pada saat ini. Kepala Biro Kalautan, Kedirgantaraan, Lingkungan dan Iptek Bappenas saat seleksi Riset Unggulan Terpadu (RUT) tahun 1994 lalu pernah mengatakan bahwa ternyata banyak dosen yang bergelar Doktor dan profesor tidak dapat mengajukan proposal penelitian buatan sendiri, tetapi dikerjakan oleh orang lain.[1]
Kualitas pakar atau dosen kita yang kurang layak ini dikarenakan mereka memang kurang dibiasakan atau kurang 'dipaksa' untuk banyak belajar, merenung dan berpikir. Jelasnya, mereka tidak pernah dipaksa untuk membuat tugas karya ilmiah secara rutin. Selesai mengikuti pendidikan program pascasarjana, kebanyakan mereka langsung kembali kepada kegiatan-kegiatan rutin di kampus, sehingga ilmunya tidak berkembang.Karena itu, kalau mahasiswa diharuskan membuat tugas, maka untuk mengembangkan kualitas dan profesionalitas dosen, mereka juga harus 'dipaksa' untuk membuat tugas, yaitu membuat karya ilmiah secara berkala. Tugas ini kemudian diajukan kepada sebuah tim yang terdiri atas para pakar dari berba­gai disiplin ilmu untuk menilai hasil karya mereka.
Dengan adanya tugas ini, mau tidak mau, para dosen akhirnya dituntut untuk lebih banyak belajar dan membaca. Kenyataannya, mereka memang dituntut untuk itu. Menurut sebuah penelitian, pada era informasi global seperti saat ini, seseorang harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata per-minggu (kpm) jika ingin tetap mempertahankan prestasi dan eksistensi­nya di tengah perubahan dan persaingan global. Jika dihitung dengan jam membaca, beban itu setara dengan membaca antara 4-6 jam per hari. Ini waktu yang tidak sedikit.[2]
Jika kemampuan membaca seorang dosen bagus, maka akan dapat di 'pastikan' bahwa kualitasnya juga akan semakin bagus. Pproduktivitasnya dalam melahirkan karya ilmiah juga akan meningkat. Ada hubungan yang sangat signifikan antara kemampuan membaca dengan produktivitas menulis karya ilmiah ini.
Di sisi lain, dengan semakin banyak karya tulis yang dihasilkan dan dipublikasikan, maka itu akan bisa mendorong segera tercapainya peningkatan kualitas masyarakat, sehingga perguruan tinggi tidak hanya menjadi lembaga untuk sekedar mencari gelar, tetapi benar-benar sebagai lembaga ilmiah dan pelopor perubahan masyarakat (agent of change). Secara matematis, kita dapat menghitung. Jika di sebuah Universitas ada sekitar 400 orang dosen, dan setiap dosen mampu menelorkan dua judul karya ilmiah dalam setahun, maka berarti sudah terlahir 800 tulisan ilmiah dalam setahun. Jika 50% dari tulisan tersebut di terbitkan, maka berarti akan ada satu tulisan atau satu gagasan baru muncul setiap harinya dari lembaga pendidikan tinggi yang bisa diakses masyarakat luas.

Sanksi Dosen.
Untuk memberlakukan dan menegakkan aturan ini, maka Fakultas atau Perguruan tinggi harus berani memberi sangsi kepada para dosen yang malas, yaitu dosen yang tidak produktif, tidak membuat karya ilmiah. Jadi tidak hanya memberikan sangsi kepada para mahasiswa yang 'mbeling' saja. Sanksi-sanksi tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Misalnya, seorang dosen yang tidak menulis karya ilmiah selama setahun tidak dipekenankan membimbing dan menguji skripsi, tesis atau disertasi. Secara finasial, sanksi ini cukup terasa berat. Sebab, honor bimbingan --dan kemudian ujian—skripsi, tesis atau disertasi merupakan salah satu dari masukan yang cukup lumayan.
Berikutnya, sang dosen diberi kesempatan selama setahun kedua untuk menghasilkan karya-karya tersebut, dengan format yang telah ditentukan dan disepakati, tentunya. Antara lain, misalnya, tulisan harus diterbitkan oleh jurnal ilmiah berakriditasi atau yang lain. Atau minimal, dipublikasikan koran nasional, misalnya. Jika sampai setahun kedua, seorang dosen tetap juga tidak bisa menghasilkan sebuah karya akademik, maka sanksinya ditambah. Yaitu, yang bersangkutan tidak diperbolehkan mencantumkan gelar akademiknya, Master, Doktor atau Profesor, meskipun masih diperbolehkan mengajar. Ini penting, sebab gelar akademik membawa konsekuensi adanya produk ilmiah. Seorang dosen yang tidak mampu atau tidak pernah menghasilkan karya ilmiah sendiri --karena sering terjadi seorang pakar yang karya ilmiah dibuatkan oleh sekretaris pribadi atau asistennya-- tidak layak mengguna­kan gelar tersebut.
Memasuki tahun ketiga, sanksinya makin bertambah. Jika sampai tiga tahun berturut-turut seorang dosen tidak mampu menghasilkan karya ilmiah, maka yang bersangkutan harus dicutikan sementara. Ia harus dibebaskan dari semua tugas mengajar, pembimbingan dan seterusnya, sehingga ada banyak waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian atau menulis karya ilmiah.
Jika selama masa cuti satu tahun yang bersangkutan belum juga mampu menghasilkan karya akademik, cutinya mungkin bisa diperpanjang satu tahun lagi sebagai peringatan terakhir. Tentu pada masa-masa cuti ini gaji tetap diberikan sehingga pencutian sementara ini mirip dengan sistem “sabbatical leave” di Perguruan Tinggi negara-negara maju.
Jika dalam masa satu tahun kesempatan terakhir ini --berarti selama empat tahun sejak tidak boleh membimbing skripsi-- dilewati dengan tanpa ada satupun karya ilmiah yang dihasil­kan, maka perguruan tinggi yang menaunginya harus rela dan tega untuk mempensiunkan dosen tersebut. Perguruan Tinggi yang tetap mempekerjakan dosen yang tidak mampu menulis karya ilmiah selama empat tahun, sulit dipertanggungjawabkan kualitasnya.

Kendala-Kendala.
Kendala pertama dan yang paling besar dari gagasan ini, mungkin akan muncul dari para dosen senior yang telah mapan. Sebagaimana dapat dipahami, system ini akan melahirkan perubahan dan menciptakan kompetisi. Para dosen senior yang telah mapan tetapi merasa tidak akan mampu berkompetisi dengan sistem seperti ini akan merasa terancam, sehingga mereka akan berusaha menentang sekuat tenaga dan menggalang kekuatan untuk mengamankan kedudukan­nya.
Kendala kedua adalah tentang sistem karier dosen. Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya menjadi seorang dosen dengan system ini. Akan tetapi, mereka memang dituntut untuk melakukan itu, sehingga benar-benar qualified dan diakui. Sebagai perbandingan dapat kita lihat sistem serupa yang berlaku di Amerika. Untuk Universitas "kelas dua" saja, di Amerika melakukan syarat minimal satu buku dan sejumlah karya ilmiah di jurnal akademik (yang ditentukan, tidak boleh sembarang) sebelum seorang calon dosen bisa diangkat sebagai tenaga pengajar tetap di Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Hal yang sama juga berlaku pada associate professor. Mereka harus menulis buku dan karya-karya ilmiah sekualitas jurnal pilihan sebelum dapat diangkat sebagai guru besar. Dengan demikian, ukurannya bukan sekedar penguasaan dan kemampuan mengajar di kelas atau administrasi kepangkatan yang sudah tinggi dan lama, tetapi terutama adalah “kemampuan akademik” dalam makna yang sebenarnya.
Karena itu, berkaitan dengan upaya ini, perlu ada pemisahan dan pemahaman yang jelas antara jenjang karir akademik dengan karier adminis­trasi (struktural). Selama ini ada kesan bahwa jabatan ketua program, ketua jurusan, dekan atau rektor dianggap sebagai puncak karier seorang dosen, sehingga mereka saling berebut dan merasa berhasil dengan jabatan tersebut. Padahal, mestinya tidak demikian. Jabatan ketua jurusan, dekan sampai rektor hanyalah jabatan politis dan administrasi yang tidak berkaitan dengan kemampuan akademik keilmuan. Karir akademik dosen dimulai dari Lektor dan berpuncak pada guru besar, yang masing-masing sekaligus menunjukkan kualitas dan kuantitas pemikiran dan karya ilmiahnya (hanya sayangnya, pangkat struktural memang tampak lebih "berkuasa" dan bergengsi dibanding pangkat fungsional dan keilmuan). Wallahu a`lam.

Catatan Kaki

[1] Posman Sibuea, Nobel dan Semangat Penelitian Kita, HR. Suara Pembaharuan, 11 Nopember 1996.
[2] Khairuddin K, Visi Ilmiah Dosen, HR. Suara Karya, 21 Nopember 1996.

Pernah dimuat dalam Majalah "Kata Buku" UIN Malang, edisi April 2009. Tulisan-tulisan lainnya klik disini

2 komentar:

Anonim,  Minggu, Oktober 18, 2009  

Jangan galak2 po'o mas..

riz Minggu, Oktober 18, 2009  

gd news my frnds....

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP