Kamis, Oktober 22, 2009

Pilgrim and Social Responsibility

Haji dan Tanggung Jawab Sosial
Oleh: A Khudori Soleh
Mulai minggu-minggu ini, para calon jamaah haji mulai diberangkatkan ke tanah suci. Mereka akan menunaikan ibadah kelima dalam rukun Islam sekaligus sebagai “penyerpuna” keislaman kita. Semoga mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan baik dan tulus sehingga akhirnya mendapatkan haji yang mabrur. Dikatakan dalam sebuah hadis, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga".
Pernyataan “dengan baik dan tulus” ini sangat penting. Pertama, harus dilakukan “dengan baik”, karena haji membutuhkan biaya yang tidak sedikit di samping tenaga yang tidak ringan. Mulai wuquf di Arafah, melempar jumrah, thawaf dan seterusnya membutuhkan tenaga ekstra. Sungguh sangat rugi jika pengorbanan yang tidak ringan ini kemudian harus sia-sia karena hajinya tidak dilaksanakan dengan baik.
Kedua, harus dengan “tulus” karena haji benar-benar harus dilakukan atas dasar dan semata-mata untuk Allah. Al-Qur’an menyatakan, “wa lillâbi hijjul baiti man istathâ’a ilahi sabîlâ” (hanya atas dasar dan semata untuk Allah-lah diwajibkan haji di Baitullah bagi orang yang mampu”. Tidak ada perintah ibadah dalam al-Qur’an yang dimulai dengan kata “wa lillâhi” kecuali haji. Itu bisa berarti menunjukkan keunggulan dan keistimewaan haji sekaligus juga “peringatan” Tuhan terhadap kelurusan niat. Sebab, haji sangat mudah di “selewengkan”. Misalnya, untuk menaikkan status social, untuk prestis, gengsi, sekedar hiburan dan rekreasi, dan seterusnya.

Haji Berkali-Kali.
Karena itulah, mungkin, tidak sedikit orang yang kemudian melakukan ibadah haji tidak cukup hanya satu atau dua kali. Mereka melakukan haji sampai beberapa kali. Jika tidak haji, mereka melakukan umrah sampai beberapa kali dalam satu tahun. Lepas dari semua motivasi yang melatarbelakangi, kecenderungan dan pelaksanaan haji yang lebih dari 1-2 kali ini patut direnungkan kembali. Benar bahwa secara fiqhiyah, tidak ada larangan melakukan haji lebih dari satu kali, bahkan merupakan kesunahan. Akan tetapi, secara sosial, apakah haji sampai beberapa kali seperti itu tepat dan “baik”? Tidakkah itu hanya berarti menuruti egoism pribadi belaka?
Dari aspek keagamaan, munculnya fenomena haji yang sampai berkali-kali ini agaknya berawal dari pemahaman masyarakat tentang konsep kebaikan. Selama ini, apa yang dianggap baik lebih banyak dipahami pada masalah-masalah ritual, seperti shalat, zakat, puasa, haji, membaca al-Qur'an, istighasah dan sebangsanya, sedang masalah-masalah sosial seperti demokrasi, wawasan lingkungan, politik, pengentasan kemiskinan dan lain-lain dianggap tidak berhubungan dengan agama, atau paling tidak di bawah rangking ritual. Padahal, al-Qur'an menyatakan bahwa apa yang disebut kebaikan atau amal shaleh bukan hanya shalat, haji, puasa dan sejenisnya, tetapi meliputi segala yang “ada”, ritual dan sosial.
Ada lima bentuk kebaikan yang disebutkan al-Qur'an (QS. al-Baqarah, 177). Antara lain, pertama, iman kepada Tuhan, hari pembalasan, kitab suci, para nabi dan malaikat, yang dikenal sebagai rukun iman. Ini jelas. Manusia dan semesta adalah nisbi, yaitu bahwa eksistensinya tidak muncul karena dirinya sendiri tetapi karena Sang Maha Wujud, Maha Pencipta. Karena itu, ketika manusia ingkar akan Tuhan dan menyombongkan kekuatannya, maka ia berarti telah menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam jurang kehinaan dan kesesatan. Ia berarti telah melepaskan diri dari Yang Maha Wujud, Maha Hakiki. Apalah artinya manusia yang nisbi jika lupa dan lepas dari Yang Maha Wujud?.
Kedua, memberikan nafkah kepada keluarga, anak yatim, fakir miskin dan pengemis, atau yang dikenal sebagai program pengentasan kemiskinan. Ketiga, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan seterusnya atau yang disebut melaksanakan rukun Islam. Dalam herarkis ayat ini, masalah pengentasan kemiskinan atau sosial kemasyarakatan ditempatkan pada rangking awal, setelah keimanan, disusul kemudian soal shalat, zakat, dan amal-amal lain.
Urutan ayat di atas tentu bukan tanpa alasan. Secara tidak langsung, urutan tersebut dapat dimaknai betapa Islam sebenarnya sangat memperhatikan soal sosial kemasyarakatan. Dengan menempatkan masalah pemberian nafkah fakir miskin dan pengemis di atas soal shalat berarti menunjukkan bahwa masalah sosial, terutama ekonomi dan pengentasan kemiskinan adalah lebih --minimal sangat-- penting dibanding dengan ibadah-ibadah ritual yang lain. Rasul sendiri menunjukkan betapa pentingnya soal ekonomi atau pengentasan kemiskinan ini. Dalam soal kemajuan umat misalnya, secara tegas dikatakan bahwa faktor utamanya adalah ekonomi di samping ilmu pengetahuan. Yaitu, jika umat Islam mampu mengusai perekonomian dan ilmu pengetahuan. Di sana, Rasul tidak menyebut dengan yang lain, misalnya kalau rajin wiridan, berkali-kali naik haji, rajin puasa, tahlil atau rajin shalat, meski dikatakan bahwa shalat adalah tiang agama.
Masalah ekonomi dan kemiskinan adalah persoalan yang sangat penting dan rumit dalam kehidupan manusia. Kenyataan banyak menunjukkan betapa banyak orang yang karena faktor ekonomi, karena miskin, kemudian rela menjual diri, keluarga, kehormatan, negara dan bahkan menjual aqidah. Penulis sendiri pernah terjun ke sebuah lokalisasi di Malang. Dari sekian banyak wanita penghuninya, ternyata tidak sedikit dari mereka yang mengerti agama, bahkan alumni sebuah pesantren, atau anak-anaknya di pesantren dan mereka tidak tahu bahwa ibunya bekerja di lumpur dosa. Mengapa bisa demikian? Jawabnya, karena faktor ekonomi.
Menghadapi masalah-masalah sosial seperti itu jelas tidak cukup dengan pidato dari atas mimbar atau di televisi bahwa lokalisasi itu haram, zina adalah dosa dan lain-lain. Harus dilihat dan diatasi akar permasalahannya. Mereka harus dientas dan dibantu tekanan ekonominya. Tanpa itu, ceramah-ceramah atau pidato-pidato keagamaan hanya akan dianggap sebagai selingan dan sedikit hiburan --karena ceramah agama sering banyak guyonannya-- ditengah-tengah kerasnya persaingan hidup.
Rasul sendiri melakukan tindakan nyata dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi dan kemiskinan seperti ini. Misalnya, sebagaimana diriwayatkan, suatu saat hari raya dijumpai ada anak kecil yang tidak ikut gembira bersama anak-anak yang lain. Berpakaian kumal dan menangis. Ditanya oleh Rasul, mengapa? Jawab si bocah, karena ayahnya telah meninggal dan ibunya yang miskin tidak mempunyai uang untuk membelikan baju baru. Melihat kenyataan itu, Rasul tidak lantas mengatakan bahwa itu merupakan cobaan dan menyuruh si kecil bersabar. Sebaliknya, Rasul langsung mengajak pulang si bocah, memberinya pakaian dan mengambilnya sebagai anak, bersaudarakan Hasan dan Husain, atau yang sekarang dikenal dengan istilah “orang tua asuh”.

Seimbang Ritual-Sosial.
Belajar dari ayat di atas, harus ada keseimbangan antara dimensi ritual dan sosial. Sangat tidak pada tempatnya kita lakukan banyak ibadah ritual tetapi menepikan kepekaan terhadap masalah sosial, terutama jika tidak memperhatikan kondisi dan nasib orang-orang di bawah yang banyak memerlukan bantuan dan uluran tangan. Al-Qur'an bahkan mengancam dan menuduhnya sebagai orang yang mendustakan agama. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah mereka yang mentelantarkan anak yatim dan yang tidak mau peduli akan soal kemiskinan” (QS. al-Ma`un, 1-3). Sebaliknya, tidak juga merupakan kebaikan orang yang berjasa pada lingkungan dan masyarakatnya tetapi tidak baik masalah ritualnya.
Karena itu, dalam masalah haji ini, perlu direnungkan mengapa harus berkali-kali? Tidakkah berkali-kali melakukan haji bisa berarti hanya menumpuk amal untuk diri sendiri. Tidakkah itu adalah egois pribadi?. Tidakkah lebih baik jika melakukan haji cukup sekali dua kali, demi menunaikan kewajiban dan kesunnahan, sedang biaya haji atau umrah untuk berikutnya disalurkan kepada jalur-jalur sosial, sehingga masalah sosial ikut terselesaikan. Masih terlalu banyak masyarakat miskin yang memerlukan bantuan. Masih terlalu banyak kegiatan sosial yang macet karena kekurangan dana. Masih banyak anak-anak putus sekolah dan terpaksa harus mengemis karena tidak punya uang SPP. Juga masih terlalu banyak lembaga pendidikan dan keagamaan yang mangkrak karena tidak ada dana. “Tidak sempurna iman seseorang yang makan kenyang --dan haji berkali-kali-- sementara tetangganya, masyarakatnya dan generasi mudanya menderita, kelaparan, dan kehidupanya terabaikan” (al-Hadits).

Pernah dimuat dalam Buletin Jum`ah, PP. Gading Pesantren, Malang, ed. 13 Februari 2004. Tulisan-tulisan yang lain, klik disini.

1 komentar:

A Khudori Soleh Rabu, Oktober 28, 2009  

Beberapa respon dan komentar tentang masalah ini, dapat dilihat pada note dalam Facebook saya, atau klik http://www.facebook.com/people/Khudori-Soleh/1436206298#/note.php?note_id=328386430456

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP