the Art Concept of Sayid Husein Nasr
Konsep Seni Islam Husein Nasr
Oleh: A Khudori Soleh
Seni Islam, menurut Nasr, setidaknya mengandung tiga hal (1) Mencerminkan nilai-nilai religius, sehingga tidak ada yang disebut seni sekuler. Tidak ada dikotomi religius dan sekuler dalam Islam. Apa yang disebut kekuatan atau unsur sekuler dalam masyarakat Islam selalu memiliki pengertian religius seperti halnya hukum Ilahi yang secara spesifik memiliki unsur-unsur religius. (2) Menjelaskan kualitas-kualitas spiritual yang bersifat santun akibat pengaruh nilai-nilai sufisme. (3) Ada hubungan yang halus dan saling melengkapi antara masjid dan istana, dalam hal perlindungan, penggunaan dan fungsi berbagai seni. Karena itu, seni Islam, bagi Nasr, tidak hanya berkaitan dengan bahan-bahan material yang digunakan tetapi juga unsur kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan-bahan material tersebut.[1]
A. Sumber Seni Islam.
Seseorang tidak akan menyamakan sebuah masjid dengan gereja, meski bahan bangunan masjid tersebut diambil dari gereja, misalnya. Artinya, menurut Nasr,[2] cikal bakal seni Islam dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya tidak mungkin digali dari kondisi sosio-politik yang mengiringinya tetapi harus dihubungkan dengan pandangan-dunia (world view) Islam sendiri. Sumber seni Islam harus dicari di dalam realitas-realitas batin (haqâiq) al-Qur`an yang merupakan realitas-relitas dasar kosmos dan realitas spiritual substansi nabawi yang mengalirkan ‘barakah muhammadiyah’ (al-barakah al-muhammadiyah). Aspek-aspek batin dan barakah Nabi inilah yang merupakan sumber seni Islam, yang tanpa keduanya tidak akan muncul seni Islam. Al-Qur`an memberikan dokrin keesaan sedang Nabi memberikan manifestasi keesaan ini dalam keserbaragaman dan kesaksian dalam ciptaan-Nya. Barakah Muhammadiyah memberikan daya kreativitas yang memungkinkan seseorang menciptakan seni Islam. Kenyataannya, menurut Nasr, para maestro seni Islam senantiasa memperlihatkan rasa cinta dan kesetiaan yang istimewa kepada Nabi dan keluarganya.
Selain itu, seni Islam juga berdasarkan atas hikmah, yakni pengetahuan yang diilhami oleh nilai-nilai spiritual. Seni Islam mewujudkan realitas-realitas yang ada dalam ‘Perbendaharaan Ghaib” (khazâin al-ghaib) lewat bantuan ilmu pengetahuan tentang dunia batin (hikmah).[3] Ini bisa dilihat, antara lain, pada bangunan masjid Syah di Isfahan atau arsitektur masjid lainnya yang dibangun dengan pola geometri dan arabeska (kaligrafi tradisional) yang luar biasa,[4] atau pada melodi-melodi musik Arab tradisional yang memberikan alunan musik yang sangat menawan, yang jika direnungkan secara mendalam pasti akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semua itu digali dari keindahan dunia kasat mata. Demikian, sehingga karakter intelektual dari seni Islam tidak bisa dianggap sebagai hasil dari semacam rasionalisasi, melainkan dari suatu penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dari dunia terestrial. Seni Islam juga tidak meniru bentuk-bentuk lahir alam, tetapi memantulkan prinsip-prinsipnya, sehingga ia bukan empirisme, tetapi sebuah scientia sacra yang hanya bisa diraih berdasarkan cara-cara tertentu.[5]
Kenyataannya, di manapun kehidupan intelektual dan spiritual Islam mencapai puncak, kreativitas seni Islam juga mencapai kesempurnaan; sebaliknya, ketika kehidupan spiritual Islam mengalami keruntuhan, kualitas seni Islam juga mengalami kemunduran.
Dengan demikian, seni Islam bukan sekedar karena ia diciptakan oleh seorang muslim tetapi lebih karena didasari oleh wahyu Ilahi. Seni Islam adalah buah dari spiritualitas Islam, merupakan hasil dari pengejawentahan Keesaan pada bidang keanekaragaman. Ia merefleksikan kandungan Prinsip Keesaan Ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos. Namun demikian, menurut Nasr,[6] meski seni Islam diilhami spiritualias Islam secara langsung, wujudnya tetap saja dibentuk oleh karakter-karakter sosial budaya yang meliputinya. Hanya saja, karakter-karakter tersebut tidak sampai mengurangi kebenaran dan kandungan batin dan dimensi spiritual Islam yang menjadi sumber seni Islam.
B. Klasifikasi Seni.
Berdasarkan uraian di atas, di mana seni Islam bersumber dan berkaitan dengan aspek spiritual atau aspek batin wahyu, Nasr mengklasifikasikan seni dalam tiga bagian.[7]
Pertama, seni suci, yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan kehidupan spiritual. Lawannya adalah seni profan.
Kedua, seni tradisional, seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi dengan cara tidak langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional. Perbedaan antara seni suci dan seni tradisional ini bisa dilihat pada contoh sebuah pedang. Pedang yang dibuat abad pertangahan, baik Islam maupun Kristen, tidak pernah digunakan secara langsung dalam acara ritual keagamaan meski merefleksikan prinsip dan ajaran Islam atau Kristen. Karena itu, ia masuk kategori seni tradisional. Ini berbeda dengan pedang Shinto di Kuil I Se di Jepang. Pedang Shinto dikaitkan langsung dengan ajaran agama tersebut dan merupakan objek ritual yang bermakna tinggi dalam agama Shinto, sehingga dimasukkan sebagai seni suci.
Ketiga, seni religius, seni yang subjek atau fungsinya bertema keagamaan, namun bentuk dan cara pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-lukisan religius dan arsitektur Barat sejak renaissance dan beberapa lukisan religius di dunia Timur selama seabad atau dua abad lalu dibawah pengaruh seni Eropa.
Selanjutnya, untuk memahami lebih lanjut tentang seni suci, menurut Nasr,[8] seseorang mesti memahami pandangan –masyarakat-- Islam tentang realitas, kosmik maupun meta-kosmik. Dalam pandangan filsafat Islam, realitas adalah multi-struktur, yakni mempunyai berbagai tingkat eksistensi. Realitas berasal dari Yang Esa dan terdiri atas berbagai tingkat yang, sesuai dnegan kosmologi Islam, dapat diringkas sebagai alam malaikat, alam psikhis dan alam material (fisik). Manusia hidup dalam alam material namun sekaligus dikelilingi oleh seluruh tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Yang suci menandai suatu pemunculan dunia yang lebih tinggi dalam hal eksistensi psikhis dan material, keabadian dunia temporal. Semua yang datang dari dunia spiritual adalah suci karena berperan sebagai sarana untuk kembalinya manusia menuju dunia spiritual. Namun kemungkinan ini, yakni kembali ke dunia yang lebih tinggi, tidak dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas, karena pada dasarnya hanya yang datang dari dunia spiritual itulah yang dapat bertindak sebagai sarana untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi. Karena itu, yang suci menandakan adanya ‘keajaiban’ nilai spiritual dalam dunia material. Ia merupakan gema dari surga untuk mengingatkan manusia di bumi akan tempat asalnya, surga.
Berdasarkan hal tersebut, seni suci mempunyai atau mengikuti prinsip-prinsip tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai Ilahiyah atau dimensi spiritual Islam. Pertama, mengikuti prinsip kesatuan kosmos dan apa yang ada dibalik semesta dengan kesatuan prinsip Ketuhanan.[9]
Kosmologi Islam didasarkan pada penekanan Tuhan sebagai satu-satunya sumber segala sesuatu, yang mengatur dan menghubungkan eksistensi-eksistensi yang ada dibawahnya; menghubungkan dunia material dengan dunia ghaib, dunia ghaib dengan alam malaikat, alam malaikat dengan alam malaikat muqarrabîn, alam malaikat muqarrabîn dengan al-rûh dan ruh dengan karya krteatif primordial Tuhan. Semua bergerak dinamis dalam pola dasar yang selaras dan seimbang.[10]
Masjid sebagai bentuk seni arsitektur suci Islam juga memperlihatkan hal serupa. Kekosongan, kesederhanaan dan kemiskinan bentuk serta pola menunjukkan status ontologis dunia sebagai yang papa dan miskin dihadapan Tuhan Yang Maha Kaya. Ihwal ruang-ruang yang sunyi merefleksikan kedamaian, sedang lengkungan dan kolom-kolom ruangan adalah ritme yang mengimbangi eksistensi kosmik yang menjelaskan fase-fase kehidupan manusia dan juga kosmos yang datang dari-Nya maupun yang kembali kepada-Nya.[11]
Kedua, mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan masyarakat yang diatur oleh hukum Ilahi (al-syarî`ah). Masjid disebuah kota Islam tradisional, misalnya, bukan hanya sebagai pusat kegiatan religius melainkan juga seluruh kehidupan masyarakat, baik kultural, sosial dan politik, juga -–pada tahap tertentu—- kegiatan ekonomi. Karena itu, secara organis, masjid senantiasa berhubungan dengan pasar sebagai pusat ekonomi, istana sebagai pusat kekuasaan politik, sekolah sebagai pusat kegiatan intelektual, dan seterusnya. Siapa yang memperhatikan kota Islam tradisional pasti melihat kesatuan dan keterpaduan seperti itu. Di pusat kota pasti ada masjid, berdekatan dengan istana dan pasar.[12]
C. Fungsi Spiritual Seni Islam.
Tidak berbeda dengan seni-seni lain yang mengandung banyak fungsi,[13] seni Islam juga mengandung fungsi-fungsi khusus. Menurut Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung empat pesan atau fungsi spiritual.
Pertama, mengalirkan barakah sebagai akibat hubungan batinnya dengan dimensi spiritual Islam. Tidak bisa diingkari, seorang muslim yang paling modern sekalipun, akan mengalami rasa kedamaian dan kegembiraan dalam lubuk hatinya, semacam ‘ketenangan’ psikologis, ketika memandang kaligrafi, duduk diatas karpet tradisional, mendengarkan dengan khusyuk bacaan tilawah al-Qur`an atau beribadah disalah satu karya besar arsitektur Islam.[14]
Kedua, mengingatkan kehadiran Tuhan di manapun manusia berada. Bagi seseorang yang senantiasa ingat kepada Tuhan, seni Islam selalu menjadi pendorong yang sangat bernilai bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan realitas Tuhan (al-haqâiq). Bahkan, seni Islam yang pada dasarnya dilandasi wahyu Ilahi adalah penuntun manusia untuk masuk ke ruang batin wahyu Ilahi, menjadi tangga bagi pendakian jiwa untuk menuju pada Yang Tak Terhingga, dan bertindak sebagais arana untuk mencapai Yang Maha Benar (al-Haqq) lagi Maha Mulia (al-Jalâl) dan Maha Indah (al-Jamâl). sumber segala seni dan keindahan.[15]
Kenyataan tersebut terjadi dalam semua bentuk seni Islam. Seni kaligrafi, misalnya. Kaligrafi yang merupakan seni perangkaian titik-titik dan garis-garis pada pelbagai bentuk dan irama yang tiada habisnya merangsang ingatan akan tindak primordial dari pena Tuhan. Ia merupakan refleksi duniawi atas firman Tuhan yanga da di Lauh Mahfûzh, yang menyuarakan sekaligus menggambarkan tanggapan jiwa manusia terhadap pesan Ilahi dan merupakan visualisasi atas realitas-realitas spiritual yang terkandung dalam wahyu Islam.[16]
Begitu pula dalam seni liturgi, tilâwah al-Qur`an, mengingatkan manusia akan keagungan Tuhan. Hal senada juga terjadi dalam syair-syair, musik dan karya-karya sastra lainnya yang nota bene lahir dari model teks suci al-Qur`an. Keselarasan bait-bait syair dan irama musik menghubungkan diri dengan keselarasan dan ritme universal kosmik.[17]
Ketiga, menjadi kriteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan sosial, kultural dan bahkan politik benar-benar otentik Islami atau hanya menggunakan simbol Islam sebagai slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Sepanjang sejarah dan dengan kedalaman serta keluasan manifestasi otentiknya, mulai dari arsitektur sampai seni busana, seni Islam senantiasa menekankan keindahan dan ketakterpisahan darinya.[18]
Apakah mereka yang mengklaim berbicara atas nama Islam juga telah menciptakan bentuk-bentuk keindahan dan kedamaian? Apakah ada kualitas ketenangan, keselarasan, kedamaian dan keseimbangan yang menjadi ciri khas Islam maupun manifestasi artistik dan kulturalnya, dalam sikap dan perilaku gerakan-gerakan dan organisasi Islam tersebut?
Keempat, sebagai kriteria untuk menentukan tingkat hubungan intelektual dan religius masyarakat muslim. Saat ini banyak tokoh berbicara tentang islamisasi pendidikan, sistem ekonomi maupun sistem masyarakat Islam sendiri, di samping banyak yang melakukan berbagai usaha kongkrit untuk mencapai tujuan tersebut. Semua itu bukan usaha yang mudah dan pasti menghadapi kendala dan tantangan yang berat. Apakah mereka yang melakukan usaha-usaha tersebut menyadari bentuk keislaman di luar ketentuan syari`ah yang bersifat eksoterik? Seni Islam dalam pengertian universalnya dapat dijadikan kriteria untuk menilai sifat proses pencapaian tersebut beserta hasil-hasilnya, karena tidak ada yang otentik Islam tanpa memiliki kualitas yang lahir dari spiritual dan menjelmakan dirinya disepanjang sejarah seni tradisional Islam, mulai dari tembikar hingga sastra dan musik.[19] Artinya, tingkat keberhasilan yang dicapai yang bisa diukur lewat data-data empiris berkaitan dan sekaligus menunjukkan tingkat kualitas spiritual yang menyertainya.
D. Penutup.
Seni bukan untuk seni sendiri. Tidak ada istilah l’art pour l’art. Karya-karya seni, bagi Nasr, harus digali dan mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhan. Inilah ciri khas pemikiran Nasr yang perennial. Gagasan ini hampir sama dengan teori seni dan keindahan Iqbal. Bedanya, seni Nasr merupakan ekspresi dimensi spiritual sedang seni Iqbal adalah ekspresi kreatifitas ego. Namun, lepas dari corak pemikirannya, cara pandang Nasr ini adalah sesuatu yang sangat positif, bisa digunakan sebagai jalan alternatif atas dampak negatif modernitas yang ternyata justru menjauhkan manusia dari spiritualitas, sehingga menimbulkan kekeringan jiwa dan menimbulkan kerusakan.[20]
Namun, hal itu bukan berarti tanpa persoalan. Menurut Faisal Ismael, jika seni dikaitkan atau bahkan dibatasi oleh agama akan menyebabkan beberapa hal. (1) adanya keterikatan bentuk dan isi dari seni itu sendiri, (2) adanya ketegangan antara nilai seni yang longgar dengan nilai agama yang ketat, (3) terbatasnya ruang gerak seni karena dipakai sebagai bagian dari praktek keagamaan, (4) terganggunya kebebasan kreativitas karena adanya norma-norma agama yang mengatur.[21]
Berdasarkan hal ini, tidakkah pemikiran Nasr justru akan menyebabkan seni Islam sulit berkembang?
Catatan Kaki
[1] Husein Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, terj. Setejo, (Bandung, Mizan, 1993), 22-23.
[2] Ibid, 17.
[3] Ibid, 19.
[4] Pada bagian lain buku ini, Nasr menjelaskan secara panjang lebar tentang dasar-dasar filosofis arsitektur Islam dan kaitannya dengan dimensi-dimensi spiritual Islam. Lihat, Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 50-74. Dalam referensi lain, lihat Zein Wiryoprawira, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, (Surabaya, Bina Ilmu, 1986), 49-108. Di sini diuraikan secara baik dengan disertai foto-foto tentang model dan keindahan yang luar biasa dari arsitektur masjid pada abad-abad pertengahan.
[5] Gagasan Nasr ini hampir sama (tapi tidak persis) dengan teori seni modern yang dikemukakan Arthur Schopenhauer (1788-1860 M) bahwa seni adalah suatu bentuk pemahaman atas realitas. Inti dari realitas sejatia dalah kemauan (will) yang bersifat semesta, sedang kenyataan dunia ini sebagai ide-ide hanya wujud luar dari kemauan semesta tersebut. Ide-ide itu sendiri bersifat abadi dan tidak berubah. Selanjutnya, ide-ide ini menampakkan diri atau mempunyai perwujudan dalam benda-benda khusus. Pengetahuan sehari-hari manusia adalah pengetahuan praktis untuk melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan benda-benda itu. Namun, ada pengetahuan yang dapat melampaui kedudukan pengetahuan praktis ini, yakni pengetahuan yang lebih tinggi kedudukannya yang diperoleh dengan cara memusatkan perhatian pada ide-ide dan merenungkannya demi ide-ide itu sendiri. Dengan perenungan semacam ini yang membebaskan diri dari kemauan semesta, lahirlah seni. Lihat Arthur Schopenhauer, “The World as Willa and Idea”, dalam Gene Blocker & Jennifer (ed), Contextualizing Aesthetics from Plato to Lyotard, (California, Wadsworth, 1999), 97-102. Lihat juga Daniel Bronstein (ed), Basic Problems of Philosophy Selected Readings with Introductions, (Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1957), 332.
[6] Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 15.
[7] Ibid, 75-77.
[8] Ibid.
[9] Ibid, 72.
[10] Ibid, 57.
[11] Ibid, 58. Lihat juga Husein Nasr, The Encounter of Man and Nature, (London: George Allend & Unwin Ltd, 1976), 75 dan seterusnya.
[12] Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 73. Lihat juga, Zein Wiryoprawira, Perkembangan Arsitektur Masjid, 30-31.
[13] Secara umum, menurut The Liang Gie, seni setidaknya mengandung empat fungsi. (1) fungsi spiritual, (2) fungsi hidonistik (kesenangan), (3) fungsi edukatif atau pendidikan, (4) fungsi komunikatif (tata hubungan). Dengan fungsi-fungsi yang lebih lengkap, seni bisa menjadi perlengkapan manusia yang bersifat immortal (abadi) dan universal (semesta). Lihat The Liang Gie, Filsafat Seni, (Yogyakarta, Pubib, 1996), 47-52.
[14] Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 214.
[15] Ibid, 17-18.
[16] Ibid, 27-29.
[17] Ibid, 102 & 170.
[18] Ibid, 218.
[19] Ibid.
[20] Husein Nasr, Islam & Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyudi, (Bandung, Pustaka, 1983), 32-33; Husein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, (Bandung, Mizan, 1994), 221-232.
[21] Faisal Ismael, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogya, Titian Ilahi Press, 1996), 65-66.
Tulisan ini termuat dalam Buku Wacana Baru Filsafat Islam, Bab V, Estetika. Untuk mengakses tulisan ini secara utuh, klik disini
0 komentar:
Posting Komentar