Moral Philosophy of Hegel
Filsafat Moral Hegel
Oleh: A Khudori Soleh
Sebelumnya harus dibedakan antara etika dan moral. Menurut Berten,[1] etika adalah tata susila atau tindakan yang mengandung nilai-nilai moral, sedang moral itu sendiri adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk yang menjadi pedoman dari tindakan etik. Tegasnya, etika lebih merupakan refleksi filosofis dari moral. Jadi etika lebih merupakan wacana normatif yang relatif, sedang moral moral merupakan wacana noramatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik-buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak dan transenden. Moral menjawab apa yang harus saya lakukan, etika menjawa bagaimana hidup yang baik.[2]
Menurut David Hume,[3] moralitas merupakan sistem tata nilai yang berdasarkan pada fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Pengalaman sehari-hari, pengalaman indera dan pengalaman perasaan itulah yang membentuk pengetahuan dan kecenderungan pada kita, yang pada giliranya memberikan pertimbangan-pertimbangan moral saat kita meski berbuat. Tidak ada nilai-nilai mutlak diluar yang empiris tersebut.
Sebaliknya, menurut Kant, persoalan moral sama sekali lepas --dan memang harus lepas-- dari pengaruh lingkungan, kebiasaan, pengalaman dan segala yang empiris, tetapi semata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan moral yang mutlak. Bagi Kant, penilaian dan tindakan moral bukan urusan pribadi (moral sentiment) atau keputusan sewenang-sewenang (decionism) dan juga bukan masalah asal usul sosial-kultural, sopan santun, atau adat istiadat (relativisme kultural), tetapi berada dibawah keterikata moral yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh orang lain. Artinya, tindakan seseorang yang bisa diterima sebagai bernilai moral adalah tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai yang mutlak, yang lepas dari pengaruh-pengaruh kebiasaan, adat-adat dan kecenderungan.[4]
Selanjutnya, menurut Sartre,[5] hampir sama dengan konsep Immanuel Kant, moralitas tidak dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, kebiasaan atau adat-adat yang ada, tetapi tidak juga didasarkan atas nilai-nilai mutlak sebagaimana dalam Kant. Menurut Sartre, tindakan moral seseorang ditentukan oleh nilai-nilai yang ciptakan sendiri oleh yang bersangkutan, lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya (empiris) maupun nilai-nilai mutlak (Idea). Sebab, dengan konsepnya tentang eksistensialisme, tindakan manusia yang dipengaruhi oleh fihak luar diluar dirinya; nilai-nilai empiris dari masyarakat maupun nilai mutlak dari Tuhan, tidak lagi dikatakan sebagai tindakan yang mendiri, merdeka, yang berarti tidak bisa dianggap berniali moral. Apa yang dimaksud dengan tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan secara mandiri, merdeka dan bebas dari keterpengaruhan dari aspek-aspek luar tersebut,[6] sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Bagaimana tindakan etis Hegel? Menurut Hegel, moralitas tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai mutlak yang ada dalam Idea, tetapi tidak juga lepas dari apa yang ada dalam dunia empiris, yang ada dalam masyarakat. Bahkan, ia adalah sintesa dari keduanya.[7] Walhasil, jika moralitas Sartre berasal dari manusia sendiri, moralitas Hume dari nilai-nilai empiris masyarakat, moralitas Kant dari alam Ide, moralitas Hegel adalah sintesa dari konsep Hume dan Kant; sintesa antara yang empiris dengan yang ada dalam Idea.
Dialektika: Sintesa Tesa Antitesa.
Semua pemikiran Hegel berangkat dari sistem pemikirannya yang mencoba mencari jalan keluar, atau bahkan mempertentangan dua persoalan yang berbeda dan berseberangan, yang dikenal dengan sistem pemikiran Dialektika.[8] Dialektika Hegel merupakan proses dimana sebuah pemikiran atau sesuatu hal yang eksis dengan pasti menggiring atau berhadapan dengan lawannya (atau kontradiktorinya), sehingga tiba pada sebuah sintesis (kesatuan) baru, atau proses perubahan dalam pemikiran dan alam dimana sebuah tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (kebenaran) dan eksistensi (kesatuan) dicapai dengan menghadapi lawan-lawan yang pasti yang ada dibawahnya[9] Jelasnya, sebuah eksistensi dicapai dengan adanya sintesa dan interaksi antara eksistensi-eksistensi yang lain yang ada tingkat bawahnya.
Proses perubahan itu melibatkan tiga elemen yang terdiri dari: (a) sesuatu, realitas atau pemikiran yang eksis (thesis), (b) lawan atau kebalikannya (antithesis), dan (c) kesatuan (synthesis) yang dihasilkan dari interaksinya dan yang kemudian menjadi basis (thesis) dari gerak dialektik berikutnya. Kesatuan tiga unsur pembentuk inilah yang disebut triadic dialektic.
Dialektika Hegel memiliki karakter membangun dan evolusioner, yang tujuan akhirnya adalah penyempurnaan seutuhnya. Menurut filsafat Hegel, seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan roh, jiwa atau pemikiran. Sesuai dengan hukum dialektika, pemikiran meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang mutlak. Sesuai dengan perkembangan pemikiran ini, filsafat Hegel tersusun dalam tiga tahap, Pertama, tahap ketika roh atau pemikiran berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”. Ilmu filsafat yang membicarakan pemikiran dalam keadaan ini disebut logika. Kedua, tahap dimana pemikiran berada dalam keadaan “berbeda dengan dirinya sendiri”, dan berbeda dengan “yang lain”. Pemikiran disini keluar dari dirinya sendiri, menjadikan dirinya “ diluar” dirinya dalam bentuk alam, benda, atau yang lain yang terikat pada ruang dan waktu. Ilmu filsafat yang membicarakan tahap ini disebut filsafat alam. Ketiga, tahap ketika pemikiran kembali kepada dirinya sendiri, kembali dari berada diluar dirinya, sehingga roh atau pemikiran berada dalam keadaan ”dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”. Tahap ini menjadi sasaran filsafat roh.[10]
Menurut Hegel, dialektika bersifat ontologis,[11] bahwa proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses gerak kenyataan. Oleh karena itu pengertian-pengertian, kategori-kategori, sebenarnya bukanlah hukum-hukum pemikiran belaka, tetapi kenyataan-kenyataan atau realita. Pengertian-pengertian dan kategori atau yang lain bukan hanya sesuatu yang menyusun pemikiran kita, tetapi semua adalah kerangka dunia; yang menggambarkan realitas dunia dalam pikiran atau roh.
Sebagai contoh tentang kerja dialektika, misalnya, bisa dilihat dari persoalan “yang ada”. Pengertian “yang ada” harus dirumuskan lepas dari segala isi kongkrit sehingga tesa melahirkan anti tesa. Sepanjang “yang ada” belum menerima penentuan lebih lanjut, belum dapat dikatakan, “yang ada” yang berarti sama dengan “yang tidak ada”. Karena itu, tidak mungkin merumuskan bagaimana “yang ada” itu sekaligus “yang tidak ada”, atau “ketiadaan”, yaitu segi negatif dari “yang ada”. Maka “yang ada” dan “yang tidak ada” mewujudkan dua ungkapan yang saling melengkapi bagi hal yang satu, yaitu “awal yang tidak dapat ditentukan bagaimana”. Ini berarti, didalam “awal yang tidak dapat ditentukan bagaimana” itu ada gerak, gerak yang memindahkan yang satu kepada yanga lain, yang memindahkan “yang tidak ada” menjadi “yang ada”. Gerak dari “yang tidak ada” menuju kepada “yang ada” ini disebut “menjadi” (sintesa).[12]
Sintesa Hukum dan Moral.
Memperhatikan konsep dialektika Hegel sebagai ontologis diatas, dimana yang ideal bukan ideal belaka tetapi juga realitas itu sendiri; ada kesatuan antara idea dan realitas, sedang dalam dunia idea terjadi pergulatan saling mensistesa antara satu dengan lainnya, berarti tidak asa satupaun peristiwa maupun konsep di dunia ini yang tidak terkait satu sama lainnya, secara vertikal maupun herisontal. Vertikal maksudnya hubungan antara yang empiris dengan yang ideal, herisontal adalah hubungan antara yang empiris dengan yang empiris lainnya, yang berarti pula hubungan antara yang ideal dengan yang ideal lainnya.
Menurut Hegel, perkembangan yang ideal atau roh yang merupakan kerangka dunia empiris terdiri atas tiga tingkatan; subjektif, objektif dan mutlak. Dalam roh subyektif, yang merupakan tahapan paling rendah, seorang individu berusaha melepaskan diri dari alam. Disini roh mulai berpindah dari situasi “berada diluar dirinya” kedalam situasi “berada-bagi-dirinya”. Perpindahan ini disebabkan, dalam diri perorangan roh tersebut belum benar-benar dan belum seluruh “bagi-dirinya”. Meski manusia bagi dirinya sendiri dan mempunya pribadi yang tidak bisa ditukar dengan yang lain, tapi manusia masih mewujudkan sebagian jenisnya, sehingga masih termasuk alam.
Interaksi dan sintesa antara roh subjektif diatas melahirkan roh objektif yang merupakan tahapan kedua. Di sini kehendak-kehendak rasionak dikjektifkan menjadi bentuk-bentuk hidup dan umum, dan idea tentang yang baik direalisir dalam lembaga-lembaga yang konkrit. Bentuk dan nafsu-nafsu alamiah diperluas sebagai hak-hak dan kewajiban dalam bentuk dasar kesusilaan. Misalnya, nafsu membalas direalisasikan sebagai hukuman yang menurut hukum, nafsu seksual diperhalus dalam perkawinan dan keluarga, dn lain-lainnya. Karena itulah, dalam roh obyektif ini dibicarakan persoalan-persoalan hukum dalam dunia empirisnya, dan nilai-nilai moral dalam alam idealnya. Moralitas adalah sintesa antara hukum-hukum yang ada dalam dunia empirik dengan nilai-nilai moral yang ada dalam alam ideal.
Mengapa persoalan --nilai-- moral baru muncul pada roh objektif, bukan pada roh subjektif? Menurut Hegel,[13] moralitas berhubungan dengan kesadaran diri. Kesadaran diri individu hanya dan baru bisa diperoleh dan didukung melalui interaksi dengan dan pengakuan oleh kesadaran-diri lainnya. Kita tidak akan memperoleh kesadaran diri dengan mengakui atau diakui oleh orang lain, tetapi melalui kesadaran akan adanya kesadaran lain yang sama sekali berbeda dengan kita. Artinya, kita tidak bisa mengenal diri sendiri kecuali dengan mengakui bahwa ada maksud, pikiran, dan keinginan orang lain yang bukan merupakan keinginan dan pikiran kita. Hanya melalui pengalaman intersubjektifitas inilah kita akan memiliki kesadaran yang memadai mengenai diri kita sendiri sebagai suatu kesadaran diri yang independen, yang oleh Hegel dianalogkan dengan dialektika tuan-budak. Menurut Hegel, kehidupan tuan adalah bentuk yang tidak sempurna dari kesadaran diri persis, karena tidak diakui dalam kesadaran orang lain yang independen, melainkan hanya diakui oleh budak yang tidak independen atau mandiri.
Dalam dunia empirik, roh objektif yang merupakan hasil interaksi-interaksi antara roh subjektif ini terjelma dalam bentuk keluarga, masyarakat dan negara. Disinilah muncul persoalan hukum yang mengatur kehidupan keluarga, masyarakat dan negara, yang dalam alam roh atau idea dikenal dengan istilah “nilai moral”. Sedemikian, sehingga benar bahwa moralitas dalam pandangan Hegel adalah sistesa antara hukum yang bersifat empirik dengan nilai-nilai moral yang bersifat batin atau ideal. Sedemikian pula, sehingga dalam pandangan Hegel, negara, keluarga dan masyarakat dianggap sebagai idea moral yang telah terealisir, tempat idealitas atau nilai-nilai dan realitas atau hukum-hukum bertemu. Institusi-institusi tersebut merupakan substansi moral yang telah sadar akan dirinya, dimana keputusan-keputusan individu yang merupakan keputusan roh subjektif telah tertiadakan.[14]
Selanjutnya, interaksi antar keluarga, masyarakat dan negera yang merupakan refleksi dari roh objektif ini melahirkan tahap ketiga, tahap puncak dari perkembangan roh; sejarah dunia. Maka, sejarah dunia adalah perkembangan Idea mutlak.[15] Di sini, Idea Mutlak meralisir diri dengan menggunakan waktu sebagai alatnya. Sejarah dunia adalah proses dimana roh mengolah pengetahuan tentang apa yang ada pada dirinya, untuk sampai pada dirinya sendiri, yang dari sana ia menemukan kebebasan dan hakekatnya sendiri.[16]
Konsep moralitas Hegel yang memperhatikan dunia empiris masyarakat berarti mengangkat kembali apa yang disampaikan Aristoteles,[17] tentang aktivitas potensi manusia, dimana bahwa aktualisasi potensi tidak akan mencapai kebahagiaan kecuali diaktualisasikan dan dihayati dari norma-norma yang ada dalam dalam masyarakat. Dan dengan konsepnya tentang Idea, ia berarti juga telah memperkokoh konsep Kant tentang imperatif kategoris. Akan tetapi, dengan adanya sistesa antara keduanya, Hegel memberikan makna tersendiri bagi moralitas, yang dengan itu berarti mengisi kekurangan yang ada pada Aristoteles; soal transendensi, dan kekurangan yang ada pada Kant, soal realitas norma yang ada dalam masyarakat.
Persoalan yang ada pada Hegel adalah, terutama dalam konsep dialektikanya, bahwa persoalan dunia tidak mesti, minimal belum tentu merupakan sistesa-sintesa. Dalam alam idea mungkin bisa dijelaskan secara logika, tetapi dalam dunia nyata, hal itu sulit dijelaskan. Banyak hal yang terasa terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah sintesa.
Catatan Kaki
[1] Bertens, Etika, (Jakarta, Gramedia, 1997), 6-7
[2] Haryatmoko, Diktat Kuliah Filsafat Moral, Pascasarjana IAIN Yogyakarta.
[3] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Rtika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta, Kanisis, 1997), 126.
[4] Ibid, 137-158. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 151-173.
[5] Frederiks Alafson, “Jean-Paul Sartre”, dalam Edwards, Encyclopedia of Philosopfy, (New York, Macmillan Puclishing, 1967), Vol 7-8, 287-8.
[6] Schneewind, “Modern Moral Philasophy”, dalam Peter Singer (ed), A. Companion to Ethics, (Massachusetts, Blackwell Publishers Inc, 1997), 537.
[7] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta, Gramedia, 1992), 40. Lihat pula, Ross Poole, Moralitas & Modernitas, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), 191.
[8] Dialektika, pada asal katanya berarti dialok, diskusi atau debat, dimana tujuan utamanya adalah untuk membentah argumen-argumen lawan, atau mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema atau paradoks-paradoks. Lebih jelas dalam persoalan ini, lihat Jalaluddin Rahmat, Kamus Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1995), 78.
[9] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta, Kanisius, 11988), 100.
[10] Ibid, 101.
[11] Ibid,
[12] Ibid, 102
[13] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, 101. Dalam tulisan Hegel sendiri, lihat Hegel, System of Ethical Life and First Philosophy of Spirit, dalam Harris and Knox (edit & transl), (Albani, State Universiti of New Yirk Press, 1979), 20.
[14] Ross Poole, Ibid.
[15] Pernyataan tenteng keabsolitan roh atau spirit ini, lihat Betrand Russell, History of Westrn Philosophy, (Unwin, University Books, 1948), 702.
[16] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, 104.
[17] Bandingkan persoalan dengan, Walsh, Hegelian Ethics, (London, Macmillan, 1969), 59.
Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk melihatnya klik disini
1 komentar:
Ethics are a extrinsic value, to guide and make moral standardized. Moral is intrinsec, inherent, valued by itself.
Nowadays, it seems both are becoming such a rare thing in our society, unfortunately. I'm a sociologist and I loved your blog. Congrats and thanks for sharing!
Posting Komentar