Kamis, Desember 03, 2009

the Illumination Concept of Suhrawardi

Konsep Iluminasi Suhrawardi
Oleh: A Khudori Soleh
Pemikiran Isyraqiyah (illuminatif), secara ontologis maupun epistemologis, lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Menurut Suhrawardi (1153-1191 M),[1] filsafat paripatetik yang sampai saat itu dianggap paling unggul, ternyata mengandung bermacam kekurangan. Antara lain, secara epistemologis, ia tidak bisa menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, bahkan silogisme rasional sendiri, pada saat tertentu, tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.
Sementara itu, dari sisi ontologis, Suhrawardi tidak bisa menerima konsep paripathetik, antara lain, dalam soal eksistensi-essensi. Baginya, yang fundamental dari realitas adalah essensi, bukan eksistensi seperti diklaim kaum paripatetik. Essensilah yang primer sedang eksistensi hanya sekunder, merupakan sifat dari essensi dan hanya ada dalam pikiran.[2] Ini sekaligus membalik konsep Plato bahwa eksistensi hanyalah bayangan dari ide dalam pikiran.

A. Pengertian dan Sumber Isyraqi.
Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi. Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.[3] Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.[4]
Dalam bahasa filsafat, illuminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni.[5] Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya.[6]
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbolisme cahay digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat (ipseity) individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.[7]
Selanjutnya, tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, menurut SH. Nasr,[8] terdiri atas lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, yang menjelaskan adanya hubungan antara nûr (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran illuminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagianya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi.
Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Pyithagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno. Disini Suhrawardi mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinanya secara baru dan memandang para pemikir Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes).
Kelima, bersandar pada ajaran Zoroater dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri.[9] Namun demikian, secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut dualisme dan tidak menuduh mazhab Zahiriyah sebagai pengikut Zoroaster. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai anggota jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
Dengan demikian, pemikiran isyraqi Suhrawardi bersandar pada sumber-sumber yang beragam dan berbeda-beda, tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar bisa dikelompokkan dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Namun, yang mesti menjadi perhatian, hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Ia justru mengkliam dirinya sebagai pemadu (pemersatu) antara apa yang disebut hikmah ladûniyah (genius) dan hikmah al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.[10]
Lebih jauh, Suhrawardi bahkan mengklaim dirinya sebagai pusat pertemuan dua cabang hikmah dunia. Menurutnya, juga menurut kebanyakan penulis abad pertengahan, hikmah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi Idris (Hermes), sehingga ia dipandang sebagai pendiri filsafat dan ilmu-ilmu (wâlid al-hukamâ’). Dari Hermes ini hikmah (filsafat) kemudian terbagi pada dua cabang: satunya di Persia dan satunya di Mesir yang dari Mesir ini kemudian melebar ke Yunani. Selanjutnya, melalui dua cabang ini, khususnya Persia dan Yunani bertemu kembali membentuk peradaban Islam.[11]
Namun, berbeda dengan kebanyakan penulis, Suhrawardi tidak menganggap tokoh-tokoh filsafat paripatetik Islam, seperti al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina serta para filosof lainya sebagai seorang filosof melainkan hanya sebagai perintis sufisme. Ia justru menengok Abu Yazid Bustami (w. 877 M) dan Abu Muhammad Sahal ibn Abdillah Tustari (815-896 M), dan menilainya sebagai seorang filosof dan ahli hikmah yang sesungguhnya. Secara ringkas, perpindahan dan silsilah ahli hikmah serta posisi Suhrawardi digambarkan sebagai berikut.

B. Gradasi Essensi.
Salah satu ajaran pokok isyrâqiyah adalah gradasi essensi. Ajaran penting yang lain, yang berkaitan dengan gradasi essensi, adalah teori kognisi yang menekankan adanya kesadaran diri untuk meraih persamaan dan kesatuan antara pikiran dengan realitas. Teori ini berkaitan dengan konsepnya tentang pengetahuan. Dari dua teori itu lahir teori ketiga, alam mitsâl, dimana struktur ontologis dari realitas spiritual atau ‘alam atas’ dianggap mempunyai kemiripan atau mengambil bentuk-bentuk gambar konkrit dari alam materi atau ‘alam bawah’. Ajaran ini dikembangkan Ibn Arabi (1165-1240 M) menjadi ide tentang alam semesta sebagai macroanthropos (al-insân al-akbar) atau macro-persona (al-syakhsh al-akbar). Semesta ini dipolakan sebagai manusia. Kamampuan-kemampuan kognitif manusia diproyeksikan kedalam struktur ontologis realitas yang tampak sebagai seseorang, sehingga sebagimana manusia, semesta ini mempunyai persepsi inderawi, imajinasi, pemikiran rasional dan intuisi spiritual.[12] Suhrawardi lebih mengembangkan dua ajaran pertama tersebut, soal gradasi essensi dan teori kognisi.
Bagi Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi hanya ada dalam pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder yang tidak terdapat dalam realitas, sedang yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya hanyalah essensi-essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya.[13] Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali. Sebab itu, ia tidak membutuhkan definisi, bahkan tidak ada yang lebih tidak membutuhkan definisi kecuali cahaya. Sebagai realitas segala sesuatu, ia menembus setiap susunan entitas, fisik maupun non-fisik sebagai komponen essensial dari cahaya.[14]
Namun demikian, menurut Suhrawardi, masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan Cahaya Segala Cahaya (Nûr al-Anwâr) yang merupakan sumber segala cahaya. Semakin dekat dengan Nûr al-Anwâr yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun atas gradasi essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya, mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.[15]
Persoalannya, bagaimana realitas cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakannya tersebut ‘keluar’ dari ‘Cahaya Segala Cahaya’ yang Esa dan kuat kebenderangannya? Menurut Husein Ziai, proses itu pada dasarnya tidak berbeda dengan teori emanasi pada umumnya, (1) gerak menurun dari yang ‘lebih tinggi’ ke yang ‘lebih rendah’, yakni emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya, (2) peniadaan penciptaan, yakni semesta tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) keabadian semesta, (4) hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.[16]
Namun, gagasan emanasi Suhrawardi disini tidak hanya mengikuti teori yang dikembangkan kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus, dan inilah yang membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama, adanya emenasi dari masing-masing cahaya yang berada dibawah Nûr al-Anwâr. Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshûl) tetapi tidak berbeda dengan Nûr al-Anwâr kecuali pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan, (1) ada sebagai cahaya abstrak, (2) mempunyai gerak ganda, ‘mencintai’ (yuhibbuh) serta ‘melihat’ (yusyâhiduh) yang diatasnya, dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada dibawahnya. (3) mempunyai atau mengambil ‘sandaran’ dimana sandaran ini mengimplikasikan sesuatu, seperti ‘zat’ yang disebut barzah, dan mempunyai ‘kondisi’ (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai ‘wadah’ bagi cahaya. (4) mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni ‘kaya’ (ghâni) dalam hubungannya dengan cahaya dibawahnya dan ‘miskin’ (fâkir) dalam kaitannya dengan cahaya diatas. Ketika cahaya pertama melihat Nûr al-Anwâr dengan dilandasi cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya, ketika cahaya pertama melihat kemiskinannya, ia memperoleh ‘zat’ dan ‘kondisi’nya sendiri. Proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental world).[17]
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nûr al-Anwâr tanpa durasi dan pada ‘momen’ tersendiri Nûr al-Anwâr menyinarinya sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini,pada prosesnya, menerima tiga cahaya, dari Nûr al-Anwâr secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Nûr al-Anwâr yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.[18]

C. Kesadaran Diri.
Pemikiran Suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan konsepnya tentang pengetahuan. Menurut pemikian sebelumnya, khususnya kaum paripatetik, pengetahuan diperoleh lewat berbagai cara, (1) lewat definisi, (2) lewat perantara predikat, seperti X adalah Y, (3) lewat konsepsi-konsepsi (tashawûr). Ini terjadi, karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya berada diluar eksistensi subjek. Diantara keduanya tidak ada keitan logis, ontologis atau bahkan epistemologis. Karena itu, pengetahuan ini menuntut konfirmasi (tashdîq) untuk menentukan kriteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada kesesuaian antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah, jika tidak ada kesesuaian diantara keduanya.[19]
Suhrawardi mengkritik proses mengetahui seperti itu. Menurutnya, proses tersebut mengandung beberapa kelemahan, (1) menunjuk pada sesuatu yang tidak hadir (al-syayi’ al-ghâib), (2) terbatas, karena tidak semua objek bisa dikonsepsikan atau didefinisikan, (3) apa yang telah ada dalam konsep mental tidak mungkin pernah identik dengan realitas objektif yang ada diluar, sehingga tidak terjamin validitasnya, (4) terikat pada proses waktu.[20]
Bagi Suhrawardi, agar dapat diketahui, sesuatu harus terlihat seperti apa adanya (kamâ huwa). Sedemikian, sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighnâ `an al-ta`rîf). Misalnya, warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya (lâ yumkin ta`rifuhu liman lâ yusyâhiduh kamâ huwa). Jelasnya, dalam hal ini, Suhrawardi menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apapun. Jenis ‘hubungan illuminasi’ (idlâfah isyrâqiyah) inilah yang merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan, dan konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap objek yang menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi jika objek-objeknya ‘dirasakan’.[21] Atau dalam istilah Henry Bergson, membedakan antara ‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) dan ‘pengetahuan tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan mengenai’ adalah pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat perantara, indera maupun rasio; ‘pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.[22]
Proses-proses mengetahui secara langsung atas hal-hal yang sederhana tersebut, seperti warna, rasa, bau, suara dan lainnya, juga berlaku pada sesuatu yang lebih besar dan majemuk. Bedanya, sesuatu yang sederhana dan tunggal diketahui lewat essensinya, sedang hal-hal yang menjemuk diketahui lewat sifat-sifat essensinya. Namun, yang pasti, substansi dapat diketahui lewat dirinya sendiri, tetapi hanya dengan cara hubungan illuminasi subjek yang memahami, yakni dapat ‘memahami’ dan ‘melihat’ objek sebagai essensi yang sebenarnya.[23]
Dengan demikian, dalam pandangan Suhrawardi, sebuah pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung (al-idlâfah al-isyrâqiyah) dan tanpa halangan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Namun, hubungan ini sendiri tidak bersifat pasif melainkan aktif, dimana subjek dan objek satu sama lain hadir dan tampak pada essensinya sendiri dan diantara keduanya saling bertemu tanpa penghalang.[24]
Persoalannya, bagaimana subjek bisa menangkap essensi yang sebenarnya dari objek, dan sebaliknya objek mampu menghadirkan essensinya pada subjek? Suhrawardi menjawab persoalan ini dengan apa yang disebut ‘kesadaran diri’. Menurutnya, kesadaran diri (idrâk al-anâ’iyah) adalah sama dengan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri (idrâk mâ huwa huwa), seperti kesadaran akan rasa sakit adalah sama dengan pengetahuan akan sakit dialami. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menyadari essensi mereka sendiri, dan sesuatu yang tidak bisa dibantah. ‘Anda’ tegas Suhrawardi ‘tidak pernah tidak menyadari essensi anda’. Namun, kesadaran diri tidak boleh dimunculkan oleh ide tentang kesadaran diri. Artinya, kesadaran diri tersebut tidak dilahirkan oleh ide tentang kesadaran melainkan oleh kesadaran itu sendiri. Ini penting, sebab jika kesadaran tersebut lahir dari ide tentang kesadaran, maka akan lahir dua hal yang berbeda, subjek yang menyadari dan objek yang disadari, sehingga tidak diketahui essensi diri sendiri.[25]
Dari prinsip-prinsip ini Suhrawardi kemudian menarik kesimpulan umum, bahwa segala sesuatu yang menyadari essensinya sendiri berarti memberi kesadaran pada semua wujud yang berada dalam tingkat yang sama. Lebih lanjut disimpulkan, kesadaran diri sama dengan manifetasi wujud atau sesuatu yang tampak (zhâhir) yang diidentifikasi dengan ‘cahaya murni’ (nûr mahdl). Kesadaran diri, karena itu, diidentifikasi dengan ‘penampakan’ (manifestasi) dan ‘cahaya seperti apa adanya’ (nafs al-zhuhûr wa al-nûriyyah). Dari sini kemudian dinyatakan, bahwa setiap orang yang memahami essensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya sendiri.[26]
Selanjutnya, cahaya murni tersebut adalah ‘bagian’ dari cahaya abstrak, sedang cahaya-cahaya abstrak -–bagi Suhrawardi-- adalah sama dan satu kesatuan, tetapi berbeda dari tingkat intensitas penampakannya. Karena itu, dalam istilah kesadaran, berarti bahwa setiap ‘aku’ secara essensial adalah sama dengan ‘aku’ yang lain, karena masing-masing adalah kesadaran diri. Yang mungkin membedakan adalah tingkat kesadaran masing-masing. Artinya, kesadaran inilah yang dalam filsafat illuminasi disebut isfahbad al-nasût yang mengantarkan manusia untuk mengenal dirinya dan bertemu dengan essensi semesta.[27]
Dengan kondisi seperti itu, dimana pengetahuan tidak dihasilkan lewat hubungan subjek-objek, tetapi oleh kesadaran dan perasaan yang dialami secara langsung, maka ia bebas dari dualisme logis, kebenaran dan kesalahan. Selain itu, ia juga bebas dari pembedaan antara pengetahuan dengan ‘konsepsi’ dan pengetahuan dengan ‘kepercayaan’, atau antara ‘makna’ dan ‘nilai kebenaran’ dalam kajian logika modern.[28] Pengetahuan yang didasarkan atas objek swaobjektivitas yang bersifat immanen ini kemudian dikenal dengan ‘ilmu huduri’ (pengetahuan yang dihadirkan), karena objeknya justru hadir dalam -–kesadaran-- subjek yang mengetahui.

D. Metode Mendapatkan Pengetahuan.
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa swaobjektivitas yang melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menertima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa disini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal; (1) suatu aktivitas tertentu, (2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan, (3) ilham.[29]
Kedua, tahap penerimaan, dimana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana dengan lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain. Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.[30]
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.[31] Berdasarkan perbedaan metode yang menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran beriutnya memajukan diri untuk membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing dari pengetahuan yang sesungguhnya. Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3) Para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri mereka sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat pada apa yang dinamakan ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini.[32]

E. Penutup.
Dalam perspektif historis, setelah Ibn Rusyd (1126-1198 M) tidak berhasil mempertahankan logika dan filsafat Aristotelian dari serangan al-Ghazali (1058-1111 M), usaha Suhrawardi yang mengkompromikan berbagai aliran pemikiran, khususnya nalar diskursif dengan intuitif intelektual, ternyata memberikan arah baru bagi perkembangan filsafat Islam. Kenyataannya, metode penggabungan antara filsafat dengan tasawuf ini lebih dominan dan diikuti para pemikir Islam sesudahnya, antara lain, seperti yang ditunjukkan Ibn Arabi (1165-1240 M) dan Mulla Sadra (1573-1641 M). Disisi lain, penggabungan dua nalar tersebut adalah sesuatu menarik untuk direnungkan. Dengan filsafat, seseorang bisa berfikir sejauh dan seluas mungkin, tetapi dengan adanya agama dan spiritualitas, ia tetap terkendali dan berada dalam batas-batas yang ditentukan. Artinya, dengan penggabungan tersebut, pada saat ini, pengetahuan dan teknologi mestinya bukan menjadi tujuan hidup melainkan hanya sebagai sarana agar manusia sadar akan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.
Pemikirannya tentang illuminasi dimana prosesnya terus berjalan tanpa henti, memberikan pemahaman bahwa realitas yang ada sangat luas, terbentang tanpa batas. Satu-satunya yang membatasi hanyalah kegelapan, suatu ‘wilayah’ yang tidak atau belum terjangkau oleh cahaya. Ini adalah gagasan yang berani dan memberi tantangan baru bagi pemikiran manusia, dibanding konsep emanasi al-Farabi yang berhenti pada tingkat ke-12. Disisi lain, konsepnya bahwa realitas cahaya yang merupakan hakekat wujud adalah satu meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya, akan menggiring pada faham essensialisme. Dalam bidang teologi, konsep ini bisa diterjemahkan dalam sebuah doktrin bahwa ‘keseluruhan wujud adalah Tuhan tetapi Tuhan bukanlah keseluruhan wujud’, sehingga menjadi faham monistik.
Terakhir, konsep tentang kesadaran diri. Ini adalah salah satu gagasan khas Suhrawardi, dan dengan menempatkan ‘aku’ dalam posisi yang sangat menentukan dalam proses pengetahuan telah memberikan pedoman baru tentang bagaimana sebuah pengetahuan dan kebenaran yang sesungguhnya harus dicapai. Disamping itu, ini juga merupakan bibit dari sebuah pemikiran yang kemudian dikenal sebagai eksistensialisme. Persoalannya, dalam kaitan antara intuitif dan diskursif, bagaimana Suhrawardi harus menjelaskan bahwa kebenaran hasil pengalaman intuitif harus diuji dengan logika Atistotelian (pemikiran diskursif), padahal kekuatan logika dianggap tidak mampu menggapai hakekat realitas dan kebenaran?

Catatan Kaki


[1] Mehdi Aminrazavi, Pendekatan Rasional Suhrawardi Terhadap Problem Ilmu Pengetahuan, dalam jurnal Al-Hikmah, (Bandung, edisi 7 Desember 1992), 71-72.

[2] Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. Mujahid, (Bandung, Risalah, 1986), 85; Armahedi Mahzar, ‘Pengantar’ dalam Fazlur Rahman, Filsafat Sadra, terj. Munir Muin, (Bandung, Pustaka, 2000), xv.

[3] Lihat al-Munjid fî al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1969), 384; Abd al-Hulw, “al-Isyraqiyah” dalam Main Ziyadah, al-Mausû`ah al-Falsafiyah al-Arabiyah, II, (Tk, Ma`had al-Inmâ’ al-Arabi, 1988), 109.

[4] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 1979), 311.

[5] Lionello Venturi, “Illumination” dalam Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey, Littlefield, Adams & Co, 1976), 141.

[6] Abd al-Hulw, “al-Isyraqiyah” dalam al-Mausû`ah, II, 109.

[7] Hossein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, 27.

[8] Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 74.

[9] Zoroastrianisme adalah agama orang Iran-kuno yang bersifat dualistik, berkembang pada abad ke-7 SM. Penciptanya diduga nabi mistik Zarathustra (Zoroaster). Ajaran utamanya adalah tentang pergumulan yang terus menerus antara unsur yang berlawanan di dunia, yakni kebaikan (cahaya) dan kejahatan (kegelapan). Lihat Loran Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), 1188.

[10] Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 75.

[11] Ibid.

[12] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago-London, University of Chicago Press, 1979), 124-5. Tentang ajaran Ibn Arabi soal ‘alam mitsal’, lihat William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibn Arabi, terj. Ahmad Syahid, (Surabaya, Risalah Gusti, 2001).

[13] Armahedi Mahzar, ‘Pengantar’ dalam Rahman, Filsafat Shadra, xv dan 36.

[14] Madjid Fakhry, History of Islamic Philosophy, (New York & London, Colombia University Press, 1970), 331-2.

[15] Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 88-89.; Abd al-Hulw, “al-Isyraqiyah” dalam al-Mausû`ah, II, 109.

[16] Husein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, 148.

[17] Ibid, 149.

[18] Ibid, 150. Uraian secara terinci proses illuminasi ini, lihat Maryam, Suhrawardi al-Maqtul, 57-65.

[19] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Mizan, 191994), 62-64; Husein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, 131

[20] Husein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, 135.

[21] Ibid, 130.

[22] Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogya, Tiara Wacana, 1996), 144-145.

[23] Husein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi,131.

[24] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, 211-215.

[25] Husein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, 141; Siti Maryam, Suhrawardi al-Maqtul, (Yogya, Tesis IAIN Su-Ka, 1995), 95.

[26] Husein Ziai, ibid, 141.

[27] Ibid, 142; Maryam, Suhrawardi al-Maqtul, 96-8.

[28] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, 79-80.

[29] Husein Ziai, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, 36.

[30] Ibid, 37.

[31] Mehdi Aminrazavi, Pendekatan Rasional Suhrawardi, 76; Hosein Ziai, ‘Syihab al-Din Suhrawardi Founder of the Illuminationist School’ dalam Husein Nasr & Oliver Leaman (edis), History of Islamic Philosophy, (London & New York, Rouledge, 1996), 452.

[32] Lihat Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 80.

Artikel ini dikutip dari buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM, Penerbit Pustaka Pelajar, 2004, halaman 119-136. Tulisan-tulisan yang lain klik di sini.

0 komentar:

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP