Theology Reconstruction of Hasan Hanafi
Rekonstruksi Teologi Hasan Hanafi [2] AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogya, Ittaqa Press, 1998), 44-5. Atas dasar inilah kemudian Hanafi menuduh teologi Asyari sebagai salah satu penyebab kemunduran Islam, disamping sufisme. [6] Menurut Boullata, pemikiran Hanafi didasarkan tiga metodologi; analisan sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Maxsian. Boullata, ‘Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, edisi, I, (Juni-Sept, 1993), 21. [7] Lihat Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996), 235; Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogya, Kanisius, 1983), 80. [8] Lihat Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism, (Amsterdam, University of Amsterdam, 1979), 1-2, sebagaimana dikutip oleh Ridwan dalam Reformasi Intelektual..., 70. [9] Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta, Pembangunan, 1984), 121-124; Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung, Alumni, 1980), 52. Lihat juga Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta, Ghalia, 1984), 113-7. [11] Ridwan, Reformasi Intelektual..., 22 yang dikutip dari Hanafi, Dirasah al-Islamiyah, (Kairo, al-Maktabah al-Misriyah, 1981), 415. [16] Penafsiran Hanafi bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan lebih mengarah pada pembentukan manusia ideal, bukan tentang transendensi Tuhan, jelas sangat dipengaruhi pemikiran Muktazilah. Menurut kum Muktazailah, sifata-sifat Tuhan sebagaimana yang dideskripsikan dalam Asma Al-Husna sebenarnya adalah palajaran bagaimana manusia harus bertindak dan bersikap. Artinya, itu adalah sifat-sifat yang harus dipunyai dan dilakukan oleh seorang muslim. Jadi bukan penjelasan tentang eksistensi Tuhan, apalagi tentang ke-Maha Kuasaan Tuhan. Lihat, Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, (Istambul, Hakekat Kitabevi, 1985), 21-26. Konsep ini juga tidak berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kaum sufi dengan istilah insan kamil. Menurut Al-Jilli, insan kamil adalah orang yang mampu merefleksikan sifat-sifat keagungan Tuhan, sehingga ia menjadi manifestasi Tuhan di bumi. Lihat, Ibrahim Al-Jilli, Al-Insan Al-Kamil, II, (Bairut, Dar Al-Fikr, tt), 71-77. [18] Menurut Hanafi, Tuhan dalam Islam tidak sekedar Tuhan langit tetapi juga Tuhan bumi (rabb al-samawat wa al-ardl), sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan mempertahankan kekuasaan Tuhan. [19] Hanafi, Ibid, 112-114. Ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Iqbal; apa yang dinamakan hidup adanya kemauan untuk terus berusaha dan menunjukkan dirinya ada sedang kematian adalah ketidakmaun untuk maju dan berusaha. Lihat Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, (Jakarta, Panjimas, 1987), 8. [22] Ibid, 143-303. Pemikiran Hanafî ini sangat mungkin dipengaruhi oleh slogan-slogan revolosi Iran yang menyatakan, ‘la syarqiyah wala gharbiyah’ (tidak ke Barat dan tidak ke Timur), mengingat bahwa pemikiran revolosioner Hanafî, sebagaimana diakui, salah satunya diilhami dari keberhasilan revolosi Iran pimpinan Imam Khumaini. Lihat Kazuo Shimogaki, Islam Islam, 92. [25] Hanafî menyatakan bahwa tauhid mengandung dua dimensi; penafian dan penetapan (itsbat). Kata ‘Lailaha’ berarti penafian terhadap segala bentuk ketuhanan, sedang ‘Illallah’ adalah penetapan tentang adanya Tuhan yang Esa. Ibid, 326. [26] Statemen ini sama sebagaimana dikatakan Muthahhari, meski dalam pengertian yang berbeda. Menurut Muthahari, konsep-konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam perbuatan, yang dalam faham Mutahari difokuskan dalam bentuk ibadah. Lihat Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, (Bandung, Yayasan Mutahhari, 1992), 7-23. [27] Hanafi, Min al-Aqîdah, 330. Pandangan seperti ini pernah disampaikan oleh Mutahhari dengan konsep yang masih lebih luas. Bahwa tauhid adalah kesatuan ciptaan tanpa membedakan antara yang duniawi maupun ukhrawi, manusia dengan binatang, spiritual dengan kewadagan dan seterusnya. Lihat Muthahhari, Fundamentals of Islamic Though, sebagaimana yang dikutip Shimogaki dalam Islam Kiri, 19. Hanya saja, disini, Hanafi lebih jelas dan terfokus pada manusia. [28] Hanafi sendiri, sebagaimana dikatakan didepan, memang menolak jika dikatakan bahwa dirinya dipengaruh pemikiran Barat apalagi Maxsisme. Menurutnya, apa yang dilakukan semata berdasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan islam sendiri dan berkandaskan akan realitas sosial muslim. [30] Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika (Bandung, Mizan, 1993), 20.
Oleh. A Khudori Soleh
Teologi Islam (ilm al-kalâm asy`ari), secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun filosofis.[1] Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran.[2]
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi,[3] dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
A. Teologi Antroposentris.
Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.[4]
Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.[5] Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berfikir; dialektika, fenomenologi dan hermeunetik.[6] Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis di mana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankan diatas kakinya.[7] Artinya, kalam klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal.
Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya-miskin, atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep Hegel maupun Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme.[8] Disini mungkin ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa).
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui --minamal-- dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya.[9]
Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolosi.[10] ‘Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya.[11] Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.[12]
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsir sendiri.[13]
Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk melandingkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai manusia.[14] Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.
Menurut AH. Ridwan,[15] hermeneutik Hanafi dipengaruhi metode hermeneutik Bultmann. Akan tetapi, penulis tidak melihat signifikansi yang jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadic kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.
B. Operasinalisasi Teologi Hanafi.
Dari dua tawaran konsep diatas, ditambah metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan soal tauhid.
Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.[16]
Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushâf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya (aushâf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.[17]
Di sini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik.[18] Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm binafsih dan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut.
Pertama, wujûd. Menurut Hanafi, wujud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena --sekali lagi-- Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri.[19]
Kedua, qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.[20]
Ketiga, baqa berarti kekal, pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana Berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi.[21] Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.
Keempat, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.[22]
Kelima, wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.[23]
Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik.
Menurut Hanafi,[24] apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (itsbat).[25] Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.[26] Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.[27]
C. Penutup.
Berdasar uraian di atas disampaikan beberapa hal.
Pertama, dari sisi metodologis, Hasan Hanafi dipengaruhi --atau ada kesamaan dengan-- cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan Husserl. Pengaruh atau tepatnya kesamaan dengan metode Husserl terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas pengaruh Barat. Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl. Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogannya yang dipergunakan, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat muslimin dihadapan Barat dan sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme. Kesamannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Hanya saja, bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi roh yang tidak sekedar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau kerohanian yang menggerakkan sebuah perjuangan muslim. Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan; bahwa perjuangan mesti memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxis tetapi tidak marxisme, Barat tetapi tidak ‘sekuler’.[28] Ada metode-metode yang orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri.
Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, terus terang, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula konsepnya tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru. Disinilah orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya.
Selanjutnya, mengikuti apa yang digagas Hanafi, ada ada cacatan yang perlu disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam kadar yang relatif kecil; yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis pada rasionalitas Muktazilah. Keberfihakan Hanafi pada rasionalitas Muktazilah ini menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada muktazilah, yakni bahwa mereka pernah melakukan mihnah.
Kedua, kritik Hanafi bahwa kalam Asy’ari adalah penyebab kemunduran Islam terasa terlalu menyederhakan masalah disamping tidak didasarkan investigasi historis yang memadai dan kongkrit. Kenyataannya, sebagaimana dikatakan Shimogaki,[29] Asy’ariyah telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah sangat terbelakang di banding Barat.
Ketiga, terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak sebagaimana diragukan Boullata,[30] jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan transenden [.]
Catatan Kaki
[1] Apa yang dimaksud ilmiah dalam pandangan Hanafi disini adalah jika teologi tidak asing dari dirinya sendiri. Artinya, teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Lihat Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), 408-9. Adapun statementnya bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis, sama sebagaimana yang pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa metodologi teologi tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga teologi hanya cocok untuk komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis. Lihat Osman Bakar, Herarkhi Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 149. Statement ini juga pernah disampaikan oleh Al-Ghazali, dalam Al-Munqid Min al-Dlalâl, ( Beirut, dar al-Fikr, tt), 36.
0 komentar:
Posting Komentar