Sabtu, September 13, 2008

Need System of Participative Missionary

Perlu Sistem Dakwah Partisipatif
Oleh: A Khudori Soleh
Setiap bulan ramadlan, kegiatan dakwah dan kajian-kajian keagamaan senantiasa lebih ramai dan padat pengunjung. Mushalla dan masjid-masjid, di kampus maupun di kampung, penuh dengan jamaah. Media massapun ikutan meramaikan bulan rahmat ini dengan ulasan-ulasannya tentang masalah keruhaniaan. Beberapa media elektonika bahkan menambah jam siarnya untuk menyemarakkan ramadlan. Para artis juga berganti busana rapi, pakai kerundung dan ikut berdakwah melebihi seorang ustad.
Akan tetapi, kesemarakan dakwah tersebut agaknya tidak secara otomatis meningkatkan kesadaran moral masyarakat. Maksudnya, kesadaran moral masyarakat belum juga menjadi semakin baik dengan gencarnya proses dakwah tersebut. Kenyataannya, problem-problem moral dan keagamaan terus saja berlangsung, mulai dari pemerkosaan, seks bebas, perjudian sampai korupsi, bahkan ada kecenderungan bahwa masalah ini semakin meningkat. Perilaku korupsi dan penyimpangan moral saat ini justru dilakukan secara lebih vulgar dan berani dibanding waktu-waktu tahun lalu.
Adakah yang salah dalam sistem dakwah kita? Ini penting, karena target utama dari gerakan dakwah sesungguhnya adalah munculnya kesadaran dalam diri masyarakat bagaimana mereka harus hidup sesuai dengan ketentuan-Nya. Yang penting adalah perbaikan perilaku secara sadar dari masyarakat sendiri berdasarkan pemahamannya tentang nilai-nilai moral keagamaan yang dianutnya. Lebih dari itu, juga timbulnya sikap kritis dalam memahami berbagai persoalan yang timbul, sehingga dengan menggunakan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai terms of reference-nya, mereka dapat menganalisa dan memberikan alternatifnya.

Komunikasi Searah.
Kelemahan atau kekurang efektifan gerakan dakwah selama ini disebabkan oleh pola dakwah yang kurang tepat. Gerakan-gerakan dakwah atau hubungan antara dai dan masyarakat, sampai sejauh ini, tampaknya masih lebih banyak menggunakan pola hubungan komunikasi searah. Paradigma yang digunakan adalah pandangan bahwa masyarakat adalah objek yang harus dituntun karena kedlaifannya, sedang dai (lembaga dakwah) adalah subjek yang bertugas menjaga masyarakat agar tetap berjalan pada aturan yang benar (lurus).
Model dakwah seperti itu tidak berbeda dengan kosep bank di mana masyarakat diibaratkan wadah kosong yang harus diisi dengan keyakinan, nilai-nilai moral serta praktek-praktek kehidupan agar disimpan untuk kemudian dikeluarkan pada saat dibutuhkan. Model dakwah tersebut juga mengingatkan kita pada pola hubungan antara guru dan murid yang pernah dikritik keras oleh Paulo Freire. Keduanya memang ada kemiripan: (1) dai mengajar, masyarakat diajar; (2) dai berbicara masyarakat mendengarkan; (3) dai berfikir masyarakat difikirkan; (4) dai berbuat masyarakat mencontoh.
Model dakwah dengan komunikasi searah seperti di atas mengandung kelemahan-kelemahan. Pertama, ketika dai bertindak sebagai subjek, maka masyarakat yang menjadi objek menjadi cenderung untuk lebih bersikap pasif dan diam. Mereka mengidentifikasikan diri dengan segenap aspirasi dan nilai yang dianut dainya. Juga, menerima bulat-bulat apa yang disampaikan dai tanpa ada kemauan dan keberanian untuk bertanya dan memprotes. Karena itu, jika kemudian terjadi perbedaan pendapat diantara para dai, mereka menjadi resah dan bingung. Menurut ustad itu hukumnya boleh, menurut ustad ini hukumnya tidak boleh, mana yang benar dan harus diikuti? Artinya, masyarakat tetap tidak mampu dan mau berpikir sendiri meski telah aktif mengikuti pengajian sekian lama.
Lebih jauh, pola dakwah seperti itu mudah untuk menggiring terciptanya rasa “fanatisme dai”. Masyarakat mempersepsikan diri sebagai milik dai tertentu yang disukai. Karena itu, tidak jarang dijumpai sebagian masyarakat yang mau datang ke majlis taklim ketika yang ceramah adalah dai idolanya dan sebaliknya menjadi malas datang bila orang lain.
Kedua, dari sisi sang dai sendiri, bisa dengan mudah memberikan materi ceramah sesuai dengan “pesan sponsor” atau kepentingan tertentu. Kenyataannya, tidak jarang kita temui ceramah-ceramah keagamaan yang isinya mengikuti dan menyesuaikan dengan kebutuhan lembaga yang mengundang, atau untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Apa yang terjadi saat kampanye adalah salah satu contoh tentang hal ini.
Ketiga, dari aspek materi. Dalam dakwah model satu arah di mana seorang dai berhadapan dengan banyak massa, maka materi yang disampaikan biasanya lebih bersifat umum tanpa melihat kenyataan empirik yang dihadapi masyarakat, sehingga ceramah atau majlis taklim hanya berfungsi sebagai “santapan ruhani”; setelah disantap kenyang, puas dan selesai. Lebih dari itu, materi-materi dakwah yang disampaikan bahkan lebih bersifat seperti “obat bius”, di mana kajian-kajian keislaman disampaikan sedemikian rupa sehingga pendengar terharu dan menangis tapi tanpa ada motivasi untuk berbuat sesuatu guna meningkatkan kualitas iman dan status sosial mereka.
Karena itu, model dakwah seperti itu, ukuran berhasil dan tidaknya lebih didasarkan atas aspek formal: jumlah pengunjung, jumlah murid atau banyaknya santri. Dari sisi dai sendiri, dai yang baik adalah yang lebih fasih mengucapkan dalil, yang namanya arab, berhaji dan seterusnya. Bagaimana pengaruh dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat kurang dan bahkan tidak terperhatikan.

Dakwah Partisipatif.
Untuk mengatasi kelemahan model dakwah satu arah diatas, diperlukan model dakwah alternatif yang disebut sebagai pola dakwah partisipatif. Dalam dakwah model ini, masyarakat bukan hanya berdiri sebagai objek, tetapi sekaligus juga subjek. Mereka tidak hanya dipikirkan, tetapi juga ikut memikirkan nasibnya sendiri. Hubungan antara dai dan masyarakat bukan lagi “saya” dan “kalian”, tetapi “kita”, sehingga ada kebersamaan, kesetaraan dan keterbukaan. Materi-materi dakwahnya bukan disodorkan dari luar tetapi dari pengalaman masyarakat sendiri. Dari problem-probem kehidupan mereka sendiri.
Model dakwah ini dimaksudkan untuk mendorong timbulnya pemikiran kritis pada masyarakat. Di sini, dai tidak memberikan ceramah atau jawaban kunci pada persoalan yang dibahas, tetapi hanya bertindak sebagai fasilitator dengan menyediakan ayat-ayat atau hadits sebagai landasan hukum. Masyarakat sebagai peserta dakwah, diajak dan diberi kesempatan untuk berfikir aktif, belajar dan mencoba memahami ayat atau hadits-hadits tersebut, bahkan juga diberi kesempatan untuk keliru. Namun, ketika terjadi kekeliruan, sang dai maju untuk memberikan penjelasan. Di sini, dibutuhkan dai yang berkemampuan tinggi, partisipatif serta adil.
Pola dakwah ini lebih bersifat dialog atau diskusi bersama. Dari situ diharapkan muncul kesadaran dan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi dan dibicarakan. Selain itu, diharapkan akan muncul sikap kritis dan bebas walau tidak sejalan dengan pandangan sang dai. Sebab, tidak mustahil refleksi Islam versi dai tidak sama dengan refleksi masyarakat berdasarkan pengalaman hidup mereka masing-masing. Inilah yang dimaksud sebagai pemahaman kontekstual, dan Islam sesungguhnya adalah ajaran yang kontekstual. Ia dapat dipahami dan dilaksanakan masyarakat sesuai dengan konteks dan tingkat intelektualitasnya masing-masing. Yang penting dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk melihat tulisan-tulisan yang lain, klik disini

1 komentar:

Syamsuddin Ideris Selasa, September 16, 2008  

Ya, ummat Islam saat ini sangat membutuhkan para dai yang berdakwah dengan sistem partisipatif. Jangan heran acara dakwan interaktif di TV, tanya-jawab di majalan/koran dan radio sangat digemari.

Faktanya masyarakat kita membutuhkan siraman rohani dan butuh jawaban praktis atas persoalan fikih dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kendala utama, sebagian besar ummat tidak sempat atau tidak punya akses ke pengajian rutin atau majelis ilmu.

Disinilah diharapkan olah pikir dan daya kreatif para dai untuk menjangkau mereka.

Salam kenal dan sukses selalu.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP