Kamis, September 25, 2008

Pornograpy Disapprove of Humanity Value

Pornografi Menyalahi Nilai Kemanusiaan
Oleh: A Khudori Soleh
RUU Pornografi telah menimbulkan pro kontra. Mereka yang setuju mendesak DPR untuk segera mengesahkan Undang-Undang tersebut, karena dianggap dapat menjaga dan menekan hal-hal yang dapat merusak moral anak bangsa. Sebaliknya, mereka yang menolak melakukan demonstrasi menentang. Alasannya, Undang-Undang tersebut dikhawatirkan dapat memasung kreativitas dan kelestarian budaya. Tulisan ini tidak akan terlibat dalam polemik tersebut melainkan hanya ingin melihat perilaku pornografi dan pornoaksi dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Harus diakui bahwa perilaku pornografi maupun pornoaksi bukan sesuatu yang baru dan asing bagi masyarakat kita. Sudah tidak terhitung pornografi dan pornoaksi yang tersaji de depan kita. Mulai dari kalender porno, gambar iklan, film, goyang panggung dan seterusnya. Masyarakat terasa capek memberikan komentar dan respon.
Yang menarik, para pelaku itu biasanya berkelit dengan alasan seni. Mereka melakukan itu semua demi seni dan tidak ada yang porno dalam dunia seni. Alasan ini juga digunakan Ratna Dewi Sukarno ketika berpose syur dalam bukunya “syuga" beberapa tahun lalu. Benarkah demi seni? Seni apa yang menganjurkan kita telanjang? Jika benar, dimana nilai-nilai kemanusiaan kita? Bagaimana menjelaskan perbedaan kita dengan binatang yang juga telanjang? Atau bagaimana menjelaskan perbedaan kita dengan orang-orang di pedalaman yang juga telanjang, yang karena itu kemudian kita sebut mereka primitive?

Seni Telanjang
Pernyataan bahwa adegan dan gambar telanjang mengandung nilai-nilai estetika tinggi adalah berasal dari paham humanisme Yunani kuno. Menurut Ali Syariati paham ini berangkat dari sebuah mitologi yang menganggap bahwa antara langit dan bumi, antara alam dewa dan manusia terdapat pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai muncul kedengkian dan kebencian di antara keduanya. Para dewa dianggap sebagai kekuatan yang memusuhi manusia. Segala perbuatan dan usahanya ditegakkan diatas kekuasaan yang dzolim terhadap manusia. Siapa yang tidak patuh dianggap pembangkang dan dihukum berat.
Di sisi lain, manusia selalu berusaha menyelamatkan diri dari belenggu dan keangkara-murkaan tersebut. Untuk bisa bebas dan merdeka, manusia harus mampu merebut kekuasaan dewa, dan menggusur tahta kekuasaan mereka atas alam semesta. Hubungan yang bercorak permusuhan seperti itu, tentu saja logis dan wajar. Sebab, dalam mitologi Yunani kuno, dewa adalah penguasa segala bentuk dan manifestasi dari kekuatan fisik yang terdapat dalam alam semesta; laut, sungai, gempa, penyakit, kelaparan, panas, hujan dan lain-lain.
Berdasarkan hal itu, maka pertarungan antara dewa dan manusia, pada dasarnya adalah pertarungan antara manusia melawan penguasa alam yang berlaku atas kehidupan, kehendak dan nasib manusia. Manusia sendiri, dengan segala kekuatan, kecerdasan dan kesadarannya yang meningkat, mencoba membebaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut; agar mampu menentukan urusannya sendiri dan menjadi kekuatan yang berkuasa atas alam semesta.
Dari mitos tersebut, paham humanisme Yunani akhirnya mengambil bentuk sebagai penentangan terhadap kekuatan dewa, kekuatan tuhan-tuhan sesembahan mereka. Humanisme Yunani berusaha mencapai jati diri manusia dengan seluruh kebenciannya kepada Tuhan. Bahkan, mereka akhirnya mengingkari-Nya dan hanya memperhatikan dirinya sendiri. Manusia dianggap sebagai puncak segalanya; penentu benar salahnya suatu perbuatan, dan potensi segala keindahan.
Karena itu, dalam estetika Yunani, tubuh manusia menjadi perhatian utama. Karya-karya besar mereka, baik berupa bangunan, seni lukis atau patung, selalu mengambil manusia sebagai objek, dan menggambarkannya dalam bentuk telanjang. Sebab, lekuk-lekuk tubuh --umumnya wanita-- telajang dianggap sebagai puncak karya seni dan puncak keindahan, sesuai dengan paham humanisme mereka yang sangat mengagungkan dan memusatkan pada diri dan tubuh manusia.

Humanisme Sejati
Manusia diciptakan dari tanah. Namun, hal itu bukan berarti ia mahluk rendah. Manusia masih mempunyai dimensi lain yang bukan tanah. Ia memiliki "fitrah" atau "ruh" yang langsung diberikan Tuhan (al-Hijir, 19); yang membuatnya menjadi mahluk paling mulia, lebih unggul dari binantang bahkan malaikat.
Manusia adalah mahluk yang sadar (berpikir), baik tentang dirinya sendiri maupun lingkungannya. Tentang dirinya, maksudnya, manusia memiliki pengetahuan budaya dalam nisbatnya dengan dirinya; hal mana yang memungkinkan manusia mempelajari dirinya sebagai objek yang terpisahkan; menarik hubungan sebab akibat, menganalisa, mendefinisikan, menilai dan akhirnya mengubah dirinya sendiri. Sadar lingkungan, maksudnya, manusia mampu memahami alam luar, menemukan berbagai hal yang tersembunyi dari indera dan mampu menganalisa serta mencari sebab-sebab dalam setiap fakta, tanpa terpaku pada hal-hal yang bersifat inderawi.
Di sini, manusia bahkan mampu menembus batas-batas indera dan merentangkan zamannya pada masa lalu dan masa yang akan datang; dua masa yang ia sendiri tidak ada didalamnya, serta mampu menggambarkan secara tepat, luas dan teliti tentang lingkungannya. Sebab itu, manusia selalu berteknologi. Ia tidak pernah menyerah atau hanya menerima "apa yang ada", tetapi selalu berusaha mengubah menjadi "bagaimana seharusnya". Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mampu mengubah lingkungan, bukan sebaliknya. Ini salah satu cirinya yang menonjol. Pascal pernah menyatakan,
Manusia sebenarnya tidak pernah menjadi sesuatu yang lain kecuali seonggok daging yang tidak berarti. Sekadar virus kecil saja telah cukup untuk membunuhnya. Akan tetapi, bila semua mahluk di bumi menyerangnya, ia ternyata lebih perkasa dari mereka. Sebaliknya, bila alam ini diancam manusia, mereka tidak menyadarinya. Artinya, kesadaran --manusia--adalah essensi yang lebih tinggi ketimbang eksistensinya".
Manusia juga mahluk bermoral, sebab dalam dirinya memang terkandung unsur lain bukan tanah. Unsur tersebut tidak punya entitas dalam alam materi, sehingga tidak wujud dalam indera. Ia bukan realita. Ia termasuk "kesempurnaan-ideal" yang ada dalam diri manusia dan bersifat batiniyah, yang berhubungan dengan salah satu fenomena, cara kerja dan situasi yang dihadapi. Jelasnya, unsur ini berhubungan dengan sesuatu yang dikenal dengan "nilai". Nilai memberikan kepada manusia kemerdekaan yang disertai dengan keutamaan essensial; kecintaan kepada sesuatu yang terbebas dari segala tendensi.
Karena potensi itulah, manusia kemudian dipercaya mengemban amanat sebagai khalifah Tuhan. Ia diberi kebebasan sekaligus tanggung-jawab. Maksudnya, manusia diberi kebebasan untuk merencanakan, mengatur dan mengembangkan tata kehidupan di bumi sesuai dengan kehendaknya yang "mandiri"; namun di sisi lain juga dituntut untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi lain yang ada dalam dirinya, sehingga menemukan jati diri manusia yang sebenarnya. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan untuk bertindak, tetapi pada saat yang sama, ia juga harus mampu membuktikan bahwa dirinya benar-benar manusia, sosok mahluk yang mengenal moral dan mempunyai kesadaran, yang menyebabkan ia dipercaya sebagai wakil Tuhan.
Untuk mencapai hal itu, tidak ada lain kecuali manusia harus mampu membawa dan menggunakan separoh dari dirinya yang berasal dari tanah, untuk mengembangkan bagian dirinya yang lain yang bersifat Ilahiyah. Manusia harus mampu membentuk moral dan pikirannya, karena dimensi inilah yang telah membedakan dia dari binatang. Caranya, dengan mendekatkan dan "menyatukan diri" dengan Tuhan. Sebab, Dialah "nilai-nilai luhur" dan "Yang Mutlak". Dialah yang telah meniupkan fitrah dalam diri manusia. Karena itulah, mengapa manusia kemudian harus beragama dan beribadah, berfikir, bertindak dan berkelakuan sesuai dengan ajaran-Nya. Semua demi kebaikannya sendiri, demi tercapainya jati diri manusia sebagai mahluk mulia dan beradab. "Hai manusia! Taatilah Aku, niscaya engkau akan menjadi 'serupa' dengan-Ku", firman Allah dalam hadits qudsi-Nya.
Apakah tanpa agama manusia tidak bisa memiliki moral yang baik? Mungkin. Namun perlu diingat bahwa semua perbuatan, bahkan yang namanya pengorbanan diri, mempunyai dan perlu justifikasi. Di sini, justifikasi tidak mungkin selamanya berupa justifikasi natural dan rasional. Perlu justifikasi lain yang yang bersifat normative. Itulah norma-norma atau ajaran yang diberikan Sang Maha Pencipta manusia. Lagi pula, apalah artinya manusia bila melepaskan diri dari tali Tuhan. Saat itu ia berarti menghilangkan dimensi-dimensi ghaib yang ada dalam dirinya yang bersifat Ilahiyah, yang dengan itu ia berarti mengingkari dirinya sendiri.
Demikianlah, nilai kemanusiaan (humanisme) sejati tidak bisa dipisahkan dari --norma-norma ajaran-- Tuhan. Seperti ditulis Syariati, humanisme sebenarnya adalah ungkapan dari sekumpulan nilai-nilai Ilahiyah yang ada dalam diri manusia, yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral. Sayang, ungkapan mulia itu sekarang tinggal slogan kosong, sebab manusia banyak yang tidak lagi mengindahkan, bahkan mengingkari ajaran-ajaran agama.

Pelecehan Nilai Kemanusiaan.
Berdasarkan hal itu, maka pornografi pornoaksi tidak dapat diterima. Sebab, itu adalah pelecehan, bahkan penjungkir-balikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam perspektif agama, tidak ada satupun agama di dunia yang merestui seseorang memajang auratnya sebagai tontonan. Islam memerintahkan umatnya untuk menutup aurat agar mereka terlindung dan terhormat. Begitu pula bila kita lihat dalam agama lain, Perjanjian Baru, misalnya.
Penolakan terhadap pornografi-pornoaksi ini akan semakin keras bila dihubungkan dengan asal pemikiran dari perbuatan tersebut, yaitu humanisme Yunani yang atheis. Sebab, kita yang hidup di bumi yang berasaskan Pancasila dan bersila Ketuhanan Yang Maha Esa telah sepakat bahwa semua pemikiran atheis bersama keturunanya harus lenyap dari Indonesia. Ketika seseorang melakukan pornografi atau pornoaksi, memamerkan auratnya, maka saat itu ia berarti telah menafikan demensi luhur dalam dirinya, sehingga yang tinggal hanya dimensi tanah. Dengan itu, ia berarti juga telah menyeret harga dirinya yang tinggi kepada nilai-nilai yang hanya bersifat materialistis. Benar. Seorang yang terlibat dalam kasus kelender porno atau mereka yang main film panas pernah menyatakan bahwa semua itu dilakukan karena telah terikat kontrak. Artinya, karena ia telah dibayar. Jika demikian, pertanyaannya kita, apa bedanya perbuatan tersebut dengan pelacur jalanan yang menjual diri dengan beberapa lembar uang.
Masyarakat di pedalaman Irian dibudayakan berpakaian karena dianggap primitif, tetapi di Jakarta para artis yang menganggap dirinya modern, berpendidikan tinggi dan mengerti tentang nilai estetika, justru berlomba melepaskan pakaiannya. Apa bedanya.
Karena itu, seseorang yang menyatakan bahwa pornografi pornoaksi bisa diterima, dengan alasan seni atau yang lain, berarti telah melepaskan diri dari "langit". Artinya, ia telah mentuhankan manusia, yang berarti pula --tanpa disadari-- telah mengubah dirinya menjadi setan. Sebab, dengan pernyataan dan perbuatannya itu, ia tidak hanya telah menjatuhkan derajat kemanusiannya pada nilai yang lebih rendah dari segerombolan binatang, tetapi juga telah merusak orang lain, sifat utama setan.
Tanpa pemikiran njlimet, kita sebenarnya juga telah mampu menindak keras para pelanggar moral. Dalam Surat Keputusan no. 31 tahun 1969, Kejaksanaan Agung RI menyatakan, “Pornografi adalah segala perbuatan, gambar, tulisan, lagu, suara dan bunyi-bunyian atau segala apa yang dapat merangsang birahi, yang menyinggung rasa susila masyarakat umum dan dapat mengakibatkan tindakan-tindakan maksiat serta mengganggu ketentraman umum". Semua itu bisa diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, sesuai dengan KUHP Bab XIV, pasal 282, ayat 3.
Lebih jelas adalah pasal 9 buku Pedoman Penyensoran film. Dikatakan, bagian film dan rekaman vidio yang harus dipotong karena diangggap merusak moral adalah;
1. Adegan pria atau wanita dalam keadaan/mengesankan telajang, baik dilihat dari depan, samping atau belakang.
2. Close up paha, buah dada, pantat, pusat dan alat vital lainnya, baik dengan penutup maupun tanpa tutup.
3. Adegan ciuman yang merangsang, oleh pasangan berlainan atau sesama jenis, seperti ciuman dengan lidah, menjilat-jilat bagian tubuh dan mencium gambar atau benda yang dilakukan dengan penuh birahi.
4. Adegan, gerakan, suara atau memberi kesan persenggamaan, oleh manusia atau hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan maupun terselubung.
5. Gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo dan oral seks.
6. Adegan melahirkan, baik manusia maupun binatang.
7. Menampilkan alat-alat kontrasepsi tidak sesuai dengan fungsi dan tidak pada tempatnya.
8. Adegan yang menimbulkan kesan jijik, jorok dan tidak
Dengan ketentuan tersebut, jelas mana yang dianggap porno dan harus ditindak dan mana yang bisa ditolerir. Sehingga, tidak ada alasan bahwa yang dilakukan itu belum bisa dikatakan porno sebab belum telajang bulat atau yang lain. Akhirnya, bila masih ada yang tetap ngotot, maka tidak ada lain bagi kita kecuali mempertanyakan keloyalan mereka pada Pancasila dan ajaran agamanya. Walahu a’lam.

Tulisan yang lain, klik disini.

1 komentar:

dyahsuminar Senin, September 29, 2008  

Prihatin ya pak...bangsa kita ini masih banyak yang belum bisa berpikir bagaimana seharusnya, dan semua diputarbalikkan pada kepentingan golongan,kelompok. Apalagi kalau sudah politis...seolah olah mereka lupa pada agama dan juga sila ke 1 dalam Pancasila. Tulisan pak Khudori memberi banyak manfaat, terutama bagi saya yang masih harus banyak belajar.Mohon ijin saya link njih.Nuwun.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP