Rabu, Oktober 15, 2008

Hadits of Disunity

Hadits Perpecahan
Oleh: A Khudori Soleh
"Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan lebih". Inilah hadis yang sering dijadikan dasar untuk berbeda dan bermusuhan. Hadits yang kontroversial ini, dalam kitab-kitab hadits Sunni bahkan ada tambahan, "Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah". Atau kata "al-Jam`ah" saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majjah, Syahrastani dan diulas panjang lebar oleh al-Syatibi.[1] Tentu saja, dalam uraiannya tersebut, al-Syathibi memperkuat mandzabnya, bahwa ahli sunnahlah satu-satunya firqah yang selamat dari semua firqah yang ada dalam Islam.
Bagaimana sebenarnya hadits-hadits tersebut, dari segi sanad maupun matannya? Bisakah ia dijadikan hujjah atau argument bahwa memang benar umat Islam --akan-- pecah menjadi lebih dari tujupuluh golongan; semua masuk neraka kecuali satu, yaitu "Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah?
Menurut Abd Halim Mahmud,[2] mantan syaikh al-Azhar Mesir, dan Yusuf Qardlawi,[3] hadits-hadits tentang perpecahan ummat itu masih harus dipertanyakan. Alasannya, pertama, hadits itu tidak terdapat sama sekali dalam kitab shahihain (Bukhari-Muslim). Padahal, masalahnya sangat penting. Ini berarti hadits tersebut tidak shaheh, menurut salah satu syarat dari keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim). Benar, bahwa shahihain tidak mencakup seluruh hadits shaheh. Akan tetapi, salah satu atau keduanya tidak pernah meninggalkan satupun masalah yang penting. Pasti akan disebut di dalamnya, walau hanya satu hadits.
Kedua, dari segi sanadnya terdapat nama Muhammad ibn al-Qamah ibn Waqash al-Laitsi. Menurut Yusuf Qardlawi, dengan melihat kitab "Tahdhzib Al-Tahdzib", Muhammad ibn al-Qamah termasuk seorang perawi yang dipermasalahkan hafalannya. Bakan tidak ada yang menilainya sebagai orang yang tsiqah (dapat dipercaya). Semua ahli hadits menyebutkan bahwa ia hanya lebih kuat dari orang yang lemah darinya. Al-Hafidz mengatakan, "Dia orang yang jujur tetapi banyak keraguan". Padahal, kejujuran saja dalam masalah ini belum cukup bila tidak didukung oleh kekuatan hafalan. Apalagi termasuk orang yang banyak keraguan. Di situ juga ada nama Muawiyah. Seperti diketahui, Muawiyah pernah mengklaim kelompoknya sebagai golongan "al-Jama`ah" selama cekcok dengan Imam Ali dan Al-Hasan. Karena itu, Jalaluddin Rahmad,[4] misalnya, sempat menduga, bahwa hadits perpecahan yang diriwayatkan oleh Muawiyah dengan tambahan, "yang selamat adalah golongan al-Jama`ah", adalah tambahan dari Muawiyah sendiri. Demikian pula, tambahan "yang selamat adalah ahl al-sunnah wa al-jamaah" adalah tambahan dari Syahrastani.
Abu Muhammad ibn Hasan pernah menyatakan, hadits tentang perpecahan umat dan hadits yang menceritakan bahwa golongan qadariyah dan murjiah termasuk majusi, bila ditinjau dari segi sanadnya, sama sekali tidak sah. Hadits seperti itu tidak dapat dijadikan hujjah atau argument menurut orang yang menerima khabar wahid (hadits ahad). Apabila menurut orang yang tidak menerima kabar wahid.[5]
Walau begitu, memang ada juga sebagian ulama yang menshahehkan hadits tersebut, seperti ibn Taimiyah, atau minimal menghasankannya seperti Ibn Hajar. Akan tetapi, Yusuf Qardlawi menyatakan bahwa menguatkan hadits lemah hanya karena banyaknya riwayat tidak mutlak bisa diterima. Sudah banyak hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalan, tetapi tetap dilemahkan oleh para ahli hadits. Menguatkan hadits lemah karena banyaknya riwayat hanya dapat diterima jika tidak ada hadits lain menentangnya dan isinya tidak menimbulkan kemusykilan. Padahal, hadits ini banyak mengandung pertentangan.
Ketiga, redaksi hadits ini sangat beragam dan bertentangan. Ada riwayat yang tidak menyebutkan "semua golongan masuk neraka, kecuali satu", tetapi hanya menyebutkan tentang akan adanya perpecahan dan jumlah golongan yang muncul. Ada juga dengan tambahan "semua golongan akan masuk surga (bukan neraka), kecuali satu, yaitu kaum zindiq". Karena itu, Ibn al-Wazir melemahkan hadits ini secara keseluruhan, khususnya tambahannya. Sebab hadits tersebut akan mengakibatkan saling menyesatkan dan saling mengkafirkan di kalangan umat Islam. Ibn al-Wazir berkata “Jangan sampai kalian tertipu (hadits lemah yang menyatakan) semua di neraka kecuali satu golongan. Itu tambahan batil dan tidak benar. Besar kemungkinannya disisipkan oleh orang-orang mulhid (atheis)”.[6] Sementara itu, Tirmidzi sendiri yang meriwayatkan dengan tambahan "semua masuk neraka kecuali satu" menyatakan bahwa itu adalah hadits gharib (asing, tidak dikenal).
Keempat, kandungan matan (isinya), menurut al-Qardlawi, menyimpan persoalan. Hadits itu telah mensifati umat yang telah dipersiapkan Allah sebagai saksi atas umat manusia dan merupakan "khairul ummah" (sebaik-sebaik umat), yaitu umat Islam, dengan sifat yang lebih jelek dibanding umat Yahudi dan Nasrani dalam hal perpecahan dan perselisihannya. Sehingga perpecahan umat Islam, menurut riwayat itu, berjumlah lebih banyak daripada perpecahan yang timbul dalam masyarakat Nasrani dan Yahudi. Ini jelas bertentangan dengan QS. al-Maidah, 14 dan 64, yang menyatakan bahwa Nasrani dan Yahudi adalah umat yang telah rusak, sebab di dalamnya telah terjadi banyak perselisihan dan tidak mungkin dikompromikan lagi. “Kami timbulkan di antara mereka (umat Nasrani) itu rasa permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat” (QS. Al-Maidah, 14), “Kami timbulkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka (umat Yahudi)itu sampai hari kiamat” (QS. Al-Maidah, 64). Sementara itu, umat Islam tidak pernah dinyatakan seperti itu dalam al-Qur'an. Bahkan diperingatkan agar tidak berpecah belah sebagaimana orang-orang sebelumnya.
Selain itu, hadits tersebut juga bertentangan dengan hadits lain tentang keutamaan umat Islam, yang menyatakan sebagai umat yang diberi rahmat dan akan menjadi sepertiga atau bahkan separoh dari penghuni surga. Kenyataan lagi, kabar bahwa Yahudi dan Nasrani akan berpecah menjadi 70 golongan atau lebih tidak pernah dikenal dalam sejarah kedua agama tersebut. Tidak pernah dikenal bahwa mereka berpecah sebanyak itu.[7]

Perlu Penafsiran.
Mengingat hadits tersebut menyangkut masalah yang rawan dan keshahehannya masih sangat diragukan, maka kita harus berhati-hati dalam menyampaikan hadits seperti itu. Perlu penjelasan dan penafsiran sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan umat Islam sendiri. Syeh Muhammad al-Ghazali, seorang aktivis dan tokoh penting al-Ihwan al-Muslimin di Mesir menyatakan, "Hadits tentang berpecahnya umat Islam menjadi 70 firqah, semua di neraka kecuali satu, perlu ditafsirkan agar tidak menimbulkan salah paham. Siapa firqah yang selamat? Itulah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Rasul saw, para shahabatnya, atau yang disebut "al-Jama`ah" dalam salah satu riwayat. Namun, setiap muslim pasti berusaha sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak rasul dalam pikiran dan perbuatannya. Para salaf (generasi terdahulu) dan khalaf (generasi kemudian), ahli sunnah, syiah, para pengikut tasawuf dan filsafat, semuanya mengaku dan beranggapan dirinya memperjuangkan Islam, membela dan mendukung nabinya, serta mengibarkan panji-panjinya".[8] Karena itu, tidak bisa kita mengklaim sebagai golongan yang selamat dan paling benar, dan menuding golongan lain salah dan sesat.
Sementara itu, menurut Imam al-Ghazali,[9] penulis kitab Ihya Ulum al-Din, hadits-hadits tentang perpecahan umat Islam amat banyak. Semuanya berbeda, bahkan saling bertentangan. Satu riwayat menyebutkan; "umatku akan berpecah menjadi lebih dari 70 firqah, hanya satu di antara yang selamat", tetapi riwayat lain menyatakan "umatku akan berpecah menjadi lebih dari 70 firqah, semuanya selamat kecuali satu, yaitu kaum zindiq". Hanya saja, yang paling umum dan dikenal masyarakat adalah riwayat pertama.
Mungkin saja, menurut al-Ghazali, riwayat-riwayat hadits tersebut benar semua, dengan beberapa catatan. Yaitu, bahwa yang dimaksud “selamat” adalah mereka yang sama sekali tidak --akan-- masuk neraka dan tidak memerlukan syafaat (pertolongan). Jadi, seseorang yang masih sempat ditarik malaikat Zabaniyah untuk dicampakkan ke dalam neraka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang selamat dalam makna yang sebenar-benarnya, walau kemudian bebas dari neraka karena adanya syafaat. Begitu pula, apa yang dimaksud dengan kata "celaka" adalah orang-orang yang sama sekali tidak bisa diharapkan kebaikannnya. Dengan kata lain, orang-orang tersebut memang penduduk neraka dan tidak mungkin lagi bisa dientas dari sana.
Sedemikian, sehingga apa yang dimaksud kata "selamat" dalam hadits adalah untuk mereka yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa syafaat. Mereka hanya satu golongan. Sebaliknya, yang dimaksud dengan kata "celaka" adalah mereka yang bakal kekal di neraka. Kelompok ini adalah juga hanya satu golongan, yaitu kaum zindiq. Sedang bagi orang-orang yang masih terkena hisab, mizan dan lain-lain, mereka tidak bisa disebut benar-benar selamat. Begitu pula orang yang masih menghadapi kemungkinan mendapat syafaat berarti masih menghadapi kehinaan dan ketakutan, sehingga juga tidak bisa dikatakan sebagai selamat secara mutlak. Mereka semua berada di antara dua golongan dikatakan Rasul; golongan selamat dan golongan yang celaka. Semuanya terdiri atas 70 golongan lebih.
Inilah penafsiran al-Ghazali tentang hadits yang kontroversial yang bisa menyebabkan kaum muslimin saling menuduh dan mengkafirkan. Dengan penafsiran seperti itu --kalau memang menerima hadits firqah tersebut-- kita Insya Allah akan dapat terhindar, atau paling tidak meminimalisir, adanya bahaya perpecahan dan kelemahan. Karena itu, kita semua, para dai, ustad, santri dan lain-lain perlu hati-hati dalam menyampaikan hadits-hadits ini dan sejenisnya. Jangan sampai justru menimbulkan malapetaka, kehancuran dan permusuhan di kalangan umat Islam sendiri. Kalau tidak, akan lebih baik kiranya bila ditolak saja. Sebab --sebagaimana dikatakan sebagian ulama di atas-- sanad dan matan riwayat-riwayat hadits tersebut memang lemah --minimal menurut ukuran Bukhari-Muslim-- dan saling bertentangan, baik dengan sesama hadits, dengan ayat-ayat al-Qur'an maupun dengan fakta sejarah.

Catatan Kaki
[1] Sunan Abu Dawud, IV, 198; Sunan Tirmidzi, IV, 134-135; Sunan Ibn Majah, II, 1322, al-Milal wa al-Nihal, 11; al-Syathibi, Al-I`tisham, (tp, tsaqafah al-Islamiyah, tt), juz I.
[2] Haidar Baqir, Satu Islam Sebuah Dilema, (Bandung, Mizan, 1992), 197.
[3] Yusuf Qardlawi, Gerakan Islam Antara Perbedaan Yang Diperbolehkan dan Perpecahan Yang Dilarang, (Jakarta, Robbani Press, 1991), 50-52
[4] Jalaluddin Rahmad, Islam Aktual, (Bandung, Mizan, 1991), 26
[5] Yusuf Qardlawi, Gerakan Islam, 53
[6] Ibid,
[7] Ibid, 54.
[8] Haidar Baqir, Satu Islam Sebuah Dilema, 195.
[9] Al-Ghazali, “Fashl al-Tafriqah”, dalam Majmu`ah Rasail, (Beirut, Dar al-Fikr, 1996), 253.

Tulisan-tulisan yang lain, klik disini.

1 komentar:

Resto Mariena Sabtu, Oktober 18, 2008  

trimakasih dach mampir, Mas !!!
silahkan di coba resepnya, semoga enak !! maklum saya cuma pemula dalam hal per dapur an. Salam kenal.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP