Minggu, Oktober 19, 2008

Theology of Muktazilah

Teologi Muktazilah
Oleh: A Khudori Soleh
Muktazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Muktazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggap munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus dikeluarkan dari kemunitas masyarakat muslim. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq. Ia berada di antara “manzil bain manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “Intazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Muktazilah, orang-orang yang memisahkan diri.[1]
Akan tetapi, dalam tradisi Muktazilah sendiri, Hasan Basri dianggap sebagai salah satu tokoh mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar dan Ali dimasukkan dalam tokoh mereka juga.[2] Selain itu, hubungan Hasan Basri dan Washil ibn Atha tidak terputus, sampai kematian memisahkan mereka. Bahkan, Washil masih sering terlihat bepergian bersama gurunya dalam berbagai perjalanan.[3] Ini membuat orang bertanya mengenai kebenaran cerita di atas.
Sementara itu, menurut Montgomery Watt, pemikiran utama Muktazilah sesungguhnya diberikan oleh Mu’ammar (Makmar). Nama Washil ibn Atha, Amr ibn Ubaid, Abu Hudzail dan lainnya, hanyalah orang-orang yang ditokohkan oleh Muktazilah ketika mereka memerlukan figur panutan. Selanjutnya, ketika figur Washil dianggap lebih baik dan disukai, maka ia kemudian dianggap sebagai pendirinya.[4]
Muktazilah yang lahir di Basrah dengan tokoh --katakanlah-- Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid, pada masa kekhalifahan Abd Al-Malik ibn Marwan, muncul sebagai aliran pertama yang bersistem cukup “lengkap” dalam sejarah teologi Islam. Dalam perjalananya, aliran ini terbagi menjadi dua cabang besar dengan perhatian yang berbeda, yaitu Basrah dan Baghdad. Cabang Basrah dengan tokoh utamanya Abu Al-Huzail ibn Al-Allaf lebih banyak menaruh perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu, cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini --dibanding dengan cabang Basrah-- lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.[5]
Di antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong perkembangan Muktazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Muktazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun.[6]
Di sisi lain, secara politis, al-Makmun menggunakan paham Muktazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran Muktazilah. Yang tidak percaya dipecat. Kalangan Muktazilah berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain Allah. Kepercayaan akan adanya dzat yang qadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menduduki jabatan hakim harus bebas dari syirik. Bila sudah terlanjur, mereka harus diturunkan. Mihnah ini dalam perkembangan tidak hanya diterapkan pada para hakim, tetapi juga para saksi di pengadilan, dan kemudian para pemimpin masyarakat.[7]
Kebijaksanaan al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar Muktazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini.[8] Ia adalah kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun 832.[9] Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al-Wasiq.
Meninggalnya al-Wasiq menandai kejatuhan Muktazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Muktazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti memberikan angin segar kepada lawan-lawan Muktazilah, terutama ahli Al-hadits, ahli fiqh dan Syiah, untuk balik menjatuhkannya.
Namun, dalam tubuh Muktazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al-Jubai dan anaknya, Abu Hasyim. Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan Muktazilah. Sudah tentu, ini sesuatu yang sangat sulit. Kenyataanya, hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat dengan kekuasaan, harus turun dari panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha kedua tokoh tersebut bisa dikatakan berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri justru tampil seorang lawan baru; Abu al-Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri aliran Asy’ariyah, sehingga beberapa saat lamanya, Muktazilah tidak muncul ke permukaan.
Pada masa-masa berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad keempat Hijriyah), Muktazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Parsia. Ia bergandengan dengan Syiah. Saat itu, banyak muncul pemikiran Muktazilah dari aliran Basrah, walau diakui tidak sebesar para pendahulunya. Mereka meninggalkan banyak karya yang masih bisa kita lihat sampai sekarang.

A. Kalam Muktazilah
Kalam Muktazilah, pada dasarnya, bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan dan kebaikan-Nya. Untuk itu, mereka menggunakan dalil-dalil akal sebagai pengangana. Kalau ada teks al-Qur’an atau Sunnah yang dianggap bisa memberikan pengertian yang menodai keesaan dan kebaikan-Nya, mereka mentakwilkanya sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal.
Kalam Muktazilah dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.[10]
Pertama, keesaan Tuhan. Prinsip ini didefinisikan sebagai Allah Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam sifat-sifat yang menjadi haknya; baik dalam penegasian maupun penetapan.[11] Penetapan ini terkait dengan pemahaman Muktazilah mengenai sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu dinisbatkan kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal yang bisa menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain --dzat-- Allah.[12]
Kedua, keadilan Tuhan. Prinsip ini didefinisikan bahwa semua perbuatan-Nya adalah baik. Dia tidak --mungkin-- melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apapun yang merupakan kewajiban bagi-Nya.
1. Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2. Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orang tuanya.
3. Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.
4. Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya. Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada mereka. Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan, adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan. Yaitu, karena ketaatan dan kelalaian mereka sendiri.
5. Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
6. Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf, adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya.
7. Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu.[13]
Ketiga, janji dan ancaman. Didefinisikan bahwa Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji dan ancaman-Nya itu; tidak mungkin terjadi kedustaan dalam janji-Nya. Bila Dia berdusta akan janji-Nya sendiri, berarti firman-Nya tidak dapat dipegangi (tidak dapat dipercaya).
Keempat, posisi di antara dua posisi. Didefisinikan, bahwa pelaku dosa besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara dua nama dan menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq.[14] Ia tidak dihukumi kafir, karena kenyataanya ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan melakukan perkawinan, pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun, tidak bisa pula dihukumi sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah melakukan dosa besar. Karena perbuatannya, sebagaimana dinyatakan dalam Ijma, ia tidak pantas dihormati, dipuji dan ditolong demi Allah, sebagaimana yang mesti dilakukan terhadap seorang mukmin.
Kelima, amar makruf nahi munkar. Di sini diperlukan syarat-syarat, antara lain;
1. Pengetahuan yang pasti bahwa yang diperintahkan adalah sesuatu yang baik dan yang dicegah adalah sesuatu yang jelek.
2. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik tersebut telah benar-benar ada atau telah terjadi. Misalnya, telah tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainnya.
3. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak --bakal-- menimbulkan kerugian yang lebih besar. Misalnya, kalau dilakukan pencegahan minuman keras bakal menimbulkan huru-hara atau pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib dilakukan.
4. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya itu akan menimbulkan pengaruh. Kalau sadar bahwa kata-katanya tidak bakal menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
5. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya tidak bakal menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya.[15]

B. Tentang Lutf
Apakah Tuhan berkewajiban untuk melakukan sesuatu? Pertanyaan ini telah melahirkan kontroversi dikalangan ahli kalam. Penyataan bahwa Tuhan harus melakukan sesuatu atas hamba-hamba-Nya merupakan sesuatu yang sangat absurd dikalangan muslim tradisional Sunni. Sebaliknya, bagi kaum Muktazilah, Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia. Di antara kewajiban tersebut, Tuhan wajib melakukan sesuatu yang baik, bahkan terbaik kepada manusia. Tuhan wajib menepati janji-janji-Nya, mengutus para Rasul, memberi rizki kepada mahluk-Nya dan lain-lain.[16]
Konsep Lutf, Shalah wa al-Ashlah, keduanya adalah pelebaran paham Muktazilah tentang keadilan Tuhan. Di dalamnya terkandung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanyaan di atas.
Lutf, bentuk masdar “la-tha-fa” berarti menolong, menyantuni, kehalusan, keramahan dan kelembutan. Allah disebut “latif”, karena Dia Maha Penolong, Maha Halus dan Penyantun para hamba-Nya.[17] Dalam istilah kalam Muktazilah, lutf adalah sesuatu yang membuat manusia mampu memilih untuk berperilaku mukmin, yang tanpanya manusia dapat terjerumus dalam tindakan sebaliknya.[18]
Akan tetapi, konsep lutf ini bukan berarti menghilangkan makna kebebasan manusia, konsep utama dalam faham Muktazilah. Menurut Abd Jabbar, lutf yang diberikan Tuhan kepada mukallaf bukan sebagai balasan, melainkan sebagai konsekuansi-Nya atas adanya pembebanan pada manusia.[19] Dan lutf inipun hanya diberikan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang yang dinilai punya potensi atau kecenderungan untuk beriman. Lutf tidak mungkin diberikan kepada orang-orang yang ingkar, sebagaimana yang dikatakan dalam al-Qur’an, “Sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada ada mereka, maka Allah akan menjadikan mereka dapat mendengar....” (Al-Anfal, 23).
Abd Jabbar membagi lutf dalam tiga kategori;
1. Lutf yang berhubungan dengan perbuatan Tuhan.
2. Lutf yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
3. Lutf yang berhubungan dengan selain perbuatan Tuhan dan manusia.[20]
Lutf yang berhubungan dengan Allah, menurut Basyar ibn Muktamar, tidak merupakan kewajiban. Artinya, Tuhan tidak berkewajiban membuat atau memberikan lutf kepada semua manusia. Sebab, bila lutf tersebut merupakan kewajiban bagi Allah, maka di dunia ini tentu tidak ada kejahatan. Padahal, kenyataannya kejahatan masih banyak dan merajalela. Selain itu, kemungkinan manusia untuk berbuat; baik dan buruk, menjadi tidak mempunyai makna. Begitu pula tentang balasan surga dan neraka.
Lutf yang berhubungan dengan perbuatan manusia ada dua macam. Yang diaktifkan untuk menghilangkan kemudaratan, maka ini hukumnya wajib. Sedang lutf yang digunakan untuk aktifitas sunnah, maka tidak wajib.
Lutf yang tidak berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan tidak berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf, juga ada dua. Yakni, lutf yang berhubungan dengan hukum kebiasaan, dan lutf yang berhubungan dengan perbuatan yang --diketahui-- tidak biasa berlaku. Untuk kondisi pertama, adanya lutf dianggap baik, sedang pada kondisi kedua, tidak baik bahkan jelek.

C. Tentang Salah wa Al-Aslah.
Kata “shalah”, masdar kata “sha-la-ha” berarti baik, lawan kata buruk. Sedang “aslah” adalah isim tafdhil, yang bermakna “terbaik”. Istilah “Shalah wa al-Aslah” sebagaimana yang digunakan kaum Muktazilah, adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi para hamba-Nya.[21]
Konsep ini didasarkan atas paham Muktazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki kejahatan pada manusia. Sebaliknya, Tuhan menghendaki kebaikan-kebaikan. Menurut Mutazilah, jika Tuhan menghendaki kebaikan, maka Dia harus memberikan sarana-sarana kepada manusia, bagaimana harapan-Nya itu bisa direalisasikan. Artinya, Tuhan harus memberikan kebaikan, bahkan yang terbaik kepada manusia agar mereka dapat merealisasikan kebaikan sebagaimana yang diharapkan-Nya.

Catatan Kaki
[1] Lihat antara lain Ali M. Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at Ilm al-Kalam inda al-Muslimin, hal 80-81.
[2] Lihat Ahmad ibn Yahya al-Murtadho, Kitab Tabaqat al-Muktazilah, ed. Susanna Diwald-Wiltzer, hal 9-24. Tentang Hasan Basri, lihat hal 18-24.
[3] Lihat Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq,
[4] Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, hal 73-77. Meski demikian, tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan Muammar atau Makmar oleh Watt. Hanya saja, menurutnya, Muktazilah lahir karena pengaruh pemikiran Yunani. Ia berusaha menggabungkan dogma-dogma Islam dengan filsafat pemikiran Yunani kuno. Akan tetapi, pernyataan Watt ini juga rancu dan sulit dibuktikan. Sebab, kenyataannya, Muktazilah telah lebih dahulu mapan sebelum filsafat Yunani masuk ke dalam Islam lewat terjemahan. Lihat Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), xvii.
[5] Lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, hal 159-161
[6] Majid Fahri, A. History of Islamic Philosophy, hal 23. Akan tetapi, menurut penelitian PS. Van Koningsveld, tidak ada naskah Yunani yang tercatat dalam katalok-katalok mengenai naskah-naskah yang terdapat dalam lembaga ini. Lihat dalam artikelnya, “Bait Al-Hikmah dan Kebijaksanaan beragama Kholifah Al-Makmun” dalam Herman L. Beck dan Nico Kaptein, Studi Belanda Kontemporer tentang islam: Lima Contoh, hal 49-70.
[7] Lihat artikel D. Sourdel, The Abbasid Caliphate dalam ‘Cambridge History of Islam’, ed. PM. Holt, KS. Lambton dan Bernard Lewis, I, hal, 124-124; Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, hal 161 dan seterusnya; Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah, Analisa, Perbandingan, hal 60.
[8] Pada buku Ibn al-Murtadha, Thabaqat al-Muktazilah, hal 62, hanya disebutkan bahwa namanya Abu Abdullah Ahmad ibn Abi Daud, termasuk generasi ketujuh yang peninggalan-peninggalannya terkenal. Tidak ada keterangan apapun selain itu.
[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, hal, 164.
[10] Lihat misalnya, Syarh al-Ushul al-Khamsah, ed. Abdul Karim Usman, hal 128-148. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh Muktazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘iktizal’ kecuali ia berpegang pada keseluruhan dari lima prinsip Muktazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, posisi diantara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Muktazilah”. Lihat bukunya, Kitab al-Intisar wa al-Radd ala ibn al-Rawandi al-Mulhid ma Qasada min al-Kadzib ala al-Muslimin wa al-Ta’n Alaihim, hal 126-127.
[11] Abd Jabbar, Syarh, hal 128.
[12] Ibid, hal 128-131.
[13] Teks aslinya berbunyi “Innahu taĆ¢ ahsan nazaran bi al-ibadih minhum li anfusihim wa fi-ma yata’alaq bi ad-din wa at-taklif”
[14] Walau dalam definisi ini hanya disebutkan dua nama, dalam penjelasan lain disebut tiga nama. Selain mukmin dan kafir, disebut juga munafiq. Lihat, Abd Jabbar, Syarh, hal 38.
[15] Ibid, hal 142-143.
[16] Harun Nasution, Teologi Islam, hal 128.
[17] Ibrahim Anis, Mu`jam al-Wasit, hal 826.
[18] Abd Jabbar, Syarah al-Ushul al-Khamsah, hal 779.
[19] Abd Jabbar, al-Mughniy, XIII, hal 7.
[20] Abd Jabbar, al-Mughniy, XIII, hal 27.
[21] Harun Nasution, Teologi Islam, hal, 47,

Tulisan-tulisan yang lain, klik disini



Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP