Jumat, Oktober 24, 2008

Meeting Point Sunni-Syiah

Titik Temu Sunni-Syiah
Oleh: A Khudori Soleh
Syiah adalah salah satu dari sekian banyak madzhab teologi dalam Islam, sebagaimana Muktazilah, Qadariyah, Ahli Sunnah (Sunni) dan lainnya. Meski demikian, Syiah biasanya diperlakukan “lain” oleh kebanyakan kaum Sunni. Begitu banyak perbedaan ditonjolkan untuk menunjukkan seolah-olah Syiah bukan bagian dari Islam atau yang lain. Karena itu, sungguh sangat tepat pernyataan Joko Susilo beberapa tahun lalu, bahwa perbedaan Sunnah-Syiah sebenarnya tidak perlu diperbesar. Tidak ada untungnya.[1]
Sebaliknya, justru harus giat dicari titik temunya.Harus disadari bahwa bagaimanapun Syiah bukanlah “orang lain”. Mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat muslim lainnya. Mereka pernah lama hadir dalam sejarah Islam dan mengantarkannya kepada masa kejayaan, misalnya pada masa pemerintahan Buyid, Fatimiyah dan Savafiyah. Bahkan, pada dekade terakhir ini, mereka telah berhasil menaikkan gengsi umat Islam di mata dunia internasional dengan tampilnya Imam Khumaini di Iran.
Meributkan adanya perbedaan berarti tidak menyadari bahwa munculnya ketidaksamaan adalah sesuatu yang wajar. Bahkan keniscayaan. Sebab, manusia tidaklah sama. Dalam lapangan fiqh, juga dikenal adanya madzhab-madzhab yang saling berbeda. Begitu pula dalam agama lain. Bahkan lebih parah. Dalam agama Kresten, perbedaan antara Katholik dan Protestan tidak hanya pada soal-soal furuiyah (cabang) tetapi telah masuk pada tataran aqidah, kitab suci dan lain-lain.
Dalam Islam, perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak separah itu. Perbedaan keduanya hanya meliputi masalah-masalah furuiyah sebagaimana yang terjadi dalam lapangan fiqh. Keduanya masih sama-sama menyembah Allah Yang Esa, sama-sama menyakini kebenaran Rasul Muhammad saw, sama-sama memegangi kitab suci al-Qur'an, meyakini adanya hari akhir dan lain-lain. Karena itu, dalam Islam, sebenarnya tidak ada istilah "sekte" sebagaimana yang dikenal dan digunakan dalam agama Kresten dan Yahudi.[2]
Apa yang dinamakan "perpecahan" dalam Islam, sebenarnya, hanya perbedaan dalam segi pandangan historis tentang derajat kekuatan hukum yang harus dipertahankan, masalah yang kadang-kadang merupakan huruf atau jiwanya, masalah kata-kata hukumnya atau jiwanya. Karena itu, pada tahun 1958 dibentuk usaha bersama dalam masalah fiqh dengan mendirikan lembaga yang diberi nama "Dar al-Taqrib Bain al-Madzahib al-Islamiyah". Tujuannya, menciptakan saling pengertian di antara para pengikut madzhab dari kedua golongan (Sunnah dan Syiah); Jakfariyah, Zaidiyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hambaliyah, melalui pendekatan historis, akademis, analisis dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Sebagai ketua umumnya saat itu adalah Syekh Mahmud Saltut, Rektor Universitas al-Azhar, Kairo (orang Sunni), sedang sebagai Sekjen organisasi adalah Syekh al-Qumi, Guru Besar di Hauzeh, Qom, Iran.[3]

Soal Ushuluddin.
Menurut Syiah, pokok keimanan dalam Islam (ushuluddin) meliputi lima hal: (1) Tauhid, kepercayaan kepada ke-Esaan Ilahy, (2) Nubuwat, kenabian, (3) Ma'ad, kehidupan di akherat, (4) Imamah atau keimaman, percaya adanya Imam-Imam sebagai pengganti dan penerus nabi, (5) Adil atau keadilan Ilahy.[4] Sedang menurut kaum Sunni, dengan berdasarkan pada beberapa hadits, pokok-pokok agama meliputi enam macam; Tauhid, Nubuwat, Ma'ad, Malaikat, Kitab suci dan Taqdir, percaya adanya ketentuan bahwa baik dan buruk berasal dari Tuhan.
Kedua konsep tersebut, walau kelihatan tidak sama, sebenarnya tidak berbeda. Menurut al-Ghazali, prinsip yang paling pokok dalam Islam sebenarya hanya tiga macam; Tauhid, Nubuwah dan Ma'ad.[5] Selain ketiga masalah tersebut, hanya menempati posisi furuiyah (cabang), yang berarti sah ada perdebatan dan perbedaan. Dan kenyataannya, konsep aqidah kaum Syiah tidak sedikitpun meninggalkan salah satu, apalagi keseluruhan dari tiga prinsip utama tersebut. Bahkan, uraian-uraiannya tentang ketiga prinsip tersebut sama sebagaimana yang dipahami kaum Sunni. Itu berarti aqidah Syiah, bagaimanapun, tidak bisa dianggap sesat, dalam arti telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang baku.
Memang, dalam masalah sifat-sifat Ilahy, antara Sunni dan Syiah ada sedikit perbedaan. Tetapi itu tidak penting. Menurut al-Ghazali, masalah-masalah seperti sifat-sifat Tuhan, hanya soal penafsiran. Seseorang atau suatu madzhab, bisa (boleh) menafsirkan masalah-masalah seperti itu menurut kadar kemampuan akalnya, sejauh tidak sampai menyekutukan-Nya. Rasul sendiri, tidak pernah menjelaskan apakah sifat Tuhan berjumlah 20 atau 13. Apakah sifat-sifat-Nya termasuk Dzat-Nya atau tidak, dan lain sebagainya. Yang diajarkan hanya keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Dialah penguasa tunggal alam semesta yang wajib disembah dan dimintai pertolongan.[6]
Adapun dalam dua masalah yang lain: soal keadilan Ilahy dan Imamah, antara Sunni dan Syiah hanya berbeda dalam hal penekanan.[7] Dalam konsep Syiah, sifat adil dianggap sebagai bawaan sifat Ilahy. Artinya, tidak mungkin Tuhan berbuat sesuatu secara tidak adil, sebab adalah sifat-Nya untuk berbuat adil. Bagi-Nya berlaku tidak adil berarti memperkosa sifat-Nya sendiri, dan hal itu adalah mustahil. Akal dapat menilai suatu tindakan sebagai adil dan tidak, dan penilaian itu tidak sepenuhnya batal oleh keyakinan akan keunggulan kehendak Allah. Sebab, akal adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, sesuai dengan fitrah-Nya. Sedang dalam pemahaman Sunni, titik tekannya terletak pada iradah atau kehendak-Nya. Apapun yang dikehendaki Tuhan adalah adil, dan akal --dalam pengertian tertentu-- ditundukkan oleh kehendak ini. Bila diteruskan, konsep ini --sebenarnya-- bisa menjurus pada paham Jabariyah. Dan benar, dalam masalah perbuatan dan kebebasan manusia, konsep Sunni sesungguhnya tidak ada bedanya dengan paham Jabariyah, yaitu paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Tuhan dan manusia tidak mempunyai kuasa atasnya; suatu paham yang sering dikecam oleh para ulama Sunni sendiri. Karena itu, menurut Muthahari,[8] paham Sunni --dalam masalah keadilan-- sebenarnya telah gagal menempatkan dirinya sebagai penengah antara Jabariyah dan Qodariyah.
Dalam masalah Imamah, titik tekan Sunni adalah pada fungsi lahiriyahnya. Sunni mengakui Imamah sebagai kepala negara, tidak pada yang lain. Sementara itu, dalam perspektif Syiah, seorang Imam, selain sebagai kepala negara juga berposisi sebagai penafsir rahasia-rahasia batin al-Qur'an dan Syariat. Para Imam adalah pelanjut wewenang kerohanian Rasul --walau bukan berfungsi sebagai pembawa hukumnya. Kata-kata dan tindakan mereka memberikan kelengkapan pada hadits dan sunnah Nabawi. Dengan kata lain, para Imam merupakan perluasan dari pribadi Rasul pada abad-abad berikutnya. Karena itu, mengapa Syiah kemudian juga menyatakan bahwa seorang Imam harus "maksum", bebas dari kesalahan dan dosa, dan mereka harus dipilih dari langit dengan nash, dengan ketetapan Tuhan melalui Nabi-Nya. Munurut Khumaini, sifat maksum (ismah) yang ada pada para Imam Ahli Al-Bait ini, tidak bermakna bahwa mereka dijaga (dikawal) oleh Jibril dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Kemaksuman mereka terjadi karena tingginya tingkat keimanan dan kedekatannya dengan Tuhan. Begitu pula sifat ismah yang ada pada para Rasul.[9]

Titik Temu.
Walau secara syariat kaum Sunni mengakui Imamah hanya sebagai kepala negara, tetapi dalam prakteknya di dunia tasawuf, mereka --secara tidak langsung-- sebenarnya juga mengakui keberadaan seorang Imam lengkap dengan segala fungsinya sebagaimana yang dipahami kaum Syiah. Mereka menyakini adanya "Quthub" dan suasana kewalian. Kewalian, sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian yang oleh para sufi dianggap sebagai kesempurnaan manusia, tidak lain adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syiah dipunyai sepenuhnya oleh Imam-Imam, dan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Begitu pula dengan Quthub (puncak kerohanian) yang kehadirannya dianggap perlu oleh kaum sufi disepanjang zaman, ada pertalian erat dengan konsep Syiah tentang keberadaan seorang Imam.[10]
Sesuai dengan konsep Syiah, Imam --menurut istilah kaum Sunni adalah "Insan Kamil"; manusia sempurna atau manusia universal-- adalah manifestasi Nama-Nama Ilahy dan pembimbing kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Dialah yang paling dekat dengan Allah, pelindung agama, dan menerima perintah dari Allah secara langsung. Imam Ali ibn Abi Thalib ra pernah berkata kepada muridnya, Kumayd ibn Ziyad:
Bumi ini tidak pernah kosong dari seorang yang --demi Allah-- membawa hujjah. Boleh jadi ia menampakkan diri dan dikenal, atau khawatir dan bersembunyi; agar hujjah Allah dan tanda-tanda-Nya yang jelas tidak pudar. Berapa jumlah mereka dan di mana? Demi Allah, mereka sangat sedikit tetapi sangat agung kedudukannya disisi Allah. Melalui mereka Allah memelihara hujjah dan tanda-tanda-Nya, sampai Allah menyimpan hujjah dan tanda-tanda itu dalam diri orang-orang seperti mereka. Pengetahuan telah membimbing mereka pada hakekat pemahaman dan mereka telah mencapai ruh keyakinan...."
Selain menyakini konsep imamah sebagaimana yang dipahami kaum Syiah, dalam tasawuf, orang Sunni --tanpa sadar-- juga telah mengikuti ajaran-ajaran Imam Syiah. Para mursyid (guru ruhani) dari tarikat sufi --kecuali Naqsabandi-- kenyataanya menarik mata rantai silsilah keruhanian --yang dalam kehidupan ruhani seperti silsilah keturunan seseorang-- melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada para Imam Syiah, umumnya dari Imam Jakfar al-Shadiq sampai kepada Imam Ali ibn Abi Thalib. Atau langsung kepada Imam Ali. Imam Ali disebut sebagai "Sayyid al-Auliya" (pemuka para wali dan sufi). Juga, hasil kasyaf (vision) dan ilham mereka, kenyataanya banyak memuat kebenaran mengenai ke-Esaan Ilahy dan martabat kehidupan ruhani yang terdapat dalam ajaran dan perkatan para imam Syiah.
Karena itu, dengan melihat "cara kerja" dan ajaran kaum sufi, secara ekstrem bisa dikatakan bahwa mereka yang memasuki dunia tasawuf sebenarnya telah masuk dan mengikuti (ajaran) Syiah, walau dari syariat mengikuti madzhab fiqh Sunni. Atau menurut Gus Dur, mereka adalah penganut Syiah kultural.

Penutup
Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada hubungan yang erat antara Syiah dan Sunni, terutama dalam dunia tasawuf. Ada titik temu yang menghubungkan dan menyatukan di antara kedunya, sehingga mereka sebenarnya tidak perlu mempertentangkan atau bermusuhan dengan saling mencari perbedaan melainkan harus saling mendekat dengan saling mencari kesamaan. Karena itu pula, madzhab Syiah tidak bisa dianggap sebagai madzhab (gerakan) yang menghancurkan kesatuan Islam, akan tetapi --sebagaimana madzhab Sunni sendiri-- ia menambah kekayaan bentangan sejarah dan penyebaran pesan al-Qur'an.
Apalagi kenyataanya, budaya dan kebiasaan (kultur) masyarakat Sunni banyak yang mengikuti budaya dan kultur Syiah. Dalam dibaiyah misalnya, kitab yang selalu dibaca dan menjadi ciri khas masyarakat Sunni atau pesantren. Di dalamnya penuh sanjungan-sanjungan dan "ketergantungan" kita kepada para Imam Syiah.

ولنا خير الأنام اب # علىّ المرتضى حسب
والى السبطين ننتسب # نسبا ما فيه من دخن
كم إمام بعده خلفوا # منه سادات بذا عرفوا
وبهذاالوصف قد وصفوا # من قديم الدّهروالزمن
مثل زين العابدين على # وابنه الباقر خير ولى
والإمام الصادق الحفل # وعلىّ ذى العلا اليقن
فهم القوم الذين هدوا # وبفضل الله قد سعدوا
ولغير الله ما قصدوا # ومع القرأن فى قرن
اهل بيت المصطفى الطهر # هم امان الأرض فادّكر
شبّهوابالأنجم الزهر # مثل ما قد جاء فى السنن
وسفين للنجاة إذا # خفت من طوفا ن كل اذا
فانج فيها لا تكون كذا # واعتصم بالله واستعن
ربّ فانفعنا ببركتهم # واهدنا الحسنى بحرمتهم
وأمتنا فى طريقتهم # ومعافاة من الفتن

Kami mempunyai bapak sebaik-baik makhluk
Ali yang diridlai adalah keturunanya
Kepada kedua cucunya kami senasab
Keturunan yang tidak rusak
Banyak imam-imam yang menggantikannya
Di antaranya dikenal dengan gelar "Sayyid"
Seperti Zainal Abidin, yaitu Ali
Dan putranya, al-Baqir, seorang wali yang terkenal baik
Imam Jakfar Shadiq yang sangat bijak
Dan Ali yang kuat keyakinannya
Merekalah orang-orang yang mendapat pentunjuk
Dengan karunia Allah mereka berbahagia
Kepada selain Allah mereka tidak menginginkan
Hanya pada al-Qur'an mereka berpegang
Ahli bait yang terpilih lagi suci
Ingat! Merekalah pengaman bumi
Mereka bagai bintang gemintang
Sebagaimana yang dikatakan hadits-hadits
Mereka adalah kapal keselamatan
Bila kamu takut akan topan yang menyusahkan
Selamatkan dirimu di dalamnya
Jangan khawatir
Berpegang teguh pada Allah
Dan minta pertolongan pada-Nya
Ya Allah! Jadikan kami bermanfaat sebab berkah mereka
Tunjukkan kami kebaikan sebab penghormatan mereka
Matikan kami pada jalan mereka
Dan selamatkan kami dari segala fitnah

Catatan Kaki

[1] Jawa Pos, 23 Agustus 1993
[2] Marmaduke Pickthall, Perang dan Agama, 58
[3] Majalah Yaum al-Quds, No. 33, Syakban 1412 H.
[4] Thabathabi, Islam Syiah, 9.
[5] Al-Ghazali, al-Munqid Min al-Dlalal, dalam Majmû`ah Rasail, 543.
[6] Al-Ghazali, Fashl al-Tafriqah, dalam Majmû`ah Rasail, 238 dan seterusnya.
[7] Thabathabi, Islam Syiah, 10.
[8] Muthahhari, Keadilan Ilahy, 17-27.
[9] Ali Khumaini, Mata Air Kecemerlangan, 86.
[10] Thabathabi, Islam Syiah, 127.

Tulisan-tulisan lainnya, klik di sini.

2 komentar:

kediaman kedamai Jumat, Oktober 24, 2008  

Gagasan yang mencerahkan, coba menyatukan dua kutub yang selama ini rawan gesekan, semoga ide ini membawa kedamaian bagi umat islam seperti yang diidamkan oleh pemilik kediaman kedamaian OK

Ahmad Hadidul Fahmi Senin, Maret 30, 2009  

Bagi saya tidak sesederhana ini jika ingin mendekatkan kedua madzhab. ada permasalahan yang lebih krusial yang harus segera dicari titik temu serta solusinya.

dalam hal ini, adalah asumsi tahrif al-Qur'an menurut Syi'ah. konon, dalam literatur Syia'h,buku fashl al-khitab fi tahrif kitab rabb al-arbab buah tangan al-nury adalah biang keladi dari asumsi ini. sebagaimana dikatakan Salim al-'Awwa, tepatnya tahun 1320.

berpuluh-puluh buku Syiah diterbitkan untuk membantah ini. Dari yang berapologi semata, seperti murid al-Nury sendiri ; al-Tahrani, atau juga dengan landasan rasional, logis, dan tudingan tegas terhadap buku al-Nury tersebut (dari generasi muta'akhirin pada khususnya).

namun tidak bisa disangkal, bahwa semisal Sa'id Hawa dengan karya-karyanya yang cenderung menghantam Syi'ah, atau Muhammad al-Bandari dengan al-Tasyayyu'nya, seakan memberikan bukti konkret bahwa al-Qur'an menurut mereka memang tidak orisinil lagi.Ditambah dalam beberapa mutaqaddimin Syi'ah, seperti al-Qummi, yang banyak menyebut riwayat tahrif al-Qur'an dalam tafsirnya.

Pertanyaan saya, bagaimanakah mencari titik temu sunni-syi'ah jika dalam tubuh mereka sendiri terdapat asumsi tahrif al-Qur'an??? serta bagaimana menjawab tuduhan yang disematkan pada Syia'h secara rasional dan logis, sebagaimana hantaman Ibnu al-Anbari dalam al-Tasyayyu'nya ???

salam hormat,
Ahmad Hadidul Fahmi

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP