Sabtu, November 15, 2008

Fatwa's of MUI

Resume Disertasi
FATWA-FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
Oleh: A Khudori Soleh
Desertasi DR. H. Mohammad Atho Mudzhar ini diperoleh dari California University, USA, 1990. Judul asli, “Fatwas of The Council of Indonesian ‘Ulama: A study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988”, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, diterbitkan oleh INIS, Jakarta, 1993. Terdiri atas 168 halaman.
Studi ini berusaha menentukan sifat fatwa-fatwa MUI dari segi metode perumusannya, keadaan sosial politik yang ada disekelilingnya, dan reaksi masyarakat terhadap fatwa-fatwa tersebut. Berkenaan dengan metode perumusan, studi ini berupaya meneliti metode yang digunakan dalam menyusun fatwa dan menyelidiki bagaimana fatwa-fatwa itu mencerminkan atau berlainan dengan teks klasik jurisprodensi, terutama dalam madzhab Syafii. Tentang sosio-politik, berusaha mengenali lingkungan sosio-politik yang mungkin mendorong lahirnya fatwa-fatwa; sedang soal reaksi masyarakat, berusaha menentukan sejauh mana mereka menolak atau menenrima fatwa-fatwa itu, termasuk pertentangan yang ditimbulannya (p. 5).
Tujuannya, pertama, menentukan identitas dan klasifikasi fatwa-fatwa dalam hubungannya dengan isi serta cara kerja ulama dalam merancang fatwa tersebut. Kedua, mengenali unsur-unsur sosio-politik yang mungkin telah menyokong penetapan fatwa-fatwa (p. 8).

Metodologi.
Secara eksplisit, desertasi ini tidak menyebutkan metode kajian yang digunakan. Akan tetapi, melihat rumusan masalah, tujuan dan alur pembahasan, desertasi ini --setidaknya-- menggunakan dua macam metode. Pertama, deskriptif-eksploratif; sebuah metode penelitian yang berusaha untuk menggambarkan sebuah kenyataan atau fenomena, sehingga dari sana bisa diidentifikasi ciri-ciri yang diiginkan.[1] Ini tampak saat peneliti berusaha memaparkan prosedur pembuatan fatwa. Kedua, komparasi; bentuk penelitian yang berusaha menemukan persamaan atau perbedaan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.[2] Ini terjadi, saat peneliti berusaha memperbandingkan fatwa-fatwa MUI dengan teks fiqh klasik (Syafii). Pendekatan yang digunakan untuk mengungkap seberapa jauh tanggapan masyarakat terhadap fatwa dan pengaruh sosio politik yang melingkupinya adalah pendekatan --atau metode-- sosiologi; sebuah metode untuk memahami perilaku yang terbentuk oleh sesuatu, sehingga bisa diberikan analisis yang tajam tentang peran dan pengaruh sesuatu pada masyarakat dan sebaliknya.[3]
Data yang digunakan ada dua macam; primer dan skunder. Data primer meliputi dokumen-dokumen fatwa, anggaran dasar dan rumah tangga (AD-ART) MUI, catatan jalannya sejumlah rapat MUI, bahan-bahan dari mass media, ditambah hasil wawancara para tokoh penting yang berhubungan dengan penyusunan fatwa. Data skunder mencakup informasi tentang peran para ulama di negeri Islam lainnya. Tentang cara perolehan data diperoleh lewat wawancara dan dokumenter atau analisa kepustakaan (8-9). Asumsi dasar yang ingin dibuktikan adalah bahwa fatwa-fatwa MUI adalah hasil keadaan sosial budaya dan sosio-politik tertentu, dimana kedudukan, tugas dan peran para ulama dalam masyarakat ditetapkan.[4]

Sistematika dan Isi Pembahasan
Studi ini terdiri atas empat bab ditambah Pendahuluan. Bab I membahas kondisi umum --masyarakat-- Islam dan perkembangan hukum Islam di Indonesia. Tentang ciri umum Islam, ditinjau dari empat sisi; sejarah budaya, doktrin teologi, susunan sosial dan idiologi politik. Dari sisi sejarah budaya, dikatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui dua jalur; Cina pada abad ke IX, pada masa kekuasaan Sriwijaya dan melalui Gujarat di India pada abad ke XIII (12-18). Doktrin keagamaan, kebanyakan menganut teologi Asy’ari dan hukum Islam madzhab Syafii (19-25). Struktur sosial, umat Islam Indonesia tidak mengenal susunan masyarakat yang ketat, terutama yang berkaitan dengan soal kepemimpinan keagamaan. Mereka kebanyakan menganut faham Sunni yang menganggap bahwa kepemimpinan politik tidak termasuk teologi (26). Tentang segi politik idiologi, dibahas sejarah perjuangan Islam sejak zaman penjajahan, kemerdekaan dan politik pasca kemerdekaan (27-32).
Soal perkembangan hukum Islam di Indonesia, ditinjau dalam tiga masa; sebelum penjajahan, masa penjajahan dan pasca kemerdekaan. Menurut pengkaji, pada masa sebelum penjajahan, hukum Islam telah diterima masyarakat di Indonesia, tetapi berbeda “intensitasnya” diantara daerah yang satu dengan daerah lainnya berdasarkan bobot pengaruh mistik dan kekuatan adat-adat setempat (33-36). Pada masa penjajahan, penerimaan tersebut semakin kuat dengan dibentuknya pengadilan agama tingkat banding di Batavia tahun 1937, meski kewenangannya masih terbatas (p. 40). Peranan pengadilan agama kemudian semakin luas dan menasional setelah kemedekaan, meski tetap ada juga kekurangannya (41-51).
Bab II, membahas seluk beluk Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara detail; pembentukannya, kedudukannya dalam masyarakat dan cara kerja dalam menelorkan fatwa-fatwa. Tentang pembentukannya, peneliti rupanya ingin mengatakan bahwa MUI adalah satu strategi pemerintah untuk memperoleh dukungan umat Islam disamping demi mengendalikan peran ulama. Ini dibuktikan dengan adanya tiga peristiwa politik penting sebelumnya; lahirnya Golkar yang sekuler, pengurangan jumlah partai politik Islam tanpa boleh menyandang label Islam, dan diajukannya undang-undang perkawinan yang sekuler (53-62). Sedemikian, sehingga meski berusaha menjadi perantara dan “pelayan” masyarakat dan pemerintah, kedudukan MUI tetap berada dibawah bayang-bayang dan tekanan untuk membela program pemerintah (63-78). Tentang cara kerja pembuatan fatwa ada dua macam; menunggu adanya keperluan atau bila MUI dimintai pendapatnya, dan lainnya dengan memperbincangkan soal-soal tersebut dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggarakan MUI (79-80).
Bab III, pengujian terhadap fatwa-fatwa MUI. Ada delapan kelompok fatwa yang diuji dalam bab ini. Pertama, fatwa tentang ibadah; keabsahan shalat Jum’ah bagi musafair diatas kapal, dan keabsahan pelabuhan King Abdul Aziz sebagai miqat bagi jamaah haji Indonesia. Fatwa pertama, menjawab pertanyaan seorang insinyur yang bekerja di luar negeri; bahwa Jum’ah bersama diatas kapal yang sedang berlayar adalah sah, bahkan dianjurkan, meski tidak diwajibkan. Dan jika ada dua kali jamaah Jumah dalam seminggu, kewajiban hanya pada Jum’ah yang pertama. Didasarkan dalil-dalil yang ada dalam empat madzhab fiqih dan pendapat Ibn Hazm, pengikut Dzahiri, ditampah dalil rasional; tetapi lebih cenderung dan pengikuti Ibn Hazm daripada imam madzhab empat, sehingga pengkaji menyatakan, itu langkah berani dan dinamis mengingat bahwa itu tidak mungkin dilakukan pada masa sebelumnya (p. 93). Metodologi yang digunakan; qiyas dan talfiq sekaligus. Qiyas untuk menyesuaikan pelaut (musafir) dengan badui, talfiq untuk menyatakan keabsahan Jum’ah bagi musafir seperti dikatakan Ibn Hazm dan dipertahankannya sifat tidak wajib melakukannya seperti dikatakan empat imam madzhab Sunni (p. 90).
Fatwa kedua, miqot menjawab surat Dirjen Urusan Haji Depaq, 10 Sept 1981; bahwa bandara udara King Abdul Aziz adalah miqat yang sah untuk jamaah Indonesia. Didasarkan kitab-kitab fiqh Sunni, tapi lebih pada pendapat Ibn Hazm ditambah alasan rasional. Metodologi yang dipakai, langsung melihat naskha fiqh tanpa melihat dahulu ayat-ayat Alqur’an. Menurut peneliti, kedua fatwa diatas diterima baik oleh masyarakat, tanpa ada penentangan (93-97).
Kedua, fatwa tentang pernikahan dan keluarga; tiga talak sekaligus, perkawinan antar agama, pengangkatan anak dan penjualan warisan. Fatwa talak menjawab surat Dirjen Bimas Islam Depaq, 22 Sept 1981; bahwa menjatuhkan tiga talak sekaligus berlaku sebagai talak satu. Didasarkan atas pendapat Ibn Taimiyah, Thawaus dan Imam Syiah, meski diakui bahwa mayoritas ulama Sunni dan Dzahiri menyatakan sebaliknya. Yang terpenting, fatwa ini lebih cenderung dan memperkuat undang-undang perkawinan tahun 1974. Disini tidak dibahas metode yang dipakai dan bagaimana tanggapan masyarakat terhadap fatwa yang “kontraversial” tersebut (97-98).
Fatwa perkawinan antara agama dikeluarkan sebagai tanggapan atas maraknya kasus tersebut dalam masyarakat; bahwa laki-laki maupun wanita muslim tidak boleh kawin dengan orang non-muslim. Dari metodologi, menurut peneliti, fatwa itu memakai masalih al-mursalah daripada Alqur’an maupun fiqh, karena nash memperbolehkan laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Pertimbangannya, demi menolak kemafsadahan yang lebih besar disamping --yang terutama-- adanya faktor persaingan Islam-Kristen. Tidak dijelaskan bagaimana tanggapan masyarakat terhadap fatwa ini (99-104).
Fatwa adopsi anak muncul dari konferensi tahunan MUI, 1984; bahwa adopsi tidak bisa melahirkan hukum baru, termasuk hubungan perwalian dan pewarisan; didasarkan ayat, hadits dan kitab tafsir. Menurut peneliti, fatwa ini lebih dikarenakan adanya persaingan Islam-Kristen yang semakin kuat, dimana sering dijumpai orang Kresten mengadopsi anak muslim, mensekolahkan dan menjadikannya sebagai penginjil. Tidak ada uraian bagaimana tanggapan masyarakat terhadap fatwa ini (104-106). Fatwa penjualan warisan, sekali lagi, juga didorong adanya kekhawatiran atas persaingan Islam-Kresten. Tetapi, masalah tersebut sebenarnya lebih merupakan usulan dari hasil konferensi MUI 1984, daripada sebuah fatwa (106-107).
Ketiga, fatwa tentang kebudayaan; film “The Message”, “Adam and Eva” dan soal penyisipan ayat dalam lagu pop. Fatwa MUI tentang film “The Message”, menurut peneliti, sama sekali tidak merujuk nash ayat, hadits, kitab fiqh maupun dalil rasional. Tidak ada penjelasan tentang metode yang dipakai (108-109). Hal serupa juga terjadi pada pembahasan tentang fatwa soal film “Adam and Eva” (p. 110). Fatwa tentang ayat dalam lagu pop, diajukan pada Komisi Fatwa 3 Des 1983; tidak diperbolehkan, didasarkan dalil-dalil rasional ditunjang ayat dan hadits, tetapi tidak merujuk pada kitab tafir maupun fiqh meski persoalan tersebut banyak dibahas disana (110-111).
Keempat, fatwa tentang makanan; penyembelihan dengan mesin, daging kelinci, ternak dan makan daging kodok. Penyembelihan dengan mesin menjawab keresahan masyarakat tentang itu; halal, didasarkan atas hadits dan dalil rasional, tetapi tidak menunjuk pada fiqh. Peneliti mengkritik metode tersebut; (1) bahwa fatwa tidak didasarkan pada ayat maupun fiqh, (2) bahwa syarat penyembelih menurut madzhab Syafii tidak harus muslim, bisa juga ahli kitab. Sehingga, fatwa itu hanya berlaku pada perusahaan yang mempekerjakan orang Islam, tidak yang lain. Pengaruhnya, menghentikan kebingunan masyarakat, dan membantu pengembangan perekonomian lewat digalakkannya budidaya daging(112-113).
Fatwa daging kelinci menjawab surat Dirjen Peternakan Hewan, 8 Juli 1982; halal, didasarkan atas dua hadits. Secara metodologis, menurut peneliti, fatwa ini terlalu sederhana, karena tidak merujuk pada kitab-kitab fiqh yang telah banyak membahas soal itu (113-114). Fatwa tentang kodok; boleh peternakannya tapi haram memakannya, didasarkan ayat dan hadits, tetapi tidak pada fiqh meski sudah banyak dibahas. Dalil rasional dilakukan dengan qias; peternakan kodok dengan penyamakan kulit. Menurut peneliti, fatwa ini untuk mendukung program pemerintah, tetapi tidak dijelaskan bagaimana tanggapan masyarakat tentang fatwa ini (115-117).
Kelima, tentang perayaan Natal; dilarang, tanggapan atas maraknya perayaan Natal yang diikuti oleh umat Islam. Secara metodologis, fatwa ini adalah yang paling terperinci dan kuat dalilnya; ayat, hadits dan rasional, tapi tidak merujuk pada teks fiqh. Fatwa ini menimbulkan persoalan “besar” antara pemerintah dengan MUI, tetapi MUI didukung oleh kebanyakan organisasi keagamaan (117-122).
Keenam, masalah kedokteran; sumbangan kornea mata dan pencangkokan jantung. Fatwa soal kornea mata adalah jawaban atas surat PMI Jateng, 13 Juni 1979; boleh dengan syarat tertentu, didasarkan atas hadits dan teks fiqh ditambah dalil rasional. Fatwa ini tidak dikenal masyarakat umum (123-124). Fatwa pencangkokan jantung adalah jawaban atas surat Kabag. Operasi Jantung RS Harapan Kita, 11 Des 1985; boleh dengan syarat tertentu. Dalil yang diajukan adalah ayat, hadits dan teks fiqh; fatwanya sendiri didasarkan atas qias. Karena itu, secara metodologis, fatwa ini telah dipersiapkan dengan baik, hanya saja tidak ada laporan tentang tenggapan masyarakat tentang itu (p. 125).
Ketujuh, tentang KB. Dalil yang diajukan hanya ayat dan hadits, tidak ada teks fiqh; fatwanya sendiri didasarkan qias. Fatwa ini, rupanya, lebih dimaksudkan untuk mendukung keberhasilan program pemerintah. Tidak ada ulasan bagaimana tanggapan masyarakat tentang fatwa tersebut (126-131).
Kedelapan, tentang golongan kecil muslim; Syiah, Ahmadiyah dan Inkar Sunah. Fatwa tentang Syiah, hasil rapat tahunan MUI 8 Maret 1984, hanya didasarkan alasan-alasan klasik, tidak ada yang baru. Lebih dikarekan adanya kekhawatiran akan masuknya revolosi Iran ke Indonesia; alasan politis (132-133). Begitu juga alasan dari fatwa tentang Ahmadiyah (134). Fatwa soal Inkarus Sunnah, didasarkan atas ayat dan hadits, tetapi lebih didasarkan pertimbangan politis dan keamanan (135-137).
Bab IV, kesimpulan. Secara metodologi, fatwa-fatwa MUI tidak mengikuti pola tertentu, tetapi tetap bersumber pada sumber yang diakui dalam madzhab Syafii; Alqur’an, Sunnah, Ijma dan Qias. Dari sisio-politik, fatwa dipengaruhi beberapa faktor; kecenderungan membantu pemerintah, keinginan menjawab tantangan zaman, berkaitan dengan hubungan antar-agama. Soal reaksi masyarakat bisa dibagi lima. Pertama, fatwa tersiar luas tapi tidak mendapat tantangan, seperti soal film. Kedua, tersiar luas dan mendapat tantangan keras, sedang pemerintah bersikap netral, seperti kasus kodok. Ketiga, tersiar luas tapi tidak banyak mendapatkan reaksi dan pemerintah menyambut baik, seperti kasus miqat. Keempat, tersiar luas, mendapatkan reaksi keras dan pemerintah tidak menyukai, seperti kasus Natal. Kelima, tidak tersiar luas dan tidak mendapatkan tanggapan, seperti kasus Jum’ah.

Tanggapan dan Kritik.
Dari sisi isi dan pembahasan, desertasi ini amat bagus. Setidaknya ada tiga hal baru (orisinal) yang bisa didapat. Pertama, pembahasan fatwa (fiqh) yang dihubungkan dengan kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Sejauh ini, pembahasan fiqh hanya ditinjau dari sisi hukum, dalil-dalil yang digunakan dalam prosedur pembuatan dan sejenisnya; jarang --bahkan mungkin belum ada-- yang dikaitkan dengan suasana sosio-kultural masyarakatnya. Satu-satunya pembahasan yang hampir serupa dengan ini, yang kami temukan, adalah kajian fiqh yang dilakukan As-Sya’rani dalam kitab Al-Mizan Al-Kubra.[5] Tetapi, dalam soal fatwa MUI, jelas yang dilakukan dalam desertasi ini adalah yang pertama.
Kedua
, ditemukannya pola susunan referensi tertentu dalam penetapan hukum. Menurut peneliti, penetapan hukum di kalangan Nahddatul Ulama mengikuti pola referensi tertentu; dimulai dari Syarh Al-Muhazzab karya Nawawi, Fath Al-Wahhab karya Al-Ansari, Tuhfat Al-Muhtaj dari Ibn Hajar Al-Haitami dan Ianah At-Thalibin karya Ad-Dimyathi.[6] Hanya saja, penyimpulan bahwa MUI tidak dikuasai para ulama NU karena tidak adanya pola referensi tertentu yang dipakai MUI dalam penetapan hukum, masih perlu dipertanyakan. Apa benar demikian?
Ketiga
, penunjukan adanya tipologi-tipologi fatwa dalam hubungannya dengan ketersebaran dan reaksi masyarakat. Disini, peneliti menetapkan lima tipologi fatwa sebagaimana dijelaskan dalam kesimpulan diatas.
Dalam kaitannya dengan metodologi, ada beberapa yang kami kritik. Pertama, tidak dijelakannya pendekatan atau metode yang digunakan dalam penelitian, padahal ini sesuatu yang penting. Tanpa adanya kejelasan metode dan pendekatan yang dipakai, peneliti lain sulit untuk menindaklanjuti atau menguji kembali hasil penelitian ini. Juga sulit untuk mengkaji apakah metode yang dipakai benar-benar diterapkan secara konsisten. Meski demikian, jika benar bahwa pendekatan dan metode yang digunakan adalah sebagaimana yang disampaikan diatas, maka itu kiranya itu pilihan yang tepat; sesuai dengan objek dan tujuan kajian.
Kedua, pembahasan dan kesimpulan kurang menjawab sub-persoalan pertama; apakah fatwa mencerminkan atau berlainan dengan teks klasik. Yang ada hanya menjelaskan bagaimana proses pembentukan fatwa-fatwa; termasuk apakah ia mengambil dari teks-teks fiqh atau tidak. Jika proses pembentukan fatwa-fatwa itu sendiri yang ditekankan, sebagaimana yang ada dalam pembahasan, mestinya bukan hasil fatwa yang dikomparasikan dengan teks fiqh, tetapi metodologinya; apakah ia mengikuti metode penetapan hukum yang digariskan madzhab Syafii atau tidak. Memperbandingkan hasil fatwa MUI yang produk sekarang dengan teks klasik yang kuno kiranya sesuatu kurang tepat, karena kondisi dan kepentingan masing-masing jelas tidak sama. Sedemikian, sehingga sistematika pembahasan kira-kira sebagai berikut:
Pendahuluan
BAB I. Islam dan Hukum Islam di Indonesia.
BAB II. Metode-Metode Penetapan Hukum Menurut Madzhab Syafii
BAB III. Majelis Ulama Indonesia
BAB IV. Pengujian Fatwa
BAB V. Kesimpulan.
Ketiga, tidak ada indikator-indikator yang jelas yang digunakan untuk mengukur keterluasan penyebaran fatwa dan soal sejauh mana reaksi masyarakat dalam menanggapi fatwa. Apa ukurannya. Ini memang diakui sendiri oleh peneliti sehingga digunakan tipologi dalam penentuannya dalam kesimpulan.
Keempat, ada keterputusan pembahasan atau logika, antara persoalan ketiga yang diajukan; sejauh mana masyarakat menerima atau menolak fatwa, dengan kesimpulan yang diberikan. Dalam kesimpulan, persoalan ketiga diatas dijelaskan secara sistematis dan bagus, tetapi tidak ada pembahasan didalam desertasi ini yang bisa mengarah pada kesimpulan demikian. Memang ada pembahasan soal tanggapan masyarakat dan pemerintah terhadap salah satu fatwa; tentang perayaan Natal oleh umat Islam. Tetapi, itu masuk dalam Bab III; sebagai contoh bahwa MUI tidak bisa lepas dari pengaruh pemerintah, bukan dalam Bab IV, pengujian fatwa. Mestinya disini ada pembahasan yang cukup luas tentang masalah tersebut, disamping prosedur hukumnya, seperti kasus ternak kodok yang “kontraversial”, sehingga ada alur yang jelas untuk mencapai sebuah kesimpulan. Sedemikian, sehingga dari sisi metodologi, pendekatan sosiologis yang dipakai --jika memang benar demikian-- kurang dipergunakan secara luas dan “konsisten” dalam menjawab persoalan-persoalan yang diajukan, terutama persoalan ketiga.

Catatan Kaki
[1] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), 243.
[2] Ibid, 245.
[3] Taufiq Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), 8.
[4] Asumsi ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang peneliti yang memang mempunyai basic ilmu-ilmu sosial kuat. Menurut catatan riwayat hidup yang tercantum dalam akhir desertasi, peneliti menempuh magister dalam Perencanaan dan Pembangunan, Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Universitas Queensland, Australia 1981. Pernah menjadi Staf Peneliti tidak tetap pada Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Sosial (LP3ES) 1982-1984.
[5] Lihat As-Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, Bairut, Dar Al-Fikr, tt.
[6] Penyimpulan ini, barangkali, didasarkan apa yang dilakukan NU saat itu. Sebab, dalam Muktamar di Palembang ditetapkan adanya kitab-kitab muktabarah yang digunakan dalam penetapan hukum di lingkungan NU. Dan setahu kami ini yang diperaktekkan sampai sekarang. Bahkan, dalam beberapa hal, penetapan hukum NU tidak hanya terikat pada madzhab Syafii, tetapi juga pada madzhab lain.

Tulisan-tulisan lainnya, klik disini

1 komentar:

Anonymous,  Selasa, Mei 19, 2009  

ma'af, bisa liat bab II nya secara utuh g'??

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP