Selasa, Desember 16, 2008

Al-Ghazali's Metaphysics

Metafisika al-Ghazali
Oleh: A Khudori Soleh
Plato (429-347 SM) dan neoplatonik yang idealis menganggap bahwa yang substantif adalah sesuatu yang ada dalam ide dan itu bersifat universal. Sebaliknya, Aristoteles (384-322 SM) menilai bahwa yang essensial adalah apa yang objektif, riil dan itu bersifat partikular. Di luar itu hanya konsep mental, bahkan termasuk Tuhan, hanya sebagai ‘form’ yang tidak berkaitan dengan proses penciptaan alam.(1) Al-Ghazali menerima kedua prinsip pemikiran tersebut sekaligus tetapi menolak masing-masingnya, sehingga lahir konsep baru, yaitu konsep realitas yang partikular-universal, dan realitas universal-partikular.

A. Riwayat Hidup.
Al-Ghazali, lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali,(2) lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dari ayah seorang penenun wool (ghazzal) sehingga dijuluki al-ghazâlî.(3) Pendidikan awalnya di Thus,(4) lalu di Jurjan, dalam bidang hukum (fiqh) dibawah bimbingan Abu Nashr al-Ismaili. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fiqh dan teologi pada al-Juwaini (w. 1085 M), sampai sang guru wafat.(5) Yang perlu dicatat, al-Juwaini adalah tokoh yang punya peran penting dalam memfilsafatkan teologi Asy`ariyah. Menurut al-Subki,(6) al-Juwaini inilah yang mengenalkan al-Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam, lewat disiplin teologi.
Selain mendalami fiqh dan teologi, di Nisabur, al-Ghazali juga belajar dan melakukan praktek tasawuf dibimbing al-Farmadzi (w. 1084 M), tokoh sufisme asal Thus, murid al-Qusyairi (w. 1074 M). Hanya saja, saat pertama ini, al-Ghazali agaknya tidak berhasil mencapai tingkat di mana sang mistis menerima inspirasi dari alam ‘atas’.(7). Di samping itu, dia juga mempelajari doktrin-doktrin Taklimiyah hingga al-Muntadzhir menjadi khalifah (1094-1118 M).(8)
Pada tahun 1091, al-Ghazali diundang oleh Nidzm al-Mulk (w. 1092 M), wazir dari Malik Syah (w. 1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidzamiyah, Baghdad.(9). Di sini ia menuntaskan studinya tentang teologi, filsafat, taklimiyah dan tasawuf, dan ini merupakan periode penulisan paling produktif.(10) Namun, perkenalannya dengan empat klaim metodologis tersebut, pada sisi lain, ternyata telah menyebabkan al-Ghazali mengalami krisis epistemologis yang kemudian memaksanya mengundurkan diri dari jabatannya untuk mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan selama 10 tahun, di mulai ke Damaskus, Yerussalem, Makkah, kembali ke Damaskus dan terakhir ke Baghdad.(11)
Setelah lama dalam pengasingan spiritual, setelah menyakinkan dirinya bahwa ‘kaum sufilah orang yang menempuh jalan kepada Tuhan secara benar dan langsung’,(12) dan setelah merasa mencapai tingkat tertinggi dalam realitas spiritual, al-Ghazali mulai merenungkan dekadensi moral dan religius pada komunitas kaum muslimin saat itu. Kebetulan, bersamaan dengan itu, Fakhr al-Mulk, penguasa Khurasan, memintanya mengajar di Nisabur, tahun 1105.(13) Namun, di Nisabur ini al-Ghazali tidak lama, hanya sekitar 5 tahun, karena pada tahun 1110 M, ia kembali ke Thus. Di Thus, al-Ghazali mendirikan madrasah dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para sufis. Di sini ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi di samping mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual. Al-Ghazali meninggal pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M, di Thus, pada usia 53 tahun.(14)
Karya-karya al-Ghazali yang dianggap paling monumental adalah Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Religius), sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam. Karyanya yang lain, dalam bidang filsafat dan logika, antara lain, Mi`yâr al-`Ilm (Standar Pengetahuan), Tahâfut al-Falâsifat (Kerancuan Para Filosof), dan Mihak al-Nadzar fî al-Manthiq (Batu Uji Pemikiran Logis); dalam bidang teologi adalah Qawâ’id al-`Aqâ`id (Prinsip-prinsip Keimanan) dan Al-Iqtishâd fî al-I`tiqâd (Muara Kepercayaan); dalam bidang ushul fiqh adalah Al-Mustashfa min `ilm al-Ushûl (Intisari Ilmu tentang Pokok-pokok Yurisprudensi) dan Al-Mankhûl min `ilm al-Ushûl (Ikhtisar Ilmu tentang Prinsip-prinsip); dalam bidang tasawuf adalah Al-Kimia al-Sa`âdah (Kimia Kebahagiaan), Misykat al-Anwâr (Ceruk Cahaya-Cahaya); dalam kebatinan adalah Qisthâs al-Mustaqîm (Neraca yang Lurus) dan Al-Mustadzhir.(15)

B. Kondisi Sosial Keagamaan.
Pada masa al-Ghazali, masyarakat telah terpilah-pilah dalam berbagai golongan mazhab fiqh dan aliran teologi. Al-Syahrastani (w. 1153 M),(16) menggambarkan betapa banyaknya aliran pemikiran yang ada saat itu. Setiap aliran, menurut al-Ghazali,(17) mengklaim dirinya sebagai golongan yang benar dan menuduh aliran lain salah, apalagi ada sebuah hadis yang diyakini dari Rasul saw. bahwa umat Islam akan terpecah dalam 73 golongan; semuanya sesat kecuali satu golongan.(18)
Namun, yang perlu dicatat di sini adalah bahwa para tokoh aliran tersebut, yang kadang dilakukan oleh penguasa, secara sadar memang telah menanamkan rasa fanatisme golongan kepada masyarakat.(19) Sebagian penguasa ada yang menanamkan fahamnya kepada rakyat, bahkan kadang dengan paksaan, sehingga menambah suasana fanatisme dan permusuhan di antara aliran. Apa yang dilakukan oleh al-Kunduri (w. 1066 M) adalah salah satu contoh. `Amîd al-Mulk al-Kunduri adalah pengikut Hanafi dalam fiqh dan Maturidiyah dalam teologi. Ketika menjadi wazir Tughril Beg, al-Kunduri memerintahkan pengutukan keras terhadap Asy`ariyah, Syafi`iyah dan Syi`ah, dalam khutbah di masjid,(20) serta melarang orang dari ketiga aliran ini mengajar maupun menyampaikan khutbah. Tekanan keras dari penguasa Saljuk ini memaksa al-Juwaini (w. 1085 M) mengasingkan diri ke Makkah dan Madinah, dan mengajar disana, tahun 1059-1063 M, sehingga digelari Imâm al-Harâmain (imam dua tempat suci).(21)
Kondisi tersebut berlangsung sampai tampilnya Alp Arslan (1063-1072 M) dan wazirnya, Nidzam al-Mulk (1063-1092 M), yang secara pribadi adalah lawan al-Kunduri. Nidzam al-Mulk, kelahiran Thus seperti al-Ghazzali adalah pengikut Syafi`i dan Asy`ari.(22) Namun, dalam upaya menyuburkan mazhabnya, ia bertindak lebih santun, yakni dengan mendirikan banyak perguruan tinggi di berbagai tempat dan menggunakan namanya sendiri: Madrasah Nidzamiyah. Di madrasah ini para tokoh mazhab Syafi`i dan Asy`ari bebas mengajarkan doktrin-doktrinnya, dan Nidzam al-Mulk mendukung dana penuh.(23)
Meski demikian, yaitu meski terjadi konflik mazhab dan aliran pemikiran, saat itu kehidupan sufisme justru mendapat tempat. Di Syiria,(24) penguasa Saljuk membangun dua buah khanaqah (asrama sufi) yang megah, yaitu al-Qasr dan al-Tawâwis sebagai tambahan terhadap khanaqah yang telah ada. Para sufi hidup dalam khanaqah yang megah dan di anggap sebagai kelompok istimewa karena tidak adanya keterpengaruhan terhadap dunia yang penuh tipuan. Status ini kemudian mendorong sebagian sufi menggunakanya sebagai sarana untuk mendapat kemudahan hidup dan kemuliaan, sehingga melupakan fungsinya sebagai kontrol sosial masyarakat.(25) Pada tahap berikutnya, kehidupan sufi ini semakin mengkristal dalam tarekat-tarekat. Sufisme tidak lagi sebagai kegiatan individual, tetapi telah menjadi ‘organisasi sosial’ seperti tarikat Qadiriyah-Naqsabandiyah yang didirikan Syeh Abd al-Qadir al-Jailani (1079-1165 M), tokoh terkemuka yang juga guru besar di madrasah Nizhamiyah Baghdad.(26)

C. Alam Indera & Kasat Mata.
Al-Ghazali, dalam kaitannya dengan tingkat dan "kualitas" realitas, membagi realitas atau alam ini dalam dua bagian: alam yang tampak mata atau ‘alam indera’ (`alam al-syahâdah), dan alam tidak kasat mata atau alam supernatural (`alam al-malakût atau `alam al-ghaib).(27) Perbandingan antara dua alam ini adalah seperti kulit dengan isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan cahaya, atau kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas, alam ruhani dan alam nurani, sedang alam syahadah adalah alam bawah, alam jasmani dan alam gelap.(28)
Al-Ghazali mengumpamakan perbandingan kedua alam ini dengan cahaya bulan yang menerobos masuk rumah lewat lubang angin dan jatuh di atas sebuah cermin yang membiaskan cahaya tersebut kepada dinding di depannya lalu membiaskan lebih lanjut ke lantai sehingga meneranginya.(29) Dalam perumpamaan tersebut, cahaya di lantai berasal dari dinding, cahaya di dinding berasal dari cermin, cahaya di cermin berasal dari bulan, dan cahaya bulan berasal dari matahari yang merupakan sumber cahaya. Keempat cahaya ini, berturut-turut, sebagian lebih tinggi dan lebih sempurna dibanding yang lain.
Menurut al-Ghazali,(30) realitas yang ada ini juga tersusun secara hierarkis sebagaimana hierarki cahaya di atas, di mana cahaya yang paling dekat dengan sumber cahaya pertama dinilai lebih utama dan sempurna dibanding cahaya-cahaya di bawahnya. Dimulai dari alam indera yang merupakan realitas paling bawah dan rendah, naik pada alam ghaib pertama, naik pada alam ghaib kedua dan seterusnya sampai pada alam paling ghaib dan bertemu dengan sumber pertama dan utama, yaitu Tuhan yang segala realitas ada dalam kekuasaan dan perintah-Nya.
Tentang alam ghaib sendiri yang disebut juga alam ilahiyah, meski tidak bisa disaksikan dengan mata indera, tetapi ia bisa disaksikan dengan mata hati (al-bashîrah) yang telah tersucikan. Menurut al-Ghazali,(31) ketidakmampuan mata indera untuk menangkap realitas ghaib disebabkan adanya kelemahan yang ada pada dirinya. Pertama, mata indera tidak mampu melihat dirinya sedang mata hati mampu mencerap dirinya juga sesuatu yang di luar dirinya. Mata hati mencerap dirinya sebagai ‘yang memiliki pengetahuan dan kemampuan’, dan ia mencerap ‘pengetahuan yang dimilikinya’, ‘pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya’, dan seterusnya sampai tak terhingga. Ini kekhasan yang sama sekali tidak dimiliki oleh benda-benda lain yang mencerap dengan mempergunakan sarana lahiriyah seperti mata.
Kedua, mata indera tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau terlalu jauh, sementara bagi mata hati, soal jauh dan dekat adalah sama. Dalam sekejap, mata hati bisa terbang ke langit dan pada kejapan berikutnya, ia meluncur turun ke bumi. Bahkan, jika telah mencapai hakekat segala sesuatu, persoalan dekat dan jauh menjadi hilang. Ketiga, mata indera tidak dapat menangkap sesuatu yang dibalik hijâb (tabir) sementara mata hati bisa bergerak bebas, bahkan di sekitar `arâsy (singgasana Tuhan), kursy dan segala sesuatu yang berada dibalik selubung langit. Bahkan tidak ada sesuatupun hakekat segala sesuatu yang terhijab bagi mata hati, kecuali ketika mata hati menghijab dirinya sendiri sebagaimana mata indera menutup dirinya dengan kelopak matanya.(32)
Keempat, mata indera hanya dapat menangkap bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalamnya atau hakekatnya, sementara mata hati mampu menerobos bagian dalam segala sesuatu dan rahasia-rahasianya, menangkap hakekat-hakekat dan ruh-ruhnya, menyimpulkan sebab-sebab, sifat-sifat dan hukum-hukumnya. Kelima, mata indera hanya mampu menangkap sebagian kecil dari realitas. Ia tidak mampu menangkap sesuatu yang terjangkau nalar dan perasaan, seperti rasa cinta, rindu, bahagia, gelisah, bimbang dan seterusnya. Ia juga tidak mampu menangkap bunyi-bunyian, bau, rasa dan sejenisnya. Jelasnya, mata indera tidak mempunyai jangkauan yang luas tetapi hanya terbatas pada alam warna dan bentuk; sesuatu yang menjadi bagian dari realitas paling rendah.(33)

D. Partikular & Universal.
Sejalan dengan konsep di atas, dari sisi ‘essensial’, al-Ghazali membagi realitas dalam dua bagian: partikular (juz’iyyât) dan universal (kulliyyât). Partikular diklasifikasikan menurut 10 kategori Aristoteles, yakni 1 substansi (jauhar) dan 9 aksiden (`aradl), yaitu kuantitas (kammiyah), kualitas (kaifiyah), relasi (idlafah), di mana (aina), kapan (matâ), postur (wadla’), possesi (lahu), aksi (an yaf`ala) dan passi (an yanfa`ila).(34)
Kategori-kategori yang ditolak kaum neo-platonis karena dianggap mereduksi genus dan spesies tersebut, justru diterima al-Ghazali secara absolut, bukan karena taklid melainkan berdasarkan argumen rasional, bahwa 10 kategori tersebut memang benar-benar merupakan realitas objektif yang diketahui, oleh akal maupun indera, dan tidak satupun dalam wujud ini yang tidak tercakup di dalamnya.(35) Karena itu, tidak ada objek pengetahuan yang tidak masuk dalam kategori ini dan tidak ada kata kecuali menunjukkan salah satunya.
Selanjutnya tentang realitas universal, al-Ghazali membagi dalam dua bagian: (1) universal essensial (dzâti) yang mencakup genus (jins), spesies (nau’) dan differense (fashl), (2) universal aksidental (`aradl), baik yang khusus seperti ‘tertawa’ pada manusia, atau yang umum seperti sifat ‘bergerak’ pada materi.(36) Universal essensial adalah makna abstrak tanpa melihat atribut-atribut luar yang menyertainya, sedang universal aksidental adalah konsep abstrak yang merupakan generalisasi dari adanya kesamaan-kesamaan dari partikular-partikular. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa yang pertama ada dalam konsep mental sekaligus dalam realitas aktual, yakni bahwa essensi dari universalisme tersebut memang benar-benar wujud alam realitas, sementara yang kedua hanya ada dalam konsep mental, tidak ada dalam realitas aktual, karena tidak mungkin sesuatu yang satu menjadi atribut bagi berbagai partikular lainnya dalam waktu yang bersamaan.(37)
Dengan konsep tersebut, yang dianggap universal dalam makna sesungguhnya (primer) adalah yang pertama, sedang universal kedua yang hanya ada dalam konsep mental adalah universal sekunder. Dengan itu pula, maka konsep universal harus berkaitan dengan realitas partikular, karena dari partikular-partikular tersebut bisa muncul universal. Prosesnya, pertama-tama, indera memberikan data-data kepada khayal berupa copi objek-objek sensual sesuai dengan realitas yang ada. Copi ini kemudian diolah oleh khayal, diklasifikasi unsur-unsur persamaan dan perbedaannya dengan yang lain, sehingga diketahui sifat-sifat essesial dan aksidentalnya, sifat umum dan khususnya. Dari satuan-satuan konsep ini, jika hanya berkaitan dengan satu objek tertentu dengan segala atribut yang menyertainya menghasilkan makna partikular; dan jika berkaitan dengan objek-objek yang lain dan lepas dari atribut-artribut aksidentalnya menghasilkan makna universal.(38)
Dengan konsep partikular-universal tersebut, al-Ghazali –termasuk juga al-Farabi— bisa dianggap sebagai kelompok pemikir ‘realis baru’ yang Platonik-Aristotelian tetapi tidak Aristotelian dan tidak Platonik. Tidak Aristotelian, karena al-Ghazali mengakui adanya alam ghaib sebagai realitas objektif metafisis, sesuatu yang tidak dikenal oleh Aristoteles; juga tidak Platonik karena masih menganggap adanya substansi partikular, sesuatu yang tidak diakui oleh Plato. Al-Ghazali menggunakan konsep ini tidak hanya dalam metafisika tetapi juga menjadikannya sebagai landasan bagi prinsip-prinsip yurisprudensi (ushûl fiqh) yang digagasnya, yang kemudian hari di kembangkan lebih jauh dan serius oleh al-Syâthibi (w. 1388 M) dalam karyanya, al-Muwâfaqât.(39)

E. Wujud Aktual & Potensial.
Berkaitan dengan pengetahuan dan apa yang dapat ditangkap oleh nalar, al-Ghazali membagi realitas menjadi dua: aktual dan potensial. Wujud aktual adalah segala realitas yang mempunyai eksistensi di luar mental atau persepsi manusia. Ia mempunyai hakekat pada diriya sendiri.(40) Realitas ini mencakup semua bentuk partikular, baik yang sensual (al-mahsusat), yakni segala materi dengan semua sifat fisisnya seperti warna, bentuk dan ukuran; maupun partikular non-sensual (ghair al-mahsusat), yakni segala sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri yang diketahui secara a priori, seperti potensi pancaindera, kemampuan, kehendak, akal dan seterusnya.(41)
Sebaliknya, wujud potensial adalah segala realitas yang eksistensi –hanya—ada dalam mental atau pikiran manusia. Wujud ini terbagi dalam tiga bagian, wujûd al-hissi, wujûd al-khayali, dan wujûd al-aqli. (a) Wujûd al-hissi adalah sesuatu dalam potensi indera sebagai ‘sense datum’, yakni hasil persepsi langsung indera terhadap objek, dan penampakan dunia luar pada indera yang penampakan tersebut bukan merupakan substansi objek yang sesungguhnya melainkan hanya halusinasi, seperti apa yang dilihat orang tidur (mimpi). (b) Wujûd khayali adalah gambar sebuah objek yang ada dalam potensi khayal (common sense). Maksudnya data yang sudah terinternalisasi dalam mental dan disimpan dalam potensi memori (hâfizhah) seseorang. Kedua wujud ini, oleh kaum realisme kritis di Barat dipandang sebagai ‘sense data’ yang menghubungkan pikiran subjek dengan objek. (c) Wujûd al-aqli adalah makna abstrak yang ditangkap oleh rasio dari sebuah objek berdasarkan ‘sense data’ (wujûd al-hissi dan wujûd al-khayali), tetapi sudah terlepas dari pengaruh indera dan khayal itu sendiri, seperti pemahaman bahwa hakekat manusia adalah hewan berfikir.(42)
Menurut Saiful Anwar,(43) konsep al-Ghazali tentang wujud aktual dan potensial tersebut diambil dari pemikiran al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), kemudian sekarang dikembangkan oleh penganut ‘realisme kritis’ di Barat. Menurut mereka, eksistensi objek bebas dari pengetahuan tetapi ada hubungan langsung di antara subjek dengan objek, sehingga ada tiga komponen dalam proses pembentukan pengetahuan, yaitu pikiran atau subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dengan segala kualitas primernya, dan sense data yang menghubungkan pikiran subjek dengan objek. Teori ini memungkinkan kita untuk menjelaskan soal ilusi, halusinasi dan berbagai macam kesalahan persepsi sensual, karena sense data bisa mengalamai distorsi.(44)
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pemikiran ontologis, konsep wujud aktual dan potensial ini berkaitan dengan ‘kontingensi’ dan ‘necessitas’. Tidak jauh beda dengan al-Farabi (870-950 M), dalam konsep al-Ghazali, wujud aktual adalah sesuatu yang telah ada secara konkrit, nyata, yang disebut ‘necessitas’ (wâjib al-wujûd). Sementara itu, wujud potensial adalah sesuatu yang masih ada dalam konsep atau ide, dan siap untuk menjadi wujud konkrit yang mengenal ruang dan waktu. Namun, wujud potensial ini masih dalam posisi mumkin al-wujûd (kontingensi), di mana kemungkinan adanya tidak lebih kuat dari tiadanya, sehingga ia akan tetap dalam kondisi seperti itu selama belum berubah menjadi realitas yang aktual.(45) Bagi al-Ghazali, imkân (kontingensi) tidak ekuivalen dengan realitas dan wujûb tidak dengan simplisitas. Persoalan imkân, wujûb (necessitas) dan imtinâ’ (kemustahilan) hanyalah hukum rasio yang tidak harus mempunyai objek secara aktual. Sebab, jika imkâm butuh sandaran realitas aktual berupa materi, maka kemustahilan juga membutuhkannya. Ini sesuatu yang tidak bisa diterima nalar.(46)

F. Penutup.
Berdasar uraian di atas, ada beberapa hal perlu disampaikan. Pertama, pembagian tingkat kualitas alam oleh al-Ghazali menjadi dua bagian, yakni alam atas dan bawah, yang masing-masing termanifestasikan oleh alam malakût yang bersih dan mulia dan alam dunia yang kasat mata dan rendah, sesungguhnya, bukan ide baru. Para filosof sebelumnya seperti al-Farabi dan Ibn Sina juga telah menyatakan hal itu. Namun, yang berbeda dari al-Ghazali adalah bahwa tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi sebagaimana pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina tetapi –berdasarkan teori imkân— dicipta dari sesuatu yang tiada (creatio ex nihilo) seperti pemikiran kaum teologi.
Kedua, pemikiran al-Ghazali tentang dua kutub realitas, partikular dan universal, yang keduanya sama-sama merupakan substansi yang mempunyai bangunan tersendiri tapi saling berkaitan, adalah gagasan yang genius. Dengan pemikian ini, maka doktrin kaum teolog bahwa semesta diciptakan dari sesuatu yang tiada, creatio ex nihilo, bisa dijelaskan, sehingga perbedaan dan pertentangan antara doktrin teologi dan filsafat bisa diselesaikan. Namun, gagasan bukan tidak tanpa persoalan. Pada waktu berikutnya, konsep al-Ghazali ini bisa dianggap syirik, ketika dihadapkan pada konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud) ibn Arabi.
Ketiga, pembagian eksistensi wujud, (1) aktual yang eksistensinya tidak hanya ada dalam mental, konsep dan pikiran, tetapi konkrit, nyata dalam wujud realitas dan (2) wujud potensial yang hanya ada dalam konsep, mental atau pikiran dan masih dalam posisi imkân, pada gilirannya akan bisa mengarah pada kesimpulan bahwa aksiden lebih penting dibanding substansi, karena aksiden itulah yang menentukan eksistensi sesuatu. Jika dilanjutkan, ini dapat mendorong lahirnya paham materialism. Di sisi lain, dengan konsep wujud potensial-aktual tersebut berarti pula bahwa segala yang konkrit telah ada ‘gambarannya’ dalam pikiran, termasuk wujud semesta telah ada gambarannya dalam benak Tuhan sebagai wujud potensial. Al-Ghazali mengakui hal ini dan menamakan dengan ‘nasyiyah al-azaliyah’ (kehendak azali). Ini berarti tidak berbeda dengan konsep filsafat tentang ‘keqadiman alam’, bahwa semesta ini telah ada wujudnya dalam pikiran Tuhan secara azali bersama keazalian-Nya, sesuatu yang pernah ditolak oleh al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah [.]

Catatan Kaki.
1. M. Al-Bahi, Al-Jânib al-Ilâhi min al-Tafkîr al-Islâmî, (Mesir, Dar al-Katib al-Arabi, 1967), 354-5.
2. Nama aslinya hanya Muhammad. Nama Abu Hamid diberikan kemudian setelah ia mempunyai putra bernama Hamid yang meninggal ketika masih bayi.
3. Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, (Bandung, Pustaka, 1987), 20.
4. Syarif (edit), History of Muslim Philosophy, (Waisbaden, Otto Harrasowitz, 1963)
5. Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 181.
6. Al-Subki, Thabaqat al-Syafi'iyah al-Kubra, IV, (Kairo, Maktabah al-Misriyah, 1906), 103.
7. Ibn Khallikan, Wafayât al-A`yân, I, (Beirut, Dar al-Syadr, tt), 98; Kenyataan ini rupanya telah membuat al-Ghazali terpengaruh pada tasawuf dan membuatnya mengalami krisis epistemologi. Lihat al-Ghazali, Al-Munqid Min al-Dlalâl, (Beirut, Dar al-Fir, tt), 68; Osman Bakar, Tauhid dan Sains, (Bandung, Mizan, 1997), 66.
8. Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 182.
9. JJ. Saunders, A History of Medieval Islam, (London, Rouledge and Kegan Paul, 1980), 151. Penghormatan besar yang diterima al-Ghazali ini, menurut Osman Bakar, juga dikarenakan Bani Saljuk secara kebetulan bermazhab Syafi`i dan Asy`ari, di samping adanya tujuan-tujuan politis dari pihak penguasa, demi mengokohkan kedudukannya. Lihat Osman Bakar, Hirarki Ilmu, 180; Mongomery Watt, The Majesty that was Islam, (London, Sidgwich, 1976), 249
10. Tentang buku-buku yang ditulis selama di Baghdad ini, lihat Osman Bakar, Hirerki Ilmu, 184-186.
11. Al-Ghazali, Al-Munqid, 71-76. Khudori Soleh, Kegelisahan al-Ghazali, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 58-59. Selama masa pengembaraan di Syiria ini, al-Ghazali menulis bagian-bagian tertentu dari kitab monumentalnya, Ihyâ’ Ulûm l-Dîn.
12. Al-Ghazali, Al-Munqid, 75.
13. Al-Ghazali, Al-Munqid, 93; Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 189. Di Nisabur ini al-Ghazali menulis autobigrafinya yang terkenal, Al-Munqid Min al-Dlalâl.
14. Osman Bakar, ibid.
15. Uraian lebih lengkap tentang karya al-Ghazali, lihat Osman Bakar, ibid, 189-196; Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, (Bandung, Pustaka, 1987), 9-13; al-Qardlawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, (Surabaya, Risalah Gusti, 1997), 187-200.
16. Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, I, (Mesir, al-Mathba`ah al-Adabiyah, 1317), 6-9. Meski demikian, tidak semua kumpulan pendapat bisa disebut aliran. Menurut al-Syahrastani, ada 4 pedoman atau dasar sebuah pemikiran bisa dikategorikan sebagai aliran; (1) kekhususan pendapat tentang sifat-sifat Tuhan dan tauhid, (2) tentang keadilan dan takdir, (3) tentang janji dan ancaman, (4) tentang akal, risalah dan amanah. Berdasarkan alasan ini, al-Syahrastani membagi kelompok pemikiran Islam saat itu dalam 4 aliran besar; Jabariyah, Qadariyah, Syi`ah dan Sifatiyah. Perpaduan dan percabangan dari 4 aliran ini, pada gilirannya, melahirkan begitu banyak aliran yang mencapai jumlah 73 golongan.
17. Al-Ghazali, Al-Munqid, 24. Al-Ghazali sendiri, berdasarkan cara masing-masing golongan dalam upaya mencari kebenaran, mengelompokkan mereka dalam empat kategori besar: ahli teologi, filosof, kebatinan dan tasawuf.
18. Di kalangan teolog, hadis yang diriwayatkan Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmadi ini sangat populer. Al-Ghazali mengutip hadis ini untuk menggambarkan tingginya tingkat keberagamaan aliran pada masanya. Lihat al-Ghazali, al-Munqid, 24. Begitu pula yang dilakukan al-Syahrastani, lihat Al-Milal wa al-Nihal, 4. Dalam Jamî` al-Shaghîr, hadis ini dimulai dengan kata kerja ‘iftaraqa’ dan tidak menyebut adanya satu aliran yang benar. Lihat al-Suyûthî, al-Jamî` al-Shaghîr, I, (Bairut, Dar al-Fikr, tt.), 48
19. Musthafa Jawwad, ‘Abû al-Ghazâlî’ dalam Mahrajan al-Ghazali bi Dimasyqi, Abû Hâmid al-Ghazâlî fî al-Dzikr al-Mi`awiyât al-Tasi`at li Miladih, (Kairo, al-Majlis al-A`la li Ri`ayat al-Funun wa al-Adâb, 1962), 495.
20. Osman Bakar, Hirarki Ilmu, 181. Shiddiqie, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, (Yogya, Pustaka Pelajar, 1987), 53
21. Mongomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam,(Jakarta, P3M, 1987), 134. Uraian lebih rinci tentang perjalanan hidup al-Juwaini sendiri, lihat `Abd al-`Azhim al-Dib, Imam al-Haramain Abû al-Ma`âlî al-Juwainî, (Kuwait, Dar al-Qalam, tt).
22. Watt, Pemikiran Teologi,. 134. Masing-masing mazhab memang mempunyai wilayah penganut. Di Khurasan, mayoritas bermazhab Syafii, di Transoxiana lebih banyak mengikuti faham Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi`i bertemu Hambali dan di Balkh mazhab Syafii bersaing dengan Hanafi. Di Baghdad sendiri, mazhab Hambalî lebih dominan. Zurkani Yahya, Teologi al-Ghazali, (Yogya, Pustaka Peajar, 1996), 67.
23. Zaki Mubarak, Al-Akhlâq ind al-Ghazâlî, (Kairo, Dar al-Kutub al-Arabi, 1924), 22-28. Namun, menurut Watt, pendirikan banyak madrasah ini bukan semata alasan idiologi keagamaan tetapi juga mengandung muatan politis. Nidzam al-Mulk menyadari adanya bahaya dari propaganda dinasti Fathimiyah lewat faham Syi`ahnya, dan tahu bahwa hal itu tidak bisa dilawan dengan tindakan-tindakan represif. Karena itu, ia menyusun kebijaksanaan jangka panjang demi mempertahankan kekuasaan golongan Sunni secara intelektual atau idiologi dengan cara merangkul para teolog, khususnya kaum Asy`ariyah yang memang sealiran dengannya, dalam lingkar kekuasaan. Lihat Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, 134.
24. Khalid Mu`adz, ‘Dimasyqi Ayyâm al-Ghazâlî’ dalam Abû Hâmid, 473-474.
25. Zaki Mubarak, Al-Akhlâq `ind al-Ghazâlî, 19; Lihat juga Zurkani Yahya, Teologi Al-Ghazali, 68. Al-Ghazali sendiri mengisyaratkan akan hal ini. Bahwa saat itu banyak ulama yang cenderung berusaha mendekatkan diri kepada penguasa demi popularitas dan kepentingan duniawi, sehingga tidak lagi bisa berfungsi sebagai kontrol sosial (pemberi nasehat). Lihat al-Ghazali, Mi`râj al-Sâlikîn, (Kairo, Silsilah al-Tsaqafah, 1964), 4.
26. Uraian lengkap tentang tarekat Naqsabandiyah, lihat Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung, Mizan, 1996), terutama hal. 47-63. Tentang riwayat Syeh Abd al-Qadir, lihat al-Barzanji, Lujain al-Dînî, (Surabaya, Pustaka Hidayah, tt.)
27. Al-Ghazali, “Misykât al-Anwâr”, dalam Majmû`ah Rasâil, (Bairut, Dar al-Fikr, 1996), 273.
28. Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr, 274. Namun, apa yang dimaksud alam tinggi ini bukan langit, meski langit terletak pada posisi yang tinggi dan “di atas” dalam pemahaman sebagian penghuni alam jasmani.
29. Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr, 274; Gagasan hierarki realitas yang terdiiri atas alam ghaib dan indera, dimana alam ghaib dinilai lebih tinggi karena dengan sumber pertama, Tuhan, sama dengan gagasan hierarki wujud al-Farabai yang tercermin dalam teori emanasinya sebagaimana dijelaskan pada bab di depan.
30. Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr, 274.
31. Ibid, 271-272.
32. Uraian persoalan ini secara panjang lebar, lihat ibid, 288-292.
33. Ibid, 271.
34. Al-Ghazali, Mi`yâr al-Ilm, (edit), Sulaiman Dunya, (Mesir, Dar al-Ma`arif, tt), 313.
35. Ibid, 326.
36. Ibid, 92-108.
37. Ibid, 93.
38. M. Baqir al-Sadr, Falsafatunâ, (Beirut, Dar al-Ma`arif, 1989), 53.
39. Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, Markaz al-Tsaqafi al-Arabji, 1991),547-8.
40. Al-Ghazali, Mihak al-Nazhar fî al-Manthiq, (Beirut, Dar al-Nahdlah, 1996), 120.
41. Al-Ghazali, Mi`yâr al-Ilm, 89-90.
42. Al-Ghazali, “Fashl al-Tafriqah bain al-Islâm wa al-Zandaqah”, dalam Majmû`ah Rasâil, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
43. Saiful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali, (Yogya, Desertasi, 1998), 173.
44. Harold H. Titus, Living Issues in Philosophy, (New York, Van Nostrand Compani, 1979), 283.
45. Al-Ghazali, Mi`yâr al-Ilm, 343-8.
46. Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, (ed), Sulaiman Dunya, (Mesir, Dar al-Ma`arif, tt), 118-123.

Tulisan-tulisan lainnya, klik disini

5 komentar:

gus Selasa, Desember 16, 2008  

wew, ijin nyerap artikelnya Kang.....

xitalho Jumat, Desember 19, 2008  

nuwun sewu ikutan nyimak... sekalian salam kenal..

Iza Senin, Desember 22, 2008  

Obrigada pela visita. Estudo Filosofia na Universidade Federal de Pelotas.

Estou no Brazil.

Patty Kamis, Desember 25, 2008  

Saludos desde Uruguay. Te devuelvo la visita que me hiciste. Por ahora me pareció interesante. Seguiré leyendo a ver que encuentro. ¡Saludos y felices fiestas!

Jerry Haber Selasa, Desember 30, 2008  

Wa-salaam aleka, ya A Khudori Soleh,

It would be nice to read your essay on Al-Ghazali's Metaphysics in a Western Language like English.

In the meantime, pray for peace and sanity to come to al-muslimin al-mu'minin and al-yahud in Filistin.

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP