Jumat, Desember 26, 2008

Gender in Philosophy and Sufism Perspective

Gender Dlm Perspektif Filsafat dan Tasawuf
Oleh: A Khudori Soleh
Dalam kajian filsafat Barat, manusia perempuan secara umum dianggap sebagai makhluk yang lemah dan cacat, sehingga ia harus ditempatkan sebagai manusia kelas kedua setelah laki-laki. Mulai dari Plato (427-347 SM) yang idealis dan Aristoteles (384-322 SM) yang empirik sampai Jean-Paul Sartre (1905-1980 M) yang eksistensialis, hampir semuanya menganggap demikian (salah satu alasannya biasanya adalah mentruasi selain anggapan bahwa perempuan kurang nalarnya). Paling-paling hanya John Stuart Mill (1806-1873 M) yang ahli psikologi yang menganggap perempuan mempunyai kemampuan setara dengan laki-laki.
sementara itu, dalam kajian filsafat Islam, meski ia dibangun di atas dasar pemikiran Plato dan Aristoteles, tetapi sangat berbeda dengan pendahulunya dan juga saudaranya di Barat.

Perspektif Filsafat.
Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, manusia perempuan tidak dibedakan dengan laki-laki tetapi justru diseterakan, sepanjang ia mempunyai kemampuan. Titik tekannya adalah kemampuan intelektual dan bukan jenis kelamin. Karena itu, ketika berbicara tentang puisi, al-Farabi (870-950 M), seorang tokoh filsafat Islam yang beraliran neo-platonis, secara tegas menyatakan bahwa kriteria keunggulan sebuah puisi tidak ditentukan oleh siapa yang menyampaikan, laki-laki atau perempuan, melainkan oleh keindahan susunannya.
Pernyataan tegas al-Farabi tersebut juga dapat dilihat dalam kriteria yang dibuatnya untuk pemimpin negara utama. Menurutnya, seorang pemimpin negara utama harus memiliki 12 sifat, antara lain, sehat jasmani, kesempurnaan intelektual dan suka keilmuan, kemampuan berbicara (orator), bermoral baik, bijak, memahami tradisi dan budaya bangsanya, dan kemampuan melahirkan peraturan yang tepat. Semuanya kriteria mengacu pada hal-hal yang bersifat intelektual dan spiritual. Al-Farabi sama sekali tidak mensyaratkan jenis kelamin tertentu, harus laki-laki seperti dalam kebanyakan fiqh, misalnya.
Kesetaraan laki-laki perempuan dalam khazanah filsafat Islam juga dapat dibuktikan dalam pemikiran Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh yang dikenal sebagai komentator Aristoteles. Ketika mengomentari buku “Republic” karya Plato, di mana Plato menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk imitasi, Ibn Rusyd secara tegas justru menolak statemen tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu sangat menyesatkan. Sebab, menurutnya, perempuan pada kenyataannya bukan hanya makhluk yang sekedar pintar berdandan, melainkan juga mempunyai kemampuan berbicara yang baik dan juga intelektual yang mumpuni.
Meski demikian, ketika berkaitan dengan hukum fiqh, Ibn Rusyd memang sangat berhati-hati dan tidak memberikan tanggapan secara tegas. Dalam kasus imamah shalat bagi perempuan, misalnya, Ibn Rusyd tidak memberi hukum karena baginya hal itu tidak ada aturannya dalam nash. Begitu pula dalam soal jabatan sebagai hakim bagi peremuan. Meski demikian, Ibn Rusyd masih menjelaskan adanya pendapat-pendapat lain yang memperolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki dan menjadi hakim. Al-Thabari (836- 922 M) adalah tokoh yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim dan imam shalat bagi makmum laki-laki. Artinya, perempuan sesungguhnya tidak ditempatkan sebagai sub-ordinat laki-laki dalam fiqh Ibn Rusyd.
Penilain atas perempuan yang tidak didasarkan atas jenis kelamin melainkan pada kemampuan intelektual dan spiritual seperti di atas tidak hanya dalam pemikiran al-Farabi maupun Ibn Rusyd. Ibn Sina (980-1037 M), salah seorang pemikir illuminatif Islam, juga menyatakan demikian.

Perspektif Tasawuf.
Relasi laki-laki perempuan juga tampak adil dan setara dalam perspektif tasawuf. Hal ini disebabkan ajaran utama sufisme adalah kebersihan hati dalam upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan. Persoalan utamanya adalah bagaimana mencapai Tuhan sedekat-dekatnya dan bahwa Dia semakin dirindukan dan dicintai. Untuk mencapai tingkat tersebut tidak ada syarat laki-laki, karena masing-masing orang, laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep Ibn Arabi (1165-1240 M) yang kontroversial, yaitu wahdah al-wujud (kesatuan wujud) dan wahdah al-adyan (kesatuan agama). Dalam konsep ini Arabi menyatakan adanya kesatuan Tuhan dengan semesta dan kesatuan agama-agama. Ketika diyakini bahwa tidak ada bedanya Islam dengan agama lain dan bahkan tidak ada jarak antara Tuhan dengan semesta, lalu apa artinya perbedaan laki-laki perempuan?
Lebih jauh, dalam upaya penyatuan diri dengan Tuhan, Ibn Arabi tidak melihat perempuan sebagai sumber maksiat melainkan sebagai sarana mencapai Tuhan. Cinta laki-laki kepada perempuan dan keinginan bersatu dengannya adalah symbol kecintaan dan kerinduan manusia kepada Tuhan dan sebaliknya. Dalam cinta pada perempuan terdapat cinta kepada Tuhan, dan essensi cintanya kepada kepada Tuhan. Dalam sebuah hadis juga diriwayatkan, tiga hal yang menjadi kesenangan Nabi: perempuan, parfum dan shalat.
Tidak adanya strata antara laki-laki dan perempuan dalam sufisme Islam tersebut tidak hanya dalam konsep melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Dalam kisah-kisah sufis, laki-laki bukan mahram secara rutin berkunjung kepada wanita sufi di rumahnya, menemui mereka di berbagai tempat dan berdiskusi tentang masalah spiritual bersama mereka. Begitu pula perempuan mengunjungi laki-laki, duduk bersama mereka dan menyuarakan perasaan batin mereka. Selain itu, perempuan sufi juga mengikuti pertemuan-pertemuan kaum sufis dalam majlis zikr dan mengadakan kegiatan-kegiatan tersebut di rumah mereka yang dihadiri laki-laki.
Kebersamaan mereka dilakukan secara wajar dan tanpa halangan. Fathimah istri Ahmad ibn Khazruya (w. 864 M) dikisahkan sering bertemu dengan Abu Yazid (w. 877 M) dan berdiskusi tentang spiritual dengannya tanpa menggunakan kerudung dan tutup tangan, sehingga perhiasan dan cat kukunya tampak. Suaminya cemburu dan mengecam Fathimah, tetapi Fathimah menjawab bahwa dalam hatinya hanya ada Dia. Namun, menurut Roded, bebasnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan sufi tersebut telah menyebabkan mereka dituduh melakukan tindakan yang tidak pantas dan kebanyakan penulis biografi sufi meragukan apakah pertemuan mereka benar-benar karena persoalan spiritual.

Mengapa Bias Gender?
Pemikiran yang bias gender, sesungguhnya, tidak muncul sejak awal Islam. Semua literature klasik, paling tidak mayoritas, menyebutkan adanya relasi yang seimbang dan serata antara laki-laki dan perempuan. Kenyataan tersebut berlangsung sampai masa tabi`in. Mereka biasa dan dapat bergaul secara wajar dan “bebas”. Namun, pada kekuasaan Bani Umayyah, tepatnya masa pemerintahan al-Walid II (732-34 M), hubungan laki-laki perempuan mulai dipisahkan. Laki-laki ditempat tersendiri dan perempuan tersendiri. Kebijakan tersebut, pada fase berikutnya, ternyata kemudian menggiring pada terpinggirkannya perempuan dan keterkungkungannya. Madzhab-madzhab fiqh (hukum) seperti Malik (716-795 M), Syafii (767-820), Ibn Hanbal (780-855 M) dan para pemikir hukum yang lain yang kebanyakan lahir pasca kebijakan tersebut, secara otomatis tidak dapat lepas dari kondisi yang ada. Keputusan-keputusan yang ditelorkan sedikit banyak pasti akan menopang kebijakan penguasa karena hukum memang diciptakan oleh dan untuk kepentingan penguasa.
Karena itu, pemikiran yang bias gender, lebih banyak –tidak semuanya-- didapati dalam hukum (fiqh) dan tafsir yang berkatan dengan hukum. Sementara itu, dalam kajian filsafat dan tawasuf yang tidak banyak bersentuhan dengan kepentingan penguasa, tampak lebih murni dan bebas dari bias gender. Inilah mestinya yang patut disosialisasikan.


DAFTAR PUSTAKA

AJ. Arberry, “Farabi’s Canons of Poetry” dalam Ralph Lerner, Averroes on Plato’s Republic, (London, Cornell University Press, 1974).
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Logos, 1995),
Farabi, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah al-Fadlilah, (Oxford, Clarendon Press, 1985)
Fariduddin Attar, Warisan Auliyah, (Bandung, Pustaka, 1994)
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta, YJP, 2003)
Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, (Heiderabat, Loknow, 1938)
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, I, (Beirut, Dar al-Fikr, tt),
Kautsar Azhari Nor, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta, Paramadina, 1995).
M. Kamil, Ibn Sina Hayatuh Atsaruh wa Falsafatuh, (Beirut, Dar al-Ilmiyah, 1991).
Ruth Roded, Kembang Peradaban, (Bandung, Mizan, 1995)
Said Aqil Siraj, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam” dalam Shafia Hasyim (ed), Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, (Surabaya, Intervisi, tt)

Pernah disampaikan dalam acara Kuliah Gender di Pusat Studi Gender UIN Malang, 17 Januari 2004. Untuk melihat artikel ini secara lengkap, klik disini. Tulisan lain tentang gender dalam perspektif Hindu, klik disini.

8 komentar:

Remus-Adrian M. Sabtu, Desember 27, 2008  

Please enter on http://VideoclipManele.blogspot.com Thank you very much from Romania [Europe]!

Bahauddin Amyasi Senin, Desember 29, 2008  

Postingan kali ini saya piir sangat berbobot sekali, Pak.Jarang ada kajian tentang Gender dari kacamata Tasawwuf...

Saya hanya ingin mengpmentari pemikiran Ibnu Arabi tentang Wahdatul Adyan (kesatuan Agama), sebagaimana Bapak kutip pada postingan di atas. Benarkah Ibnu Arabi berpendapat demikian?

Sejauh literatur yang saya baca, Wacana pluralisme agama, yang secara sederhana menolak klaim kebenaran satu agama tertentu, biasanya dihubungkan dengan wacana kesatuan transendental agama-agama (KTAA/transcendent unity of religions) rumusan Fritchof Schuon. Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Gagasan itu mulanya distematisasikan oleh Schuon kemudian diamini oleh para sarjana lintas agama, dan kini telah memberi nuansa baru dalam dialog antar agama.
Mereka juga membagi konsep syahadah kepada dua level realitas: yaitu Absolut dan relatif. Shahadah pertama adalah absolut dan yang ke kedua adalah relatif. Muhammad saw. adalah Rasul (perantara, manifestasi, simbol) relatif terhadap Absolut. (Fritchof Schuon, Understanding Islam (Great Britain: George Allen & Unwin 1963). Pembagian kepada dua level realitas ini di klaim dapat ditemukan dalam konsep wahdat al-wujud yang dipelopori oleh Ibn Arabi dan kemudian diformulasikan oleh pengikut-pengikutnya. Apakah betul Ibn Arabi meyakini gagasan KTAA sebagaimana yang di klaim oleh para pembela KTAA?

Saya tunggu postingan Anda berikutnya, Pak...

Note :

Saya baru sadar, bahwa Anda ternyata Pak Khudari Soleh Penulis buku Wacana Baru Filsafat Islam, dengan kata pengantar Prof. Amin Abdullah, Rektor UIN Suka. Jujur, buku tersebut adalah buku favorit saya dalam belajar Filsafat Islam, meski saya sendiri tidak memilikinya, hanya pinjam ke teman.

Beberapa hari yang lalu, saya memakai buku Anda sebagai rerferensi tentang polemik para Filsuf Islam, pada waktu ngisi kajian mingguan di Lingkar Mahsiswa Pamekasan-Surabaya.

Salam ....

Koero Mkundi Selasa, Desember 30, 2008  

Shalom Khudori.
Unfortunately I dont speak your language.
But I am sure you will be one of member in my Blog.
You are welcome

hamidreza Selasa, Desember 30, 2008  

salam
how are you /
i cant understand ur language. just i could read and understand was about gazali mohamad and abohamed gazali that u are wrote.
gazali is a biggest philosopher in iran . first he was in incredulity ism m

Bwaya Rabu, Desember 31, 2008  

Salam

I cant read your language. I am a philosophy student. I love the art of questioning matters.

Please welcome at my blog too though I think you wont be able to read.

بحـــر الدموع Rabu, Desember 31, 2008  

يا حي يا قيوم برحمتك نستغيث
يا واحد يا احد يا فرد يا صمد
اللهم كن مع اهل غــزة ، اللهم فرج همهم
اللهم عليك بمن ظلمهم من اليهود واعوانهم من العرب
اللهم ايقظ الضمائر الميتة من امتنا
اللهم انت حسبنا ونعم الوكيل
ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم

اخرجوا ايها المسلمين اخرجوا من بيوتكم اهتفوا كفى ظلما كفى قتلاً لاهل غزة ، اخرجوا وأشعروا اهل غزة انكم تقفون معهم ، ولو بالكلمة ..
اخرجوا بارك الله فيكم
لا تنسوا اخوانكم في غزة من دعائكم

||..بحــر الدموع..||

Fita Lutonja Sabtu, Januari 03, 2009  

I don't know your language but i am very interested with your page web, my professional is broadcasting journalism as now I am a radio presenter at one radio station in Dar city

Rana Al Sha'bani Selasa, Januari 06, 2009  

thanx for passing by my blog.. nice to meet you

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP