Jumat, Agustus 28, 2009

the Art & Beautiful Concept of M Iqbal

Konsep Seni & Keindahan M. Iqbal
Oleh: A Khudori Soleh
Seni (art) biasanya dimaksudkan untuk menunjuk pada semua perbuatan yang dilakukan atas dasar dan mengacu pada apa yang indah (Lorens Bagus, 1995, 987). Secara umum, ada dua pemikiran atau aliran berkaitan dengan seni ini. Pertama, fungsional. Yaitu, bahwa seni harus mempunyai fungsi dan tujuan-tujuan tertentu yang umumnya berkaitan dengan moral. Aliran ini dipelopori oleh antara lain, Plato, Aristoteles, Bernard Shaw, Saint Augustine dan tokoh psikologi Freud. Menurut Freud, mirip dengan Aristoteles, tujuan seni adalah untuk membebaskan pikiran sang seniman atau penikmat seni dari ketegangan dengan terpuaskannya keinginan-keinginan yang tertahan (Abd Wahab Azzam, 1985, 135).
Kedua, ekspresional, yakni suatu pemikiran yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar tujuan di luar dirinya, kecuali tujuan dalam dirinya sendiri. Slogannya yang terkenal adalah ‘seni untuk seni’ (l’art pour l’art). Maksudnya, seni bersifat otonom, mempunyai daerah sendiri dan kelengkapan sendiri, tidak tergantung pada daerah lain. Gerakan yang merupakan warisan kaum Romantisisme ini, di Perancis dipelopori oleh Flaubert, Gauter dan Baudelaire, di Inggris oleh Walter Peter dan Oscar Wilde, di Rusia oleh Pushkin, dan di Amerika oleh Edgar Allan Poe (Syarif, 1993, 114).
Iqbal mempunyai pandangan tersendiri tentang seni dan keindahan, dengan muatan-muatan vitalitasme dan fungsional, sehingga menjadi hidup serta penuh semangat perjuangan.

A. Tentang Seni.
Dalam pemikiran filsafat Iqbal, pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan (Saiyidain, 1938, 36). Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut (Syarif, 1993, 99).
Berdasarkan konsep kepribadian seperti itu, dalam pandangan Iqbal, kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal— harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap) (ibid, 133). Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam.
Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta (Ibid, 121; Eva Meyerovich, dalam Iqbal, Javid Namah, xix.). Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata (Iqbal, 1981, 158).
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan (Ali Mudhaffir, 1988, 100; Lorens Bagus, 1995, 1159; Tim Penulis Rosda, 1995, 365-6.). Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi ‘saingan’ Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan (Azzam, 1985, 68-70; Iqbal, 1987, 8). Mari kita lihat syairnya.

Tuhan menciptakan dunia dan
Manusia membuatnya lebih indah
Apakah manusia ditaqdirkan
Untuk menjadi saingan Tuhan?
Kau ciptakan malam, aku ciptakan lentera
Kau ciptakan lempung, aku ciptakan cawan
Kau ciptakan padang pasir, gunung dan rimba
Aku ciptakan kebun, taman dan hutan buatan
Akulah yang membuat batu menjadi cermin
Akulah yang merubah racun menjadi obat
Kebesaran manusia terletak pada daya ciptanya
Bulan dan bintang hanya mengulang
Kewajiban yang ditetapkan atasnya
(Claude Maitre, 1989, 32).

Kedua, berkaitan dengan pertama, kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’ (Azzam, 1985, 141). Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian terhadap seni Timur yang meniru seni Barat.

Di negeri ini berjangkit kematian imaginasi
Karena seni asing dan mengikuti Barat
Kulihat awan kelabu dan Behzad masaku
Merombak dunia Timur yang kemilau nan abadi
O, para seni di Timur
Usai sudah kreasi masa kini dan masa lalu
Berapa banyak kreasi tercipta
Tunjukkan pada kami pribadi
Pada semua bidang membumbung tinggi
(Azzam, 1985, 143)

Dalam syairnya yang lain, Iqbal menyatakan,

Adalah menyakitkan seorang merdeka
Hidup dalam dunia ciptaan orang lain
Ia yang kehilangan daya cipta
Bagi-Ku tidak punya arti apa-apa
Selain pembangkang dan penyebal
Tak diperkenankan ambil bagian dalam keindahan-Ku.
Ia tak memetik sebijipun buah kurma kehidupan
Pahatlah lagi bingkaimu yang lama
Bangunlah wujud yang baru
Wujud seperti itu adalah wujud sebenarnya
Atau jika tidak demikian
Egomu hanyalah gumpalan asap belaka
(Claude Maitre, 1989, 34.)

Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman (Syarif, 1993, 131).
Dengan pernyataan seperti ini, mengikuti Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, (1) bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis, (2) bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif. (3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman, (4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap (ibid, 131).
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni –betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat (ibid, 133). Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional.

B. Fungsi-Fungsi Seni.
Karena juga mengikuti paham fungsional, Iqbal memberikan rambu-rambu tertentu yang mesti dicapai dalam seni. Pertama, seni harus menciptakan kerinduan pada hidup abadi, karena tujuan utama seni adalah hidup itu sendiri. Sedemikian, sehingga seni bisa meneruskan tujuan Tuhan, sebagaimana Jibril menyampaikan berita Hari pembalasan. Seni adalah sarana yang sangat berharga bagi prestasi kehidupan, sehingga ia harus memelihara ladang kehidupan agar tetap hijau dan memberi petunjuk kehidupan abadi pada kemanusiaan (ibid, 127).
Kedua, pembinaan manusia. Seniman harus memompakan semangat kejantanan dan keberanian ke dalam hati orang yang berhati ayam dan menciptakan kerinduan ke dalam hati manusia tentang tujuan-tujuan baru dan ideal. Karena itu, seni harus mengandung tujuan etis dan instruksional. Daya magis seni harus digunakan untuk menghasilkan warga negara yang baik. Musik, misalnya, harus dapat menimbulkan semangat juang dan mendorong keberanian serta mengilhami perbuatan yang gagah berani, atau membuat manusia berlaku sederhana, teratur, adil dan menghormati Tuhan. Adapun sifat menyenangkan dari seni tidak lain hanya sekedar pelengkap akal sehat yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (ibid, 127).

Tujuan seni dalam kehidupan adalah obor abadi
Apa arti percikan api sekejap?
Apa arti intan permata, jika kalbu-kalbu
Sang penyelam tersentuh tidak
Apa arti angin pagi dalam sajak dan melodi
Jika putik bunga layu karenanya
Dengan dayanya yang kuat ia akan jaya
Tanpa pukulan Musa ia kan menjadi buta
(Azzam, 1985, 140)

Dalam kaitan ini, Plato sepenuhnya mencela Homerus dan Hesoid karena puisi-puisinya didasarkan atas legenda-legenda bohong, sehingga menyajikan ideal-ideal yang tidak benar kepada para pemuda, yang berarti pula merusak moral mereka. Tolstoy juga mengutuk seni dekaden Prancis karena lebih mengungkapkan pandangan kelas penguasa yang dekaden dan memenuhi nafsu kaum kaya yang bobrok (Syarif, 1993, 126.). Iqbal mencela seni dekaden dan tidak membangun seperti itu. Baginya, seorang seniman lebih baik diam daripada menyanyi dengan nada-nada sedih, pilu dan putus asa.

Di bawah matahari kau berjalan bagai percikan api
Peringkat-peringkat wujud kau tak tahu
Jika pada pribadi senimu tidak membangun
Celakalah seni lukis dan lagumu itu !
(Azzam, 1985, 140)

Ketiga, membuat kemajuan sosial. Seorang seniman, menurut Iqbal, adalah mata bangsa, bahkan ia adalah nurani terdalam suatu bangsa. Dengan kekuatan kenabian, seniman dapat meninggikan bangsa dan mengantarkannya ke arah kebesaran demi kebesaran yang lebih tinggi. Apalah arti karya seni jika tidak dapat membangkitkan badai emosional dalam masyarakat? (Syarif, 1993, 128).

Itulah seniman yang menyempurnakan semesta
Dan dibeberkannya rahasia-rahasia pada kita
Bidadarinya lebih indah dibanding bidadari surga
Siapa yang mengingkari arca-arcanya
Ingkar dirilah ia . (Azzam, 1985,142)

C. Penutup.
Ada dua teori yang dikenal dalam diskursus estetika: subjektif dan objektif. Estetika subjektif adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa apa yang disebut seni dan keindahan ditentukan oleh pihak penanggap, subjek yang melihat, karena pengaruh emosi, empati atau yang lain terhadap sebuah objek. Dengan kata lain, seperti ditulis George Santayana (1863-1952 M), seni dan indah adalah perasaan nikmat atau suka dari subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik objek. Artinya, apa yang disebut seni dan indah sangat subjektif (Laouis Kattsoff, 1992, 386-88.). Teori ini antara lain diberikan oleh Robert Vischer, Lipps, Volkelt, Schiller, Herbert Spencer, Karl Groos, Konkad Lange dan Croce.
Kebalikannya adalah teori objektif, bahwa seni dan keindahan terletak pada kualitas objek, yaitu pada tenaga yang hidup di dalamnya lepas dari pengaruh subjek yang menanggap. Teori ini, antara lain, diberikan Thomas Aquinas dan Jacques Maritain. Menurutnya, keindahan adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan parasaan enak dan senang pada subjek. Keindahan bersifat objektif.
Menurut Syarif (Syarif, 1993, 99), teori estetika Iqbal masuk dalam kategori kedua, objektif, karena konsep seni dan keindahan di dasarkan atas kualitas objek yang tercipta sebagai hasil ekspresi citra kreatif ego. Untuk memperoleh keindahan, ego tidak berhutang pada jiwa penanggap, subjek, melainkan pada tenaga-kehidupannya sendiri. Meski demikian, ekspresi-ekspresi ini tidak bersifat liar dan tanpa tujuan, melainkan harus mengandung makna dan maksud-maksud tertentu, antara lain untuk membangkitkan semangat vitalitas dan dinamisme kehidupan, juga dapat memberi petunjuk tentang kehidupan abadi bagi kemanusiaan. Karya seni yang tidak mengandung nilai dan maksud seperti itu tidak bisa dianggap sebagai karya seni sejati. Ia tidak lebih dari api yang telah padam. Dengan demikian, gagasan seni dan keindahan Iqbal tidak hanya bersifat ekspresif tetapi sekaligus juga fungsional dan vitalistik.
Berkaitan dengan ekspresi ego, ada hal yang patut dipersoalkan. Jika keindahan dan seni harus merupakan ekpsresi kehidupan ego dan hidup itu sendiri terdapat pada setiap sesuatu, mengapa tidak semua tampak indah? Mengapa tindakan pembunuh sadis yang merupakan ekspresi egonya tidak lebih indah dibanding bayi yang sedang tidur? Mengapa cahaya pelangi tampak indah sedang pijar listrik tidak? Mengapa kupu-kupu yang sudah mati sekalipun tampak indah sedang kerbau peliharaan tidak? Sebagaimana disampaikan Syarif, teori keindahan dan seni Iqbal tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas secara memuaskan. Di sinilah kekurangan Iqbal sekaligus tugas kita meneruskannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abd Vahid, Sisi Manusia Iqbal, terj. Ihsan Ali Fauzi & Nurul Agustina, (Bandung, Mizan, 1992)
Abd Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Rafi Utsman, (Bndung, Pustaka, 1985)
Ali Audah, “M. Iqbal, Sebuah pengantar” dalam Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah, (Jakarta, Tintamas, 1966)
Ali Mudhaffir, Kamus Teori & Aliran dalam Filsafat, (Yogya, Liberty, 1988)
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal, (Leiden, Brill, 1965)
Bilgrami, Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya, terj. Djohan Effendi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Biruni, Makers of Pakistan and Modern Muslim India, (Lahore, Ashraf, 1950)
Dagobert De Runes (ed), Dictionary of Philosophy, (New Jersey, Adam & Co, 1976)
Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, (Yogya, Pustaka Pelajar, 1996)
Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, (Jakarta, Panji Mas, 1987)
Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi, Kitab Bhavan. 1981)
Laouis Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Sumargono, (Yogya, Tiara Wacana, 1992)
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996)
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi, (Bandung, Mizan, 1989)
Mian M. Tufail, Iqbal’s Philosophy and Education, (Lahore, The Bazm Iqbal, 1966)
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India & Pakistan, (Bandung, Mizan, 1998)
Munawar, Dimension of Iqbal, (Lahore, Iqbal Academy Pakistan, 1986)
Pattiroy, Pemikiran Filsafat M. Iqbal, (Yogya, Tesis IAIN Su-Ka, 1998)
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Baiquni, (Bandung, Mizan, 200)
Saiyidain, Iqbal`s Educational Philosophy, (Lahore, Arafat Publication, 1938)
Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil, (Bandug, Mizan, 1993)
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung, Rosda, 1995)

Untuk melihat artikel ini secara lengkap, klik disini

2 komentar:

NURA Sabtu, Agustus 29, 2009  

salam sobat
nice post
saya setuju dengan "seni harus mempunyai fungsi dan tujuan tertentu serta bermoral"

salam kenal ya dari NURA

sahabat Sabtu, Agustus 29, 2009  

wah mantap informasinya...

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP