Selasa, September 01, 2009

Tax, Tithe and Social Control

PAJAK, ZAKAT DAN KONTROL SOSIAL
Oleh: A. Khudori Soleh
Bahwa Islam merupakan ajaran yang utuh dan tidak mengenal dikhotomi antara dunia-akherat dan dikhotomi agama-negara, diakui oleh semua fihak. Tidak ada satupun masyarakat muslim yang menolak konsepsi tersebut. Mereka bahkan berjuang mati-matian untuk membela dan melegitimasikan konsep ini dari serangan luar. Akan tetapi, pada waktu yang bersamaaan, yakni dalam persoalan zakat dan pajak, sadar atau tidak, mereka ternyata justru terjebak dalam apa yang mereka tolak ini. Mereka justru melegitimasikan tentang pikiran sekuler; memisahkan ajaran Islam dari tata kenegaraan dan kemasyarakatan, yang dalam hal ini adalah tentang zakat dan pajak. Zakat difahami semata-mata hanya sebagai perintah dan missi keagamaan sedang pajak adalah urusan negara, urusan dunia yang tidak ada sangkut pautnya dengan keagamaan.
Karena itu, Prof. Majfuk Zuhdi (alm), misalnya, pernah menyatakan bahwa seorang muslim masih tetap wajib membayar zakat walau mereka telah membayar pajak. Sebab, antara keduanya mempunyai dasar, tujuan, missi, dan sasaran yang berbeda.
Masalahnya sekarang, bila pemikiran seperti itu yang kita fahami, maka apakah bedanya konsep tersebut dengan ajaran Injil (Lukas 20; 25), "Berikan kepada Kaisar (negara, penguasa) apa yang menjadi haknya (pajak) dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya (zakat)?" Apakah Islam sebagai agama kaffah mengenal dan mengajarkan konsep dikhotomi antara agama dan negera seperti itu?

Zakat dan Pajak.
Zakat dan pajak, sesungguhnya, bukan dua hal yang bertentangan. Sebaliknya, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dalam al-Qur’an dikatakan, "Ambillah dari harta mereka (yang mampu) sedekah..." (QS. al-Taubat, 103). Pertanyaannya, apakah “sedekah” yang diambil dari fihak pemerintah --yang menurut sebagian ulama bisa dilakukan dengan jalan kekerasan-- terhadap mereka yang mampu? Itulah yang sekarang dikenal dengan istilah pajak.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti pajak lantas sama dengan zakat. Tidak. Dalam al-Qur’an, Allah memberikan istilah yang berbeda dalam masalah ini. Ketika menyinggung soal materinya (uang atau wujud hartanya) yang mesti ditarik oleh fihak penguasa sebagai amil dari para orang kaya, Allah menyebut dengan istilah “sadaqah”, sedang ketika ditujukan kepada muzakkinya (orang yang membayar), Allah menyebut dengan istilah “zakat” (pembersihan). Ini berarti zakat sebenarnya lebih merupakan spirit atau masalah moral bagi para pelakunya, sedang pajak yang diurusi amil atau pemerintah adalah sebagai lembaganya. Atau menurut istilah Masdar F. Mas’udi, zakat adalah jiwanya sedang pajak merupakan raganya.

Kontrol Sosial.
Sulitnya penarikan zakat dari masyarakat muslim selama ini, jika kita amati, adalah karena kurang baiknya manajemen organisasi zakat disamping kurang adanya kepercayaan dan kesadaran masyarakat untuk mengeluarkannya. Selama ini, zakat hanya dikelola secara amatiran, oleh kelompok-kelompok BAZIS di daerah atau di desa-desa. Panitia biasanya hanya ‘ongkang-ongkang’ kaki sambil menunggu para muzakki yang mengantarkan zakat atau sedekahnya. Mereka tidak terjun langsung ke rumah-rumah untuk menariknya, sehingga hasilnyapun tidak memadai. Kenyataan tersebut diperparah dengan banyaknya susunan panitia yang ternyata kemudian meminta bagian dari hasil kumpulan zakat atas nama amil. Padahal, yang benar-benar bekerja (amil) dalam kepanitian sebenarnya tidak lebih dari empat atau lima orang. Sedemikian, sehingga bagian untuk para amil siluman tersebut nyaris menghabiskan separoh dari total pengumpulan zakat. Baru sisanya kemudian dibagi kepada para fakir miskin.
Pengelolan zakat yang dilakukan secara amatiran dan --maaf-- lebih banyak untuk kemakmuran amil-amilnya ini, akhirnya menimbulkan kekurang-percayaan masyarakat terhadap panitia. Akibatnya, mereka menjadi enggan dan malas menyetorkan zakat kepada para amil atau panitia. Sebaliknya, langsung diberikan kepada mereka yang berhak; panti asuhan, fakir miskin dan lainya. Pemberian zakat langsung dari muzakki kepada mustahiq (yang berhak) seperti itu memang ada baiknya. Akan tetapi, pendistribusian zakat akhirnya menjadi tidak merata dan adil. Bisa jadi lembaga panti asuhan yang sudah mapan --dan terkenal-- mendapat zakat yang sangat sangat banyak, sedang panti yang lain yang sebenarnya lebih membutuhkan hanya mendapat pemberian sedikit atau bahkan malah tidak mendapat sama sekali.
Dengan pemahaman bahwa hubungan antara zakat dan pajak adalah seperti jiwa dan raganya, maka kesulitan-kesulitan dalam soal penarikan dan pendistribusian kekayaan zakat seperti yang dialami selama ini, kiranya tidak akan terjadi. Sebaliknya, perintah membayar zakat justru akan semakin mudah direalisasikan dan disalurkan. Lebih lanjut, pemahaman seperti ini akan mendorong konsep zakat tidak hanya sekedar pemberian harta dari muzakki kepada si fakir. Sebaliknya, moral zakat yang direalisasikan lewat pajak yang dalam hal ini dikelola oleh penguasa sebagai amil akan berubah menjadi sebuah konsep besar yang tidak hanya mencakup dan mengubah tata hati muzakki, tetapi juga akan mengubah seluruh tata kehidupan masyarakat dan bangsa.
Pertama, pelaksanaan pajak yang didasari moral zakat, tidaklah kita bayarkan demi keuntungan pemerintah atau pribadi penguasa. Sebab, dalam ajaran Islam, penguasa sama sekali tidak berhak memaksa rakyat untuk membayar pajak demi kepentingan dan keuntungan pribadinya. Yang berhak memaksa kita untuk membayar zakat hanyalah Tuhan. Sebab, rizki yang kita peroleh adalah memang dari anugerah-Nya. "Apakah mereka belum juga mengerti bahwa Allah sajalah yang berhak menerima taubat hamba-Nya (bukan pendeta atau kyai) dan yang berhak memungut pajaknya (bukan penguasa)?". (QS. al-Taubat, 104).
Dengan demikian, sesuai dengan moral zakat, pajak yang kita bayarkan bukanlah untuk kepentingan negara yang seringkali berarti untuk kepentingan --oknum-- penguasanya. Sebaliknya, semua itu kita lakukan semata-mata sebagai realisasi ibadah kepada Allah, demi keadilan dan kemaslahatan kaum miskin atau prasejahtera, tanpa membedakan warna kulit dan agama. "Sesunggguhnya, harta zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil, muallaf...." (QS. al-Taubah, 60).
Kedua, dalam pengelolaan pajak, posisi pemerintah bukan sebagai penguasa yang memiliki hasil pajak. Pemerintah hanya bertindak sebagai amil, pekerja atau pengatur distribusi zakat (pajak). Tidak lebih dari itu. Karena itu, dalam pendistribusian pajak, fihak penguasa tidak bisa melakukan itu demi keuntungan golongan, partai, kelompok atau keluarga dan anak cucunya sendiri. Sebaliknya, mereka harus mentasarufkan hasil pajak tersebut sesuai dengan aturan dan kehendak pemilik yang sesungguhnya, Tuhan.
Hal tersebut jelas berbeda dengan konsep pajak yang ada selama ini. Secara historis, pajak merupakan milik dan untuk kepentingan penguasa. Raja-raja dan para kaisar dahulu menarik pajak dari rakyatnya demi keuntungan pribadinya. Itu sebagai imbalan atau uang sewa atas keberadaan mereka yang menetap dalam wilayah kekuasaan sang raja. Sedemikian, sehingga saat ini, korupsi, penyelewengan, penggelapan dana proyek atau yang lain yang diambil oleh --oknum-- penguasa dari dana rakyat bukan merupakan “kesalahan”. Itu adalah haknya.
Di sisi lain, dari segi bahwa negara hanya bertindak sebagai amil dalam pengelolaan pajak (zakat), maka muzakki (masyarakat) sebagai pemberi mandat, juga rakyat kecil sebagai mustahiq (penerima) utama zakat, mempunyai hak dan kekuasaan untuk mengontrol kerja penguasa. Mereka (rakyat) punya keberdayaan dalam menentukan sikap, sehingga semboyan bahwa kekuasaan, pembangunan dan keadilan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat benar-benar bisa diwujudkan.
Jelas ini merupakan konsep besar dari moral pelaksanaan zakat. Rakyat punya kekuasaan dan hak untuk menentukan dan mengontrol kerja penguasa. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang terjadi selama ini, di mana negara dan pemegang kekuasaan yang menentukan dan mengatur kehidupan masyarakat. Penguasa --yang sebenarnya abdi masyarakat-- berubah menjadi raja yang harus disembah dan dilayani, sedang rakyat --yang mestinya harus diopeni— justru menjadi tidak lebih dari budak dan binatang piaraan yang harus selalu siap untuk dikendalikan dan diarahkan kemana tuan suka.
Ketiga, prosentase pajak tidak bisa seenaknya saja ditentukan oleh negara yang dalam hal ini hanya bertindak sebagai amil. Tetapi, harus didasarkan atas ketentuan pemiliknya: Tuhan, dan Tuhan sendiri, melalui rasul-Nya Muhammad SAW, telah menentukan bahwa prosentase zakat berkisar antara 2,5%-20% berdasar atas tingkat kemampuan dan kesulitan muzakki. Sedemikian, sehingga dengan demikian, tidak akan terjadi punggutan pajak sampai 35% atau bahkan 300%, yang mana hasilnya ternyata juga tidak sampai merembes kepada rakyat karena hilang masuk dalam kantong-kantong saku --oknum— penguasa [.]

Pernah dimuat dalam buletin Jum'at al-Huda, PP. Miftahul Hida, Gading Pesantren, Malang, 4 Juni 2004. Untuk tulisan-tulisan dalam document scribd, klik disini.

2 komentar:

ricky Kamis, September 03, 2009  

Ass.. mampir pak, artikel nya sangat bermanfaat

Fulan Minggu, September 13, 2009  

Andaikan orang Indonesia yang mengaku muslim taat mengeluarkan zakat, tentunya negara ini akan menjadi negara yang sangat makmur. Alih2 berzakat, ketamakan membuat orang semakin haus untuk mencari obyekan yang bisa dikorupsi. Smua ini adalah kesalahan dunia pendidikan dan sistem hukum di Indonesia yang menganut paham sekuler

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP