Contemporary of Islamic Thought
Pemikiran Islam Kontemporer
Pengantar Utk Buku "PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER"
Editor: A Khudori Soleh
Oleh: Prof. Dr. H. R. Mulyadhi Kartanegara
Tidak seperti yang sering dibayangkan, pemikiran Islam sebenarnya tidak berhenti setelah al-Gazali (w. 1111) mengkritik filsafat. Filsafat Islam terus berkembang jauh setelah masa Gazali, terutama di dunia Syi’ah. Maka, kita kemudian tahu bahwa dari abad ke abad pemikiran filosofis Islam terus berkembang, bahkan hingga saat ini. Oleh karena itu, hampir di setiap abad, dunia Islam sebenarnya memiliki pemikir atau filsuf besar Muslim. Satu abad setelah al-Gazali, kita mengenal seorang filsuf Muslim Syi’ah yang terkenal, Syihab ad-Din Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191), yang dikenal sebagai Syekh al-Isyraq, karena ialah pendiri mazhab filsafat Isyraqi (iluminasi). Filsuf yang dikenal dengan karya utamanya Hikmah al-Isyrâq ini, justru baru memulai sebuah tradisi filosofis baru, dengan mendapat pengikut yang cukup signifikan, ketika para ahli filsafat Islam di Barat menyatakan berakhirnya filsafat Islam dengan wafatnya Ibn Rusyd (w. 1196).
Abad berikutnya, kita juga mengenal seorang filsuf Muslim Syi’ah lainnya, yaitu Nashir ad-Din Thusi (w. 1274), seorang astronom Muslim yang terkenal sebagai pendiri observatorium di Maraghah, atas dukungan penguasa Mongol. Melalui beberapa komentarnya terhadap karya Ibnu Sina, khususnya al-Isyârât wa at-Tanbihât, Thusi mencoba menghidupkan kembali filsafat peripatetik Avicenian, setelah mendapat gempuran hebat dari al-Ghazali dan Fakhr ad-Din ar-Razi (w. 1207). Ia juga adalah pengarang buku etika yang terkenal, The Nasirean Ethics.
Pemikir lain yang lebih muda daripada Nashir ad-Din Thusi adalah Quthb ad-Din Syirazi (w. 1311), yang mengadakan pengkajian filsafat yang sangat intensif dalam bukunya, Durrat ad-Dubaj setebal 25.000 halaman. Di samping dikenal sebagai seorang filsuf dengan kecenderungan iluminasionis (melalui komentarnya terhadap Hikmah al-Isyrâq), ia juga adalah seorang astronom agung yang cukup terkenal dengan karyanya Nihâyah al-Idrâk.
Pada abad ke-14 sampai abad ke-16 dan awal tujuh belas Masehi, dunia Islam menyaksikan pelbagai pemikir handal filsafat Islam, seperti al-‘Amuli (w. 1385), Ibn Turkah (w. 1432), dan Jalal ad-Din ad-Dawwani (w. 1503) yang dipandang sebagai perintis awal dari sebuah mazhab filosofis, “The School of Isfahan”, yang didirikan oleh Muhammad Baqr Astarabadi, yang lebih dikenal dengan nama Mir Damad (w. 1631). Dia adalah guru dari Sadr ad-Din asy-Syirazi atau Mulla Shadra (w. 1642), dan dikenal juga sebagai “al-Muallim Tsalits” (Guru Ketiga), setelah Aristoteles (w. 322 S.M) dan al-Farabi (w. 950). Tentu saja filsuf terbesar pasca-Ibn Rusyd adalah Mulla Shadra, yang telah berhasil mensintesiskan tiga aliran besar pemikiran Islam, peripatetic, ilmuminasionis dan mistik (khususnya Ibn ‘Arabi dan Jalal ad-Din Rumi). Mulla Shadra bahkan dikatakan telah mendirikan mazhab tersendiri sebagai konsekuensi sintesisnya itu yang biasanya disebut teosofi transenden (al-hikmah al-muta’âliyyah), sebuah mazhab pemikiran yang terus dikembangkan oleh para pengikutnya, terutama Lahiji dan Kasyani pada masa berikutnya.
Demikian juga pada abad ke-18 dan ke-19 masih saja bermunculan tokoh-tokoh besar filsafat di bumi Iran, seperti Ahmad al-Ahsha’ri (w. 1820) dan Mulla Hadi Sabzawari (1873). Nah, melalui murid Sabzawari, yang bernama Mizra Ali Akbar Yazdi inilah tradisi intelektual Islam diantar ke abad ke-20, karena Ali Akbar Yazdi, tak lain dari salah seorang guru Imam Ayatullah Khomaini. Sedangkan Khomaini, pada gilirannya, adalah guru dari beberapa pemikir Iran kontemporer seperti Murtadha Muthahhari (w. 1979), dan Mehdi Ha’iri Yazdi. Selain tokoh-tokoh yang baru saya sebutkan tadi, kita juga mengenal bebarapa filsuf besar Muslim Syi’ah kontemporer, seperti Tabataba’i, Jalal ad-Din Asytiyani, Baqir Shadr, dan lain-lain.
Akan tetapi dalam kasus ini kita sebenarnya baru mengenal tokoh-tokoh tersebut secara global saja. Sekalipun kita punya akses yang cukup baik terhadap karya-karya dari para pemikir besar, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Mulla Shadra, dan lain-lain, tetapi tidak terhadap para filsuf “minor” lain, misalnya para filsof pasca-Ibn Rusyd, karena yang kita ketahui tentang mereka barulah daftar nama dan daftar karya mereka saja. Karya-karya itu sendiri sulit kita akses, bisa karena mereka masih berupa manuskrip, atau, ketika telah diterbitkan, tidak diedarkan secara internasional, sehingga tetap saja kita tertutup terhadap khazanah yang kaya tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang pemikiran para filsuf pasca-Ibn Rusyd ini sangatlah superfisial. Kita masih membutuhkan buku-buku pengantar yang bermutu tentang para pemikir Muslim pasca-Ibn Rusyd, seperti yang, misalnya, ditulis oleh Henry Corbin, History of Islamic Philosophy. Karya ini membahas secara cukup ekstensif pada filsuf pasca-Ibn Rusyd tersebut.
Demikianlah keadaannya, semakin modern periode yang kita bahas, kita semakin menemukan kesulitan mengakses pemikiran-pemikiran mereka. Untuk mengetahui para pemikir Muslim pasca-Ibn Rusyd saja, sudah cukup sulit, apalagi ide-ide dari para pemikir Muslim kontemporer. Bahkan buku Corbin itu saja hanya secara minim, kalau tidak dikatakan tidak sama sekali, menyinggung ajaran-ajaran para pemikir Muslim kontemporer. Lebih-lebih kalau diingat bahwa Corbin hanya memfokuskan perhatiannya pada para pemikir atau filsuf Iran atau Syi’ah saja.
Itulah sebabnya, ketika saya diminta untuk mengajar Pemikiran Islam Kontemporer oleh Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI), saya sempat dibuat bingung, karena sumber tentang itu belum terdokumentasi dengan baik dalam sebuah karya yang sistematis. Dalam buku monumentalnya, History of Islamic Philosophy, Majid Fakhry hanya menyinggung beberapa tokoh Arab sebagai pemikir atau filsuf Muslim kontemporer Arab, dan yang paling menonjol di antaranya adalah ’Abd ar-Rahman Badawi, yang dijuluki sebagai filsuf eksistensialis Muslim kontemporer, di samping beberapa pemikir Kristen Lebanon. Dalam bukunya yang lebih kecil, yang ditulis lebih dari 15 tahun kemudian, A Short History of Islamic Philosophy, ia memasukkan Naquib Alatas, sebagai filsuf Muslim kontemporer lainnya. Akan tetapi tetap saja karya utuh, yang diabadikan untuk membahas pemikiran kontemporer Islam, masih boleh dikatakan belum ada.
Ketiadaan karya seperti itu tentu saja tidak mengindikasikan bahwa dunia Islam tidak memiliki pemikir-pemikir kontemporernya. Karena kita misalnya telah mengenal secara sepintas nama-nama para pemikir Muslim kontemporer. Tetapi kita baru mengenal pemikiran mereka lewat sebagian kecil karya-karya yang mereka tulis. Kendala untuk memahami pemikir kontemporer Muslim kontemporer ini sebagian bersifat linguistik. Untuk para pemikir kontemporer Iran, misalnya, kendala itu terjadi karena pada umumnya mereka menulis dalam bahasa Persia, sebuah bahasa yang masih sangat asing bagi sebagian besar kita. Tidak terlalu banyak pemikir Iran kontemporer yang menulis dalam bahasa Inggris atau Arab, kecuali tokoh-tokoh yang memang dibesarkan di Barat seperti Sayyed Hossein Nasr, danHamid Dabashi. Tetapi tokoh seperti Tabataba’i, Ali Shari’ati dan Mehdi Ha’iri Yazdi, menulis banyak sekali karyanya dalam bahasa Persia, walaupun mereka kadang-kadang, seperti dalam kasus Mehdi Ha’iri Yazdi, menulis karya tertentu dalam bahasa Inggris. Demikian juga para pemikir Arab pada umumnya kurang begitu dikenal, juga karena alasan bahasa. Pemikir seperti Arkoun, misalnya, menulis dalam bahasa Arab atau bahasa Perancis. Karena itu, kebanyakan kita masih harus menunggu sampai karya-karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Indonesia untuk bisa memahami dengan baik pikiran-pikiran mereka. Nah, karena terjemahan karya-karya mereka ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia masih sangat terbatas, maka pada dasarnya pemikiran Islam kontemporer ini bagi kita merupakan wilayah yang masih sangat gelap dan kabur.
Tidak adanya akses ke dalam pemikiran Islam kontemporer, yang kebanyakan disebabkan karena faktor linguistik ini sangat disayangkan karena pada saat ini kita sangat membutuhkan pemikiran-pemikiran segar yang sangat mungkin dapat ditimba dari para pemikir Muslim kontemporer ini. Sangat mungkin mereka telah menuliskan ide-ide, yang kita cari-cari dan kita butuhkan dengan baik ke dalam karya-karya mereka, tetapi masih tersembunyi bagi kebanyakan kita karena alasan bahasa. Dapat dimengerti kalau keperluan kita kepada pemikiran mereka sangat besar, karena sebagai pemikir masa kini, tentu pemikiran mereka akan diarahkan pada bagaimana menjawab isu-isu dan tantangan-tantangan kontemporer yang muncul dari dunia modern, yang mungkin saja belum menjadi perhatian para pemikir Muslim terdahulu, karena pada saat mereka hidup, isu-isu tersebut belum muncul sebagai problem atau tantangan. Selain itu keperluan kita kepada pemikiran Islam kontemporer ini tentu saja terdorong oleh kenyataan betapa pada era globalisasi ini, banyak sekali masalah-masalah yang ditimbulkan dunia modern ke atas pundak kita, tetapi belum mendapatkan jawaban-jawaban yang memuaskan dari kaum intelektual kita di negeri tercinta itu.
Dalam konteks kelangkaan sumber informasi seperti inilah maka kita patut bersyukur dan gembira atas niat penerbit untuk menerbitkan sebuah karya yang justru berkenaan dengan ”Pemikiran Islam Kontemporer” yang lama kita rindukan. Karya antologis yang ditulis oleh beberapa pemikir muda dan diedit oleh sdr. Drs. A. Khudori Soleh, M.Ag., menurut saya telah memenuhi sebagian dari kehausan kita akan pemikiran Islam kontemporer yang cukup langka ini. Dengan mengakses langsung pada data-data primer, karya ini mendiskusikan beberapa tema pemikiran kontekstual dari 19 pemikir Muslim kontemporer, yang berasal bukan saja dari dunia Arab dan Iran, tetapi juga beberapa pemikir Muslim Afrika, Asia Tenggara, dan bahkan Amerika. Karya ini secara apik dibagi ke dalam dua bagian besar. Bagian pertama berkenaan dengan kajian teks suci, yang meliputi antara lain teori ”Hermeneutika Humanistik” dari pemikir Mesir, Hasan Hanafi, ”Teori Batas” Muhammad Syahrur dari Siri, ”Analisis Teks” dari Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, ”Tafsir Tematik” Bintu asy-Syathi’ (’Aisyah binti ’Abd al-Rahman) juga dari Mesir, dan terakhir dari bagian ini membahas tentang ”Tafsir Feminis” oleh seorang ahli tafsir dari Pakistan.
Bagian kedua dari karya ini membahas topik-topik yang lebih berkaitan dengan filsafat atau pemikiran. Di sini ditampilkan beberapa tema yang cukup relevan dan aktual, seperti ”Model Epistemologi Islam,” oleh M. Abid Jabiri, seorang dosen filsafat dan pemikiran Islam dari Maroko, ”Neo-Sufisme sebagai Alternatif bagi Modernisme”, oleh Sayyed Hossein Nasr, pemikir Iran kontemporer yang sudah sangat dikenal; ”Filsafat Sejarah” oleh Murtadha Muthahhari, salah seorang filosof Iran kontemporer dan salah seorang dari arsitek revolusi Islam Iran, dan ”Paradigma Hukum Publik Islam”, oleh seorang ahli hukum Sudan, Abdulllah A. Na’im. Selain itu, ada tema-tema yang juga tidak kalah menariknya, antara lain: ”Islamisasi Peradaban”, oleh Zaiauddin Sardar, ”Menuju Teologi Pembebasan”, oleh seorang pemikir Islam India, Asghar Ali Engineer; ”Kalender Islam Internasional”, yang dibahas panjang lebar oleh seorang fisikawan Malaysia, M. Ilyas; ”Islamisasi Ilmu” oleh pemikir kontemporer Malaysia asal Indonesia, Naquib al-Attas, dan ”Menuju Keadilan Jender” oleh pemikir wanita Muslim kelahiran Amerika. Dan tentunya masih banyak tema-tema menarik lainnya pada bagian ini yang dapat anda nikmati dalam karya ini.
Tentu saja segera kita menyadari kekurangan-kekurangan yang fundamental yang akan diderita oleh karya seperti ini. Dengan jumlah halaman yang terbatas, tetapi dengan jumlah tokoh yang cukup banyak (19), karya ini tentu tidak bisa menawarkan pemikiran para tokohnya secara mendalam dan komprehensif. Apa yang bisa dilakukan oleh karya seperti ini adalah menyeleksi topik-topik tertentu yang cukup menarik dari para pemikirnya, dengan konsekuensi membatasi keluasan pemikiran mereka yang sesungguhnya. Meskipun begitu, sebagai karya pengantar terhadap pemikiran Islam kontemporer, karya ini lebih dari cukup dan representatif. Dengan segala kekurangannya, yang biasa terjadi ketika sebuah karya digarap oleh beberapa penulis yang berbeda latar-belakang dan kemampuannya, karya ini tetap merupakan karya yang amat penting bagi siapa saja yang ingin mengetahui pemikiran Islam kontemporer. Selain itu, menurut saya, karya ini cukup imbang karena menampilkan beberapa pemikir Islam dari pelbagai penjuru dunia Islam, tidak hanya dari dunia Arab dan Iran, sebagaimana biasanya, tetapi juga dari Maroko, Pakistan-India, Malaysia bahkan juga Amerika. Sekali lagi kita patut bersyukur atas terbitnya buku ini. Dengan alasan tersebut maka menurut saya karya ini patut sekali untuk dimiliki oleh siapa saja yang berminat pada pemikiran Islam kontemporer yang masih terhitung amat langka ini. Selamat membaca dan menikmati.[]
1 komentar:
Tokoh-tokoh pemikir Islam pra dan paska al-Ghazali tersebut merupakan kaum intelektual yang sudah populer di kalangan para sarjana, master, dan apalagi doktor alumni PTAIN atau Islamic Studies dari Barat dan Timur. Sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam mereka dengan segala pemikirannya memang sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat muslim, karena apapun produk pemikiran mereka merupakan modal sosial bagi pengembangan peradaban Islam hari ini. Tetapi, menurut hemat saya, koleksi pengetahuan kaum intelektual Indonesia sudah saatnya diupdate dan mulai diperkenalkan secara terus menerus dengan intellectual herritage dari masyarakat muslim Indonesia sendiri. Memang upaya ini sudah dilakukan oleh beberapa kalangan dan bahkan instansi pemerintah, tetapi upaya itu belum menghasilkan energi yang sangat besar dalam mengangkat Peradaban Indonesia di tengah perbincangan perdaban-peradaban besar lainnya di dunia. Padahal kita melihat bahwa wacana intelektual muslim Indonesia mulai dari abad 16 M. - sekarang tidak kalah pentingnya dengan produk pemikiran timur tengah, bahkan dari Barat hari ini sekalipun.
Segi positif dari update wacana pemikiran Islam kontemporer dengan koleksi-koleksi klasik dan terkini dari produk pemikir muslim Indonesia adalah akan munculnya suatu corak baru dalam pemikiran Islam yang lebih kental dengan warna khas keindonesiaan. Semua bangsa tahu bahwa Nusantara merupakan carrefour peradaban sejak masa sebelum Kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit muncul. Dan posisi strategis itu tetap dipertahankan sampai datangnya Islam ke Sumatera dan Pulau Jawa, hingga menyebar ke berbagai pulau-pulau besar di tanah air. Dengan gambaran ini, maka wacana pemikiran Islam kontemporer kaum akademisi kita akan jauh lebih colourfull. Bagaimana kalau idea ini bisa diterima, apakah berani bikin perubahan kurikulum tentang pemikiran Islam di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
Posting Komentar