Minggu, September 06, 2009

Economy More Importance than Fasting

Ekonomi Lebih Penting Dari Puasa
Oleh: A Khudori Soleh
Al-Qur'an menyatakan bahwa apa yang disebut kebaikan tidak hanya kalau kita menghadapkan wajah ke timur dan ke barat (shalat). Kebaikan adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir dan peminta-minta; mendirikan shalat, menunaikan zakat; menepati janji; sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan (QS. al-Baqarah, 177).
Berdasarkan ayat tersebut berarti ada lima jenis kebaikan yang diberikan Tuhan. Pertama, beriman kepada Tuhan, malaikat, nabi-nabi, kitab suci dan seterusnya. Jelasnya, menetapi rukun iman. Iman berkaitan dengan hati dalam hubungannnya dengan Yang Maha Tinggi. Karena itu, dalam agama, iman menentukan diterima tidaknya suatu perbuatan. Juga penentu dalam soal baik dan buruknya amal manusia.
Perbuatan manusia tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi; tidak hanya sosial tetapi juga spiritual, yang masing-masing mempunyai penilaian tersendiri. Sebuah perbuatan bisa dikatakan baik dan benar jika dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada pada kedua dimensi tersebut. Untuk dimensi duniawi, dimensi sosial, perbuatan dinilai baik jika memberi manfaat dan dampak positif kepada kemanusiaan. Sedang untuk kebaikan ukhrawi, dimensi spiritual, perbuatan baik adalah perbuatan yang dilakukan semata-semata mencari ridla Tuhan.
Artinya, perbuatan tersebut mesti didasari niat ihlas dan hanya ditujukan atau dipersembahkan kepada Tuhan, bukan demi atasan, mencari kedudukan, demi meraih simpati massa dalam pemilu dan sejenisnya. Dan ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan beriman kepada Allah. Tanpa adanya iman kepada Tuhan, ruh perbuatannya tidak akan bisa menembus ke alam ukhrawi, alam spiritual. Tidak hidup dan tidak bermakna. Ia hanya berputar-putar di atmosfir bumi dan hanya dikenal dikalangan manusia, tetapi tidak dikenal oleh Tuhan.
Kedua, memberikan nafkah kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, fakir miskin, para peminta dan lain-lain. Pemberian nafkah kepada mereka tentu tidak cukup hanya dengan memberikan dana ala kadarnya, atau membantu kaum fakir pada waktu-waktu tertentu, tetapi membantu mereka bagaimana bisa mandiri yang sekarang dikenal dengan istilah pengentasan kemiskinan.
Ketiga, mendirikan shalat, puasa, haji dan lain-lain. Atau, mengerjakan rukun Islam. Keempat, menepati janji bila berjanji. Janji yang paling utama dan paling berat adalah janji pada diri sendiri. Ini mengandung konsekuansi bahwa seseorang mesti melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, sesuai dengan keahliannya, bukan yang di luar itu. Orang yang memegang janji pada diri sendiri tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang ada di luar batas kemampuannya atau di luar batas kewenangannya, apalagi memaksakan kehendak dengan menghalalkan segala cara. Dalam bahasa modern, inilah yang dimaksud dengan istilah profesional.
Kelima, bersabar ketika dalam kesempitan, kesusahan dan dalam peperangan. Dalam kondisi yang benar-benar sulit seperti saat ini, sabar bukan berarti tenang dan pasif menunggu takdir. Sabar adalah melakukan usaha dengan penuh perhitungan, strategi dan taktik agar tujuan akhir bisa tercapai, sesuai dengan kemampuan yang ada. Artinya, orang yang bersabar tidak akan melakukan tindakan secara gegabah dan semborono tanpa perhitungan.
Pada kebanyakan perjuangan moral seperti yang dilakukan mahasiswa saat ini, atau gerakan-gerakan keagamaan dan sosial, kemandegan dan "kehancuran" mereka lebih karena tidak diperdulikannya persoalan ini. Mereka terlalu tergesa dan ingin ceat mendapat hasil, tanpa melihat bagaimana kondisi yang ada, bagaimana kesiapan dan kemampuan yang dimiliki. Al-Qur'an jauh-jauh telah memperingatkan bahwa pada era modern kelak, atau pada saat moralitas diabaikan, kebenaran dan kemanusian dicampakkan, gerakan-gerakan moral dan perjuangan kebenaran tidak akan membawa hasil, kecuali yang dilandasi empat hal; iman, SDM yang berkualitas, dilakukan atas dasar kebenaran dan kesabaran (QS. Al-Ashr). Artinya, dalam sebuah perjuangan demi kebanaran sekalipun, modal iman atau optimisme dan kualitas SDM yang baik tidak menjamin tercapainya keberhasilan. Perlu taktik dan strategi. Dan inilah yang dimaksud dengan sabar.

Lebih Penting.
Dalam herarkhi penyebutan lima jenis kebaikan di atas, Tuhan menempatkan persoalan kemiskinan dan ekonomi pada urutan kedua, sebelum menyebut kategori ketiga; tentang shalat, puasa, haji dan lainnya dari rukun Islam.
Urut-urutan ayat tersebut tentu tidak sembarangan. Dengan urutan seperti itu bisa diartikan bahwa Tuhan sangat memperdulikan persoalan ekonomi. Dengan menempatkan soal pemberian nafkah kepada keluarga, fakir miskin dan pengemis di atas pelaksanaan shalat, zakat, puasa dan seterusnya menunjukkan bahwa persoalan ekonomi dan pengentasan kemiskinan adalah lebih penting, minimal tidak kalang penting, dibanding dengan ibadah-ibadah yang lain, hatta pelaksanaan shalat yang dianggap sebagai tiang agama dan puasa yang kita lakukan sekarang.
Rasul sendiri, dalam beberapa haditsnya menunjukkan betapa pentingnya soal ekonomi atau pengentasan kemiskinan. Disabdakan bahwa maju mundurnya sebuah bangsa atau kebudayaan sangat dipengaruhi faktor ekonomi --disamping penguasaan ilmu pengetahuan. Rasul tidak menyebut yang lain. Misalnya, kalau masyarakat muslim rajin wiridan, rajin istighasah, berkali-kali naik haji, rajin puasa, tahlilan atau yang lain.
Sejalan dengan itu, dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun menyatakan bahwa kemakmuran (ekonomi) adalah pendorong maju mundurnya sebuah peradaban. Di kota-kota Islam abad pertengahan, seperti Baghdad, Kordova, Basrah, Kufah dan lainnya, sains dan peradaban berkembang pesat ketika kemakmuran menyelimuti penduduk negeri. Sebaliknya, ketika kemakmuran kota-kota tersebut menurun, peradaban dan perkembangan sainspun ikut surut. Pindah ke kota-kota lain yang lebih makmur.
Pernyataan tersebut diperkuat para sarjana modern seperti JD. Bernal. Dalam bukunya "Science in History", ia menyatakan bahwa periode-periode tumbuh sumburnya peradaban dan sains sejalan dengan aktivitas perekonomian. Jejak dan perkembangan sains, mulai dari Mesir kuno dan Mesopotamia hingga Yunani, dari Spanyol Islam hingga Renaisans Italy, bahkan dari Perancis menuju revolosi industri di Skotlandia dan Inggris, semua persis berjalan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan industri.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menyaksikan bagaimana pentingnya soal ekonomi ini dalam masyarakat. Banyak karena alasan ekonomi dan kemiskinan, seseorang kemudian rela menjual diri, keluarga, kehormatan, negara dan bahkan menjual aqidah. Dan akhir-akhir ini, banyak orang stres kemudian mudah terpancing melakukan tindakan kriminal juga karena alasan ekonomi. Penulis sendiri pernah terjun ke sebuah lokalisasi di Jawa Timur. Dari sekian banyak wanita penghuninya, tidak sedikit dari mereka yang mengerti agama. Bahkan ada yang alumni sebuah pesantren, atau anak-anaknya di pesantren dan mereka tidak tahu bahwa ibunya bekerja di lumpur dosa. Mengapa bisa demikian? Jawabnya sangat klise tapi nyata, yaitu karena tekanan ekonomi dan kemiskinan.
Menghadapi persoalan-persoalan sosial seperti ini, jelas tidak cukup dengan pidato di atas mimbar atau di televisi bahwa lokalisasi haram, zina adalah dosa dan lain-lain. Harus dilihat dan diatasi akar permasalahannya. Yakni, bahwa mereka harus dientas dan dibantu tekanan ekonominya. Tanpa itu, ceramah-ceramah keagamaan, membinaan mental, penataran dan sejenisnya hanya akan dianggap angin lalu, atau sedikit hiburan --karena ceramah agama sering banyak guyonannya-- ditengah-tengah kerasnya persaingan hidup.
Rasul sendiri melakukan tindakan nyata dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dan kemiskinan. Ketika dijumpai ada seorang anak kecil tidak ikut bergembira bersama teman-temannya, karena ibunya yang miskin tidak mempunyai uang untuk membelikan baju baru untuknya, Rasul tidak lantas mengatakan bahwa itu merupakan cobaan dan menyuruh si kecil bersabar. Sebaliknya, Rasul langsung mengajak pulang si bocah, memberinya pakaian dan mengambilnya sebagai anak, bersaudarakan Hasan dan Husain. Atau, kalau sekarang dikenal dengan istilah "orang tua asuh".
Karena itu, bersamaan dengan pelaksanaan puasa Ramadlan kali ini, ada satu hal yang harus direnungkan, apakah kita juga telah punya kepedulian terhadap orang-orang miskin? Apakah kita telah membantu meringankan beban orang-orang yang terlantar, yang tergusur, yang telah diambil paksa hak-hak kehidupannya? Karena itu, sangat trages jika pada saat kita sibuk berpuasa dan berusaha meningkatkan kualitas spiritual, tetapi di Yakuhima, Papua (menurut informasi Metro TV, 5/09/09) terjadi bencana kelaparan yang konon sampai merenggut sampai 113 nyawa orang meninggal.

Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk mengaksesnya, klik disini.

2 komentar:

akhatam Selasa, September 08, 2009  

Assalamu'alaikum.... Bagus sekali artkelnya... sukses selalu.

imelda Jumat, September 11, 2009  

hello there hapi friday

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP