Sermon of Ied al-Fitri Celebration
Khuthbah Idul Fitri
Idul Fitri Bukan Kesalehan Liptsik
Oleh: A Khudori Soleh
Saat ini kita merayakan idul fitri setelah sebulan penuh melaksanakan puasa. Kita semua gembira dan merasa menang telah mengalahkan hawa nafsu selama satu bulan. Karena itu, kita tunjukkan kegembiraan dan kemenangan ini dengan memakai pakaian bagus, kendaraan baru, kita berikan senyum pada semua orang, kita berikan santunan kepada pihak-pihak yang lemah dan seterusnya. Ini tidak salah dan sah-sah saja. Akan tetapi, ada yang harus direnungkan kembali atas segala perilaku kita ini, karena al-Qur`an tidak menempatkan puasa sebagai tujuan yang patut kita syukuri setelah selesai menunaikannya. Dikatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa…agar kamu menjadi taqwa.” (QS. al-Baqarah, 183).
Berdasarkan teks ayat tersebut jelas bahwa pelaksanaan puasa bukan tujuan melainkan “hanya” sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Puasa adalah tindakan yang dilakukan atas dasar iman untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu terbentukkan pribadi taqwa. Karena itu, adalah tidak pada tempatnya kita merasa gembira dan menang hanya setelah berhasil menggunakan sebuah sarana, atau setelah melewati suatu tahap pekerjaan tertentu, padahal kita tidak tahu apakah kita telah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan dengan adanya sarana dan tahap pekerjaan tersebut.
Dasar Iman.
Dasar iman atas pelaksanaan puasa berkaitan dengan konsep baik dan buruk. Dalam Islam, apa yang disebut kebaikan dinilai dan didasarkan atas dua aspek. Aspek pertama berhubungan dengan dampaknya dalam kehidupan social sedang aspek kedua berhubungan dengan faktor spiritual yang menggerakkan si pelaku kearah timbulnya perbuatan tersebut.
Pada dimensi pertama, apa yang disebut tindakan baik diukur berdasarkan tingkat kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Jika seorang membangun pesantren, membangun gedung-gedung pendidikan, membantu masyarakat yang terkena musibah, ikut melakukan kegiatan-kegiatan social dan sejenisnya, tidak pelak bahwa hal itu adalah perbuatan baik. Maksudnya, perbuatan-perbuatan tersebut bermanfaat bagi masyarakat banyak. Akan tetapi, hal itu belum tentu dianggap baik dalam dimensi kedua.
Pada dimensi kedua, apa yang disebut perbuatan baik tidak cukup hanya bermanfaat, tetapi harus juga dilihat niat dan tujuannya. Atas dasar apa dan untuk tujuan apa ia melakukan perbuatan tersebut. Jika seseorang melakukan sesuatu dengan tujuan yang bersih dan atas dorongan-dorongan suci, maka itu baru dapat dinilai sebagai perbuatan baik. Artinya, disana masih dilihat kebaikan niat si pelaku. Sebaliknya, jika ia melakukan amal atas dasar kepentingan politis, atau untuk keuntungan material duniawi, maka ia hanya baik dari aspek sosial tetapi gagal dari segi spiritual. Amalnya tidak naik keatas, tidak terekam dalam alam malakut. Ia memang telah memberikan pengabdian pada kemanusian tetapi belum mempersembahkan yang terbaik pada Tuhan, bahkan bisa jadi malah menghianati-Nya. Alih-alih ruhnya bisa naik, dengan perbuatannya yang tidak didasari niat baik dan tulus, ia justru meluncur ke tempat yang paling rendah.
Dengan demikian persoalannya tidak sederhana. Apa yang disebut amal baik (amal shaleh) tidak hanya diukur dari aspek social melainkan juga spiritual. Seberapapun besar pengabdian tapi jika tidak disertai niat dan tujuan yang baik, tidak akan mempunyai makna. Niat dan dan tujuan ini ibarat ruh bagi jasad. Suatu perbuatan (amal) akan bisa “hidup” sehingga terekam dalam alam malakut dan mampu naik ke Hadirat Ilahy, jika didasarkan atas niat dan tujuan semata-mata untuk Tuhan, atau yang disebut “ikhlash”. Pengabdian baik yang tidak “lillah” (tidak karena dan untuk Tuhan) secara otomatis juga tidak akan sampai kepada-Nya. Amalnya mati bagai jasad tanpa ruh. Ia hanya baik menurut manusia tapi hampa dalam pandangan Tuhan.
Pelaksanaan puasa –juga ibadah yang lain— harus dilandasi iman, karena hanya dengan iman seseorang menghubungkan segala perbuatannya kepada Tuhan. Puasa yang dilaksanakan atas dasar iman berarti puasa yang hidup yang akan mampu naik ke Hadlirat Ilahy, sehingga orang yang melakukannya akan diampuni dosa-dosanya. Sebaliknya, puasa yang tidak dilandasi iman hanya berputar di atmosfir bumi. Tidak bisa melesat ke ketinggian derajat spiritual karena memang tidak ada hubungan kesana.
Terbentuknya Pribadi Taqwa.
Dengan melakukan puasa yang dilandaskan iman diharapkan kita akan menjadi orang yang bertaqwa. Apa yang dimaksud taqwa? Para ulama menyatakan ada tiga tingkat sekaligus ciri orang taqwa. Pertama, senantiasa melaksanakan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Apa yang dianggap sebagai amal baik? Selama ini sebagian kita sering menganggap bahwa amal baik adalah berkaitan dengan ibadah mahdlah (ibadah tertentu) yang bersifat ritual seperti shalat, puasa, membaca al-Qur`an dan seterusnya. Sedemikian, sehingga ketika seseorang rajin shalat jamaah, shalat tahajud atau rajin membaca al-Qur`an, kita menganggapnya sebagai orang yang baik dan taat. Itu tidak salah tetapi semua perbuatan tersebut bukan satu-satunya. Al-Qur`an secara tegas menyatakan bahwa apa yang disebut amal baik bukan hanya shalat. Ada lima bentuk kebaikan yang disebutkan Tuhan yang semua itu harus juga kita lakukan (QS. al-Baqarah, 177).
(1) beriman kepada Tuhan, malaikat, nabi-nabi, kitab suci dan seterusnya. Jelasnya, menetapi rukun iman. Iman adalah penentu diterima dan tidaknya suatu perbuatan manusia. Seperti diuraikan diatas, apa yang disebut amal baik tidak hanya berdimensi duniawi melainkan juga ukhrawi. Jika manusia tidak beriman kepada Tuhan, bagaimana amalnya dapat sampai kepada-Nya?
(2) memberikan nafkah kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, fakir miskin, para peminta dan lain-lain. Ini berhubungan dengan kehidupan sosial dan perekonomian. Dalam istilah sekarang, inilah yang disebut dengan istilah pengentasan kemiskinan.
(3) mendirikan shalat, puasa, haji dan lain-lain, atau mengerjakan rukun Islam. (4) menepati janji bila berjanji. Menepati janji yang paling utama dan paling berat adalah menepati janji pada diri sendiri. Disini mengandung konsekuansi bahwa seseorang mesti melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dalam istilah modern, inilah yang disebut prilaku profesional.
(5) bersabar ketika dalam kesempitan, kesusahan dan dalam peperangan. Sabar bukan berarti menerima apa adanya tanpa usaha. Sabar adalah melakukan sesuatu dengan penuh perhitungan, strategi dan taktik agar tujuan akhir bisa tercapai, sesuai dengan kemampuan yang ada. Artinya, orang yang bersabar tidak akan melakukan perbuatan secara gegabah, semborono dan tanpa perhitungan.
Dengan demikian, orang yang bertaqwa bukan sekedar rajin melakukan kegiatan ritual keagamaan melainkan juga mempunyai kesalehan social. Lebih dari itu, orang yang bertaqwa juga berperilaku professional serta mempunyai strategi yang jitu dalam mencapai masa depan yang lebih baik.
Kedua, senantiasa ingat Tuhan dan tidak melupakan-Nya. Artinya, orang yang bertaqwa senantiasa “bersama” dan “membawa” Tuhan dalam segala aktivitasnya. Ini tingkat yang lebih tinggi daripada yang pertama. Dalam tingkat pertama, seseorang memang telah mempunyai kesalehan spiritual dan social. Akan tetapi, semua itu masih lebih bersifat formal, temporal dan dilakukannya sebagai “kewajiban” atau beban. Kita kerjakan shalat karena kewajiban agama. Kita berlaku professional karena tuntutan pekerjaan, kita lakukan ini karena itu dan seterusnya. Sementara itu, pada tingkat kedua ini, semua tindakan dilakukan bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kebutuhan hidup. Kita melakukan shalat, membayar zakat, memberikan sedekah, membantu kaum miskin, berprilaku professional dan seterusnya bukan sebagai kewajiban atau tuntutan pekerjaan melainkan karena kebutuhan kita sebagai manusia dan yang hidup bersama yang lain. Dalam bahasa sufi Rabiah al-Adawiyah, semua itu dilakukan atas dasar cinta (hubb). Menurut para psikolog, sesuatu yang dilakukan atas dasar cinta akan lebih efektif, lebih efisien dan lebih berhasil guna dibanding sesuatu yang dilakukan atas dasar memenuhi kewajiban.
Selain itu, dalam tingkat kedua ini, perilaku-perilaku tersebut tidak dilakukan hanya sebagai tindakan formal yang dilakukan pada waktu dan tempat yang tertentu, melainkan dipahami dan dihayati untuk diterapkan dalam semua aktivitas. Berlaku professional tidak hanya di kantor, membantu anak yatim bukan hanya pada bulan Muharram, melakukan shalat dan ingat Tuhan bukan hanya pada waktu-waktu tertentu dan seterusnya. Lebih dari itu, kita mengingat-Nya dan menerapkan semua itu dalam seluruh tindakan kita, sehingga tidak mungkin orang yang bertaqwa khusyuk ibadah di masjid tetapi berlaku culas dalam binis, melakukan haji berkali-kali tetapi korupsi, sukses dalam karir tetapi mengabaikan hak-hak keluarga di rumah, dan seterusnya. Akan tetapi, yang ada pada kita selama ini sebagai bangsa dan masyarakat justru lebih memperhatikan aspek formal daripada substansial dan aspek ritual daripada social, sehingga kita adalah bangsa yang paling banyak mengirimkan jamaah hajinya sekaligus bangsa yang paling korup di dunia. Kita sibuk dengan soal qunut, jumlah shalat taraweh, perbedaan hari raya, tetapi lupa nasib teman-teman kita yang digusur, TKI illegal yang dipulangkan, perilaku politik wakil rakyat yang arogan dan seterusnya. Dalam dunia pendidikan, kita sibuk dengan angka-angka dan nama gelar lulusan tetapi lupa apakah kualitas lulusan kita benar-benar kualifaid dan mampu bersaing dengan yang lain. Dalam konteks ini, apakah kita layak mengaku telah berhasil menunaikan puasa?
Ketiga, bersyukur dan tidak melakukan kekufuran. Menurut Abd Salam, syukur berarti optimalisasi segala nikmat dan potensi yang dimiliki: kekuasaan, kekayaan dan intelektual untuk kebaikan manusia sehingga nikmat tersebut semakin bertambah. Ini tingkat tertinggi dari pribadi taqwa. Pada tingkat ini kita tidak sekedar melakukan segala sesuatu atas dasar cinta melainkan bagaimana dapat memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya pada orang lain. Patokannya adalah bagaimana kekuasaan yang kita pegang, kekayaan yang kita miliki dan kecerdasan yang kita punyai mampu memberikan kontribusi positif kepada kemanusiaan, tanpa memperdulikan perbedaan organisasi, golongan, ras, suku bahkan agama. Dalam konteks ini, mengikuti istilah Ibn Arabi, bagaimana kita menjadi insân kamîl, manusia utama yang menjadi kaki tangan Tuhan dalam memberikan rahmat kepada segenap makhluk.
Penutup.
Itulah yang diharapkan dari pelaksanaan puasa yang kita lakukan selama ini dan yang dimaksud idul fitri. Idul fitri bukan sekedar pakaian baru, salam-salaman atau senyum-senyum beberapa hari. Idul fitri bukan kesalehen lipstik, kesalehan dan keramahan sesaat seperti yang biasa kita lakukan. Idul fitri berarti munculnya pribadi utama yang bukan hanya mampu melakukan segala amal dan perilaku atas dasar cinta tetapi juga sanggup mengaktualisasikan segala nikmat dan potensi dirinya untuk Tuhan dan kemanusiaan. Sanggup melihat bahwa yang ada pada dirinya bukan miliknya yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi tetapi amanah yang harus dijalankan sesuai harapan pemiliknya, Tuhan. Kewajiban mengeluarkan zakat fitrah sesungguhnya adalah lambang dan ajaran tentang munculnya pribadi yang dimaksud.
Karena itu, jika saat ini kita belum berubah, belum teridentifikasi pribadi taqwa, pantaskah kita merasa telah berhasil melakukan puasa dan beridul fitri? Dalam konteks sekarang, layakkah kita tersenyum lebar, merasa menang dan ikut lebaran?
Pernah disampaikan dalam Khutbah Idul Fitri, 14 Nopember 2004 di Masjid al-Tarbiyah UIN Malang. Tulisan yang lain, klik disini
3 komentar:
Assalamualaikum wr wb.
Datang ketempat sahabat, sambil mengucapkan :
Selamat Iedul Fithri 1430H
Taqobalallahu minna wa minkum
Shiyamana Wa Shiyamakum
Taqoballahu Yaa Kariim
Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir & Bathin
Di hari kemenangan ini marilah kita padukan keikhlasan untuk saling memaafkan …
selamat idul fitri mohon maaf lahir dan batin :)
Boikot barangan dari Israel perlu berterusan...
Posting Komentar